Friday, July 20, 2018

Ilmu yang Bermanfaat


Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Apabila meninggal anak Adam, terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)

Ibnu Rajab Al Hanbali menjelaskan tentang ilmu yang bermanfaat. Beliau mengatakan, pokok segala ilmu adalah mengenal Allah subhanahu wa ta'ala yang akan menumbuhkan rasa takut kepada-Nya, cinta kepada-Nya, dekat terhadap-Nya, tenang dengan-Nya, dan rindu pada-Nya. Kemudian setelah itu berilmu tentang hukum-hukum Allah, apa yang dicintai-Nya dan diridhai-Nya dari perbuatan, perkataan, keadaan, atau keyakinan hamba.

Orang yang mewujudkan dua ilmu ini, maka ilmunya adalah ilmu yang bermanfaat. Sehingga dengan itu, akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat, hati yang khusyu’, jiwa yang puas, dan do’a yang mustajab. Sebaliknya yang tidak mewujudkan dua ilmu yang bermanfaat itu, ia akan terjatuh ke dalam 4 perkara yang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berlindung darinya. Bahkan ilmunya menjadi bencana buatnya, ia tidak bisa mengambil manfaat darinya karena hatinya tidak khusyu’ kepada Allah subhanahu wa ta'ala, jiwanya tidak merasa puas dengan dunia, bahkan semakin berambisi terhadapnya. Doanyapun tidak didengar oleh Allah karena ia tidak merealisasikan perintah-Nya serta tidak menjauhi larangan-Nya dan apa yang dibenci-Nya.

Lebih-lebih apabila ilmu tersebut bukan diambil dari Al Qur’an dan As Sunnah, maka ilmu itu tidak bermanfaat dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Yang terjadi, kejelekannya lebih besar dari manfaatnya.

Ibnu Rajab juga menjelaskan, ilmu yang bermanfaat dari semua ilmu adalah mempelajari dengan benar ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam serta memahami maknanya sesuai dengan yang ditafsirkan para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Lalu mempelajari apa yang datang dari mereka tentang halal dan haram, zuhud dan semacamnya, serta berusaha mepelajari mana yang shahih dan mana yang tidak dari apa yang telah disebutkan.

Kemudian berusaha untuk mengetahui makna-maknanya dan memahaminya. Apa yang telah disebut tadi sudah cukup bagi orang yang berakal dan menyibukkan diri dengan ilmu yang bermanfaat. (Fadl Ilm Salaf Alal Khalaf 41, 45, 46, 52, 53)

Ilmu yang bermanfaat akan nampak pada seseorang dengan tanda-tandanya, yaitu:
1.      Beramal dengannya.
2.      Benci disanjung, dipuji dan takabbur atas orang lain.
3.      Semakin bertawadhu’ ketika ilmunya semakin banyak.
4.      Menghindar dari cinta kepemimpinan, ketenaran dan dunia.
5.      Menghindar untuk mengaku berilmu.
6.      Bersu’udzan (buruk sangka) kepada dirinya dan husnudzan (baik sangka) kepada orang lain dalam rangka menghindari celaan kepada orang lain. (Lihat Fadl Ilm Salaf Hal. 56-57 dan Hilyah Thalib Ilm Hal. 71)

Sebaliknya ilmu yang tidak bermanfaat juga akan nampak tanda-tandanya pada orang yang menyandangnya yaitu:
1.      Tumbuhnya sifat sombong, sangat berambisi dalam dunia dan berlomba-lomba padanya, sombong terhadap ulama, mendebat orang-orang bodoh, dan memalingkan perhatian manusia kepadanya.
2.      Mengaku sebagai wali Allah subhanahu wa ta'ala. Atau merasa suci diri.
3.      Tidak mau menerima yang hak dan tunduk kepada kebenaran, dan sombong kepada orang yang mengucapkan kebenaran jika derajatnya di bawahnya dalam pandangan manusia, serta tetap dalam kebatilan.
4.      Menganggap yang lainnya bodoh dan mencacat mereka dalam rangka menaikkan dirinya di atas mereka. Bahkan terkadang menilai ulama terdahulu dengan kebodohan, lalai, atau lupa sehingga hal itu menjadikan ia mencintai kelebihan yang dimilikinya dan berburuk sangka kepada ulama yang terdahulu. (Lihat Fadl Ilm Safaf: 53, 54, 57, 58)

Ilmu yang disebutkan tentang keutamaan/kemuliaannya dalam nash-nash, serta pahala yang akan diperoleh karena mempelajari dan mengamalkannya, begitu pula diangkatnya derajat pemilik ilmu tersebut dan tergolongnya pemilik ilmu tersebut sebagai pewaris para nabi adalah ilmu syar’i, baik ilmu tersebut yang bersangkutan dengan keyakinan (keimanan, aqidah, dan manhaj yang shahih) ataupun amalan (ibadah, akhlaq, dan muamalah). Inilah ilmu yang karenanya seseorang itu dipuji bila dapat mencapainya, mempelajari dan mengajarkannya. Sehingga bukanlah yang dimaksud di sini ilmu-ilmu yang berkaitan dengan dunia seperti ilmu berhitung dan teknik atau yang serupa dengannya. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 3/491)

Ilmu syar‘i seperti inilah yang dikatakan lebih utama mempelajarinya daripada mengerjakan ibadah-ibadah sunnah, baik berupa puasa, shalat dan yang lainnya. Dikatakan demikian karena kemanfaatan ilmu itu mengenai pemiliknya dan manusia yang lain. Sementara ibadah sunnah yang dilakukan badan, kemanfaatannya terbatas hanya untuk pelakunya. Juga karena ilmu tersebut akan membenarkan (meluruskan) ibadah seseorang, sehingga yang namanya ibadah butuh terhadap ilmu dan bergantung dengannya. Selain daripada itu, ilmu akan tetap tertinggal atsarnya (sisa/ pengaruhnya) sepeninggal pemiliknya, sementara ibadah sunnah akan terputus dengan meninggalnya pelakunya. Sehingga bisa dikatakan, selama ilmu itu ada syariat ini akan tetap hidup dan terjaga (tetap berkibar) bendera-bendera agama ini. (Tadzkiratus Sami‘ wal Muta‘allim, hal. 23)

Demikianlah kemuliaan ilmu syar‘i yang begitu dijunjung keberadaannya di dalam agama Allah Subhanahu wa Ta'ala ini. Namun apabila kita menengok keberadaaan kita pada hari ini dengan kebanggaan terhadap ilmu-ilmu dunia maka betapa naif dan jeleknya, di mana ilmu syar‘i diremehkan dan direndahkan dihadapan kita. Sehingga bila ada seseorang yang ditanya pada hari ini tentang pendidikannya, di mana dia sekolah? Di mana dia belajar? Dan kebetulan dia adalah seorang thalibul ilmi syar‘i (penuntut ilmu agama) di satu pesantren ataupun sekolah agama maka dengan malu/ minder ia menjawab: “Saya seorang santri,” atau “Saya di jurusan syariah.” Sebaliknya, bila ternyata seseorang itu belajar di sekolah umum dan ditanya dengan pertanyaan yang sama maka dengan bangga ia mengatakan, “Saya di SMU favorit” atau “Saya kuliah di fakultas kedokteran.” Wallahu Al-Musta‘an

Ilmu-ilmu selain ilmu syar’i seperti pertambangan, pertanian, perikanan dan seluruh industri yang bermanfaat, terkadang bisa menjadi wajib bila memang dibutuhkan oleh kaum muslimin, dan hukumnya fardhu kifayah. Hendaklah pemerintah memerhatikan perkara yang memberi kemanfaatan kepada kaum muslimin, membantu orang-orang yang menempuh bidang tersebut untuk memberi kemanfaatan kepada kaum muslimin dan sebagai persiapan menghadapi musuh-musuh mereka. Amal seorang hamba akan menjadi ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bila murni/tulus niatnya, ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun bila tanpa niat, maka terhitung perkara mubah.

Adapun ilmu syar’i, haruslah dituntut oleh setiap orang (fardhu ‘ain). Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya dan bertakwa pada-Nya. Sementara, tidak ada jalan untuk beribadah dan bertakwa kecuali dengan ilmu syar’i, ilmu Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagaimana penjelasan yang telah lewat. Seharusnya penuntut ilmu tafaqquh (mendalami) agamanya, mempelajari hukum-hukum Allah, mengenali akidah salafiyyah yang shahihah yang dipegangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Berupa iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, iman kepada nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, membiarkannya sebagaimana datangnya sesuai dengan sisi yang pantas bagi kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa tahrif, tanpa ta’thil, tanpa takyif dan tanpa tamtsil2, tidak dikurangi dan tidak ditambah.

Kita mohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberikan taufik kepada para penuntut ilmu dan agar Allah Subhanahu wa Ta’ala membantu mereka dalam perkara yang mendatangkan ridha-Nya, agar Dia memberi petunjuk kepada para hamba dan memperbaiki keadaan mereka. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

No comments:

Post a Comment