Wednesday, August 28, 2013

Menengok Keteladanan Al-Imam At-Tirmidzi

Nama dan Kelahiran Beliau
Beliau adalah Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin adh-Dhahhak as -Sulami adh-Dharir al-Bughi at-Tirmidzi rahimahullah.
As-Sulami adalah penyandaran kepada Bani Sulaim, sebuah kabilah dari Ghailan. Beliau rahimahullah mengalami kebutaan pada kedua matanya, oleh karena itulah digelari dengan adh-Dharir. Terjadi silang pendapat di kalangan para ulama tentang sejak kapan beliau rahimahullah mengalami kebutaan. Pendapat yang benar adalah bahwa beliau rahimahullah mengalami kebutaan pada saat usia senja.
Beliau rahimahullah dilahirkan pada bulan Dzulhijjah tahun 209 Hijriyah (824 Masehi) di sebuah negeri yang terletak di belakang sungai Jaihun (kini sungai Amu Darya) – dikenal sebagai tempat kelahiran pakar ulama hadits semisal al-Imam al-Bukhari rahimahullah dan al-Imam Muslim rahimahullah – di sebuah kota yang bernama Tirmidz tepatnya di sebuah desa yang bernama Bughi. Jarak antara kampung Bughi dengan kota Tirmidz sekitar 6 farsakh. Beliau rahimahullah adalah seorang hafizh (orang yang menghafal sekurang-kurangnya 100.000 hadits), ahli fikih, seorang yang ‘alim (memiliki ilmu agama yang luas), cerdas, seorang imam (panutan umat), memiliki sifat zuhud dan wara’.

Perjalanan Menuntut Ilmu
Sejak kecil, beliau rahimahullah sudah gemar mempelajari ilmu agama dan mencari hadits. Untuk kebutuhan tersebut ia pun mengembara ke berbagai negeri seperti Khurasan, Irak (Bashrah, Kufah, Baghdad), Hijaz (Makkah dan Madinah), Wasith dan ar-Ray. Beliau rahimahullah memulai perjalanan menuntut ilmu pada tahun 234 Hijriah.
Dalam lawatannya ke berbagai negeri, beliau rahimahullah banyak mengunjungi para ulama hadits untuk mendengar, menghafal dan mencatat hadits, baik ketika dalam perjalanan atau tiba di suatu tempat.
Setelah menempuh pengembaraan yang panjang, akhirnya beliau rahimahullah kembali ke kota Tirmidz dan wafat di sana.

Beliau rahimahullah memiliki beberapa keistimewaan, di antaranya adalah:
1. Semangat tinggi dalam menuntut ilmu, hingga tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menuntut ilmu walau dalam kondisi apapun.
2. Memiliki kekuatan hafalan.

Diriwayatkan oleh al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah di dalam Siyaru A’lamin Nubala` dan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Tahdzibut Tahzib sebuah kisah dari Ahmad bin ‘Abdillah bin Abi Dawud bahwasanya ia berkata, “Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmidzi rahimahullah berkata, ‘Suatu ketika saya sedang dalam perjalanan menuju Makkah. Dan ketika itu saya telah menulis dua jilid kitab berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang syaikh (guru). (secara kebetulan) Syaikh tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya pun bertanya perihal syaikh tersebut. Mereka menjawab bahwa dia lah orang yang saya maksud. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahwa dua jilid kitab itu ada padaku. Ternyata yang saya bawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengannya, saya memohon untuk mendengar hadits darinya. Dan ia pun mengabulkan permohonan tersebut. Kemudian ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan apa pun. Demi melihat hal ini, ia berkata, ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ Lalu aku pun menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ Suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi, ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar ia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang gharib (asing), lalu berkata, ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar, ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.” Al-Imam al-Bukhari rahimahullah sendiri pernah mencatat hadits dari beliau.

Di antara guru-guru beliau adalah al-Imam al-Bukhari, al-Imam Muslim, al-Imam Abu Dawud, Qutaibah bin Said, Ishaq bin Rahuyah, Abu Kuraib dll. Kemudian di antara murid-murid beliau adalah Abu Bakar Ahmad bin Ismail as-Samarqandi, Abu Hamid Ahmad bin Abdillah al-Marwazi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, al-Husain bin Yusuf al-Farabri dll.

Sumbangsih dalam Penelitian dan Pengembangan Ilmu Hadits
1. Dalam ilmu mushthalah hadits
Sebelum munculnya al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah, klasifikasi hadits hanya terbagi menjadi hadits shahih dan hadits dha’if. Hadits shahih adalah hadits yang para perawinya memiliki hafalan yang kuat. Sementara hadits dha’if adalah hadits yang lemah disebabkan lemahnya hafalan perawinya atau sebab yang lain. Dari sini, al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah memiliki pemikiran yang jenius. Ketika suatu hadits diriwayatkan oleh perawi yang standar hafalannya di bawah perawi hadits shahih, namun masih unggul dibanding perawi hadits dha’if sehingga hafalannya dapat disebut `tidak kuat sekali, namun lemah pun tidak,` maka beliau mengkategorikan periwayatan seperti ini kepada tingkat hasan. Oleh karenanya, beliau rahimahullah adalah orang pertama yang memasyhurkan pembagian hadits menjadi shahih, hasan, dan dha’if.
2. Menyatukan paradigma hadits dan fiqih
Kalau kita lihat, kitab Jami’ at-Tirmidzi selalu menampilkan perbandingan pendapat antar madzhab. Perbandingan ini selalu dibarengkan tatkala beliau menuliskan sebuah hadits. Bahkan, karena banyaknya memuat perbandingan fiqh, kitab Jami’ At-Tirmidzi ini nyaris terkesan sebagai kitab fiqh, bukan kitab hadits. Hal inilah yang menjadi keistimewaan sekaligus pembeda antara kitab Jami’ at-Tirmidzi dengan kitab-kitab hadits yang lain. Namun demikian, bukan berarti al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah merupakan figur sektarian yaitu berpegang pada salah satu madzhab tertentu. Beliau merupakan tokoh yang hanya mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seorang mujtahid yang tidak bertaklid (mengikut tanpa dalil) kepada siapapun. Ketidakberpihakan al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah pada salah satu madzhab fiqh ini dapat difahami dengan tidak adanya unsur pengunggulan pada salah satu madzhab tertentu di dalam kitabnya.

Wafat Beliau
Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan mengarang, pada usia senjanya beliau rahimahullah mengalami kebutaan. Beberapa tahun lamanya beliau rahimahullah hidup sebagai tuna netra. Dalam keadaan seperti ini beliau rahimahullah meninggal dunia. Beliau rahimahullah wafat di kota Tirmidz pada malam Senin tanggal 13 Rajab tahun 279 H (8 Oktober 892) dalam usia 70 tahun. Semoga Allah subhaanahu wa ta’aalaa mencurahkan rahmat-Nya kepada beliau dan memasukkannya ke dalam Jannah-Nya. Aamiin.

Pujian Para Ulama
1. Al-Imam al-Bukhari rahimahullah berkata kepada beliau rahimahullah, “Ilmu yang aku ambil manfaatnya darimu itu lebih banyak ketimbang ilmu yang engkau ambil manfaatnya dariku.”
2. Al-Hafizh al-Mizzi rahimahullah menuturkan, “At- Tirmidzi rahimahullah adalah salah seorang imam yang menonjol, dan termasuk orang yang Allah jadikan kaum muslimin mengambil manfaat darinya.”

Karya Tulis
Karya tulis yang sampai kepada kita di antaranya:
1. Kitab al-Jami’, yang juga dikenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi
2. Kitab al-‘Ilal
3. Kitab asy-Syama’il an-Nabawiyyah
4. Kitab Tasmiyyatu Ashhabi Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam

Adapun yang tidak sampai kepada kita adalah Kitab az-Zuhd, Kitab al-Asma’ wal-Kuna, dan Kitab at-Tarikh. Di antara karya beliau rahimahullah yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah kitab al-Jami’ (Sunan at-Tirmidzi).

Sekilas tentang karya beliau rahimahullah:
1. Kitab al-Jami’
Kitab ini di kalangan para ulama dikenal dengan dua nama, Jami’ at-Tirmidzi dan Sunan at-Tirmidzi. Namun penamaan pertama adalah lebih populer sebagaimana disebutkan oleh as-Sam’ani, al-Mizzi, adz-Dzahabi, Ibnu Hajar al-’Asqalani dan lain-lain. Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah kitab beliau yang paling bagus dan banyak manfaatnya, paling bagus susunannya, dan paling sedikit pengulangannya. Di dalamnya terdapat sesuatu yang tidak dijumpai di dalam kitab lain, berupa penyebutan madzhab-madzhab, segi-segi pengambilan dalil (istidlal), dan macam-macam hadits dari yang shahih, hasan, dan gharib.”
2. Kitab asy-Syamail an-Nabawiyah
Adapun kitab asy-Syamail an-Nabawiyah adalah sebuah kitab yang menerangkan sifat-sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik secara fisik maupun akhlak. Banyak dari kalangan para ulama yang menukil dan mengambil faidah dari kitab ini seperti al-Maqdisi, al-Mundziri, al-Mizzi, adz-Dzahabi, Ibnu Katsir, az-Zaila’i, Ibnu Hajar dan as-Suyuthi.

Pelajaran yang bisa Dipetik
1. Para orang tua hendaknya meneladani kebiasaan para pendahulu kita yang shalih yaitu mendidik putra-putri mereka dengan ilmu agama sejak kecil.
2. Hendaklah seseorang memiliki semangat tinggi dan pantang menyerah di dalam menuntut ilmu agama.
3. Prinsip Ahlus Sunnah adalah berpegang teguh dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhkan diri dari sikap fanatik dan taklid kepada siapapun.
Wallahu a’lamu bish shawab
Penulis: Al-Ustadz Muhammad Rifqi hafizhahullah

Kisah Ashabul ukhdud

Ashabul ukhdud adalah kaum yang dilaknat oleh Allah 'Azza wa jalla. Dengan api inilah mereka memaksa orang-orang yang beriman untuk kembali kepada agama mereka semula, agama yang menjadikan makhluk  sebagai sesembahan selain Allah SWT. Setiap orang yang beriman kepada Allah SWT dan mengingkari peribadahan kepada selain-Nya, mereka lemparkan kedalam api, sebagaimana Allah 'Azza wa jalla kisahkan dalam ayat-Nya,
“Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” [Q.S. Al Buruj:4-9].

Tiba giliran seorang ibu yang sedang menggendong bayi mungil. Wanita itu dipaksa untuk memilih antara dua pilihan. Ia masuk kedalam api tersebut dalam keadaan beriman kepada Allah ataukah jiwanya selamat namun dia harus kembali kepada kekafiran. Demi melihat kobaran api yang menyala, timbul dari dalam dirinya keraguan dan rasa takut untuk tetap berada dalam keimanan. Ia tidak tega melihat keadaan anaknya yang dalam gendongannya. Apakah jiwa yang masih suci ini harus mati bersamanya. Allah SWT pun memberikan kemampuan  kepada bayi tersebut untuk berbicara. Bayi itupun berkata, ”wahai ibuku! Bersabarlah, sesungguhnya engkau berada di atas kebenaran”. Tatkala mendengar perkataan bayi tersebut, bulatlah tekadnya untuk masuk ke dalam kobaran api mempertahankan keimanannya.

Memang, telah menjadi ketetapan Allah SWT, bahwa sebagian manusia akan menjadi musuh bagi sebagian lainnya. Tatkala ada yang membela kebenaran, ada pula orang yang menjadi pembela kebatilan. Demikian pula ketika Allah SWT mengutus para Rasul dan para Nabi, dengan hikmah dan keadilan-Nya, Ia ciptakan musuh-musuh yang gigih menentang mereka. Ketetapan Allah SWT ini akan berlaku pula kepada para pengikut mereka, supaya jelas siapakah yang jujur dan siapakah yang dusta dalam pengakuan keimanannya. Allah SWT berfirman yang artinya, Alif lam mim. Apakah manusia menyangka bahwa mereka akan dibiarkan mengaku ‘kami beriman’ sedang mereka tidak diuji. Sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka sehingga Allah benar-benar mengetahui siapakah orang-orang yang jujur dan siapakah yang berdusta.” [Q.S. Al Ankabut:1-3].

Kisah kekejian yang luar biasa ini bermula dari seorang pemuda yang diutus oleh raja untuk belajar ilmu sihir kepada tukang sihir istana. Ia diharapkan akan dapat menggantikan tugas tukang sihir tersebut setelah kematiannya. Pemuda tersebut tinggal pada suatu kampung yang berbeda dengan tempat tukang sihir tersebut berada. Di tengah perjalanan antara kampung dan tempat tukang sihir berada, tinggallah seorang Rahib yang beriman kepada Allah SWT. Ia hidup mengasingkan diri dari masyarakat yang telah rusak agamanya karena menjadikan raja mereka sebagai sesembahan.

Singkat kata setiap kali pemuda tersebut melewati tempat rahib ini, ia tertarik mendengar ajaran-ajaran yang dianut rahib tersebut. Mulailah ia singgah untuk menimba ilmu yang dibawa oleh sang Rahib. Tiap kali berangkat dan pulang dari belajar sihir, ia menyempatkan diri untuk belajar kepada rahib. Ia pun mempelajari dua ilmu yang tidak akan bersatu, ilmu sihir dan ilmu agama.

Suatu ketika, pemuda tersebut melihat binatang besar yang menghalangi perjalanan manusia. Maka timbullah keinginan dalam pikiran pemuda tersebut untuk menguji manakah ajaran yang lebih utama,  ajaran rahib ataukah tukang sihir. Berdoalah ia kepada Allah, “Ya Allah, jika engkau lebih mencintai apa yang dibawa oleh rahib dari pada apa yang dibawa oleh tukang sihir, maka bunuhlah binatang ini, supaya manusia bisa bebas dari gangguannya.” Ia pun melempar binatang tersebut dengan batu yang mengakibatkan binatang itu mati seketika. Yakinlah si pemuda tentang keutamaan dan kebenaran ajaran sang rahib.

Waktu terus berlalu, si pemuda menjadi terkenal sebagai orang yang mahir mengobati orang yang buta, sakit belang, dan penyakit lainnya. Suatu ketika datanglah seorang pejabat dekat raja. Dengan membawa hadiah yang banyak ia datang untuk minta disembuhkan dari kebutaan yang dideritanya. Pejabat itu mengatakan, “Hadiah-hadiah yang aku bawa ini kuberikan kepadamu jika engkau dapat menyembuhkanku.”Si Pemuda menjawab, “Aku tidak bisa menyembuhkan seorang pun, Allahlah yang menyembuhkan, apabila engkau beriman kepada Allah SWT aku akan berdoa kepada-Nya agar menyembuhkanmu.” Maka pejabat itu pun beriman kepada Allah SWT, kemudian Allah SWT menyembuhkan sakitnya.

Pulanglah sang pejabat kerumahnya dan kembali duduk bermajelis bersama raja. Demi melihat kesembuhan pejabat tersebut, heranlah raja. Ia bertanya, “Siapakah yang menyembuhkan penglihatanmu?” Sang Pejabat berkata, “Rabbku.” Mendengar jawaban tersebut murkalah sang raja, dengan marah ia mengatakan, “Apakah kamu mempunyai Rabb selain aku?” Sang pejabat menjawab, “Rabbku dan Rabbmu adalah Allah SWT.” Seketika itu pula ia disiksa dan terus disiksa sampai akhirnya ia menunjukkan keberadaan si pemuda.
Dicarilah si pemuda tersebut, kemudian ditangkap dan dihadapkan kepada Raja. Raja mulai bertanya kepada si pemuda, ia tahu bahwa pemuda inilah orang yang ia utus untuk belajar kepada tukang sihir. Dengan nada lembut ia bertanya, “wahai anakku, sungguh sihirmu itu telah mencapai tingkatan untuk dapat menyembuhkan kebutaan, sakit belang dan lainnya.” Si pemuda menjawab, “Aku tidak bisa menyembuhkan seorang pun, Allahlah yang menyembuhkan.” Maka pemuda inipun disiksa sebagaimana sang pejabat sampai akhirnya si pemuda menunjukkan keberadaan sang rahib.

Ditangkaplah sang rahib dan dipaksa untuk kembali kepada agama sang raja. Maka sang rahib ini menolak dan memilih tetap berada di atas agama Allah SWT. Ia enggan untuk menjadikan makhluk sebagai tandingan bagi Allah SWT. maka sang raja membunuh sang rahib yang beriman ini dengan cara yang keji. Dengan angkara murka sang raja menggergajinya sehingga terbelah menjadi dua bagian. Tidak berbeda pula nasib sang pejabat, ia pun dibunuh dengan digergaji menjadi dua bagian, semoga Allah SWT membalasi keteguhan iman mereka dengan surga.

Adapun nasib si pemuda, berbeda dengan dua orang yang terdahulu. Sang raja menginginkan agar pemuda tersebut dibunuh dengan cara yang berbeda. Ia dibawa ke suatu gunung kemudian dilemparkan dari puncaknya. Akan tetapi, Allah menyelamatkannya dari percobaan pembunuhan ini. Usaha ini dilakukan beberapa kali dengan cara yang berbada. Setiap mereka ingin membunuhnya, si pemuda selalu berdoa kepada Allah, “Ya Allah selamatkanlah aku dari mereka dengan cara yang Engkau kehendaki.” Maka Allah SWT pun menyelamatkannya sehingga terbebas dari makar pembunuhan itu dan kembali kepada raja dalam keadaan selamat. Raja pun merasa bingung mencari cara menghabisi si pemuda tersebut.

Dengan penuh pertimbangan, akhirnya si pemuda memberitahukan kepada raja cara membunuh dirinya, ia berkata kepada raja, “Engkau tidak akan bisa membunuhku sampai engkau melakukan apa yang aku perintahkan. Kumpulkan manusia dalam satu tempat yang luas, saliblah aku pada batang pohon, lalu ambillah anak panah dari tempat anak panahku, kemudian katakanlah ‘Dengan menyebut Nama Allah, Rabb anak ini’ dan panahlah aku dengannya.” Sang raja pun melakukan perintah si pemuda. Ia menginginkan untuk segera menghabisinya. Pemuda itu ibarat duri dalam daging,  penghalang yang harus segera dimusnahkan. Raja tidak mengetahui rencana Allah SWT yang Maha Mengetahui. Dikumpulkanlah manusia pada suatu tempat, ia ambil anak panah dari tempat anak panah si pemuda, kemudian ia panah si pemuda sembari mengatakan, “Dengan menyebut Nama Allah, Rabb anak ini.” Anak panah melesat tepat mengenai pelipis si pemuda. Dengan izin Allah matilah pemuda itu di tangan raja.

Namun tanpa diduga oleh raja, rakyat yang menyaksikan peristiwa ini pun serta merta beriman kepada Allah. Mereka mengatakan, “Kami beriman dengan Rabb anak ini, kami beriman dengan Rabb anak ini.”
Telah datang waktunya kebenaran menyusup ke dalam relung hati rakyat. Tatkala keimanan telah menancap kokoh dalam hati, ia laksana batu karang yang tidak hancur diterpa gelombang. Demi melihat peristiwa ini, murkalah sang raja. Ia perintahkan pengikutnya untuk membuat parit-parit di setiap ujung jalan. Kemudian dinyalakan api di dalamnya. Sang raja memerintahkan pengikutnya untuk membunuh siapa saja yang tetap berada dalam keimanan kepada Allah SWT. Satu persatu mereka digiring dan dibawa ke parit tersebut, menemui ajal dengan mendapatkan keridhaan Allah.

Demikian sepenggal kisah dari orang-orang terdahulu yang beriman kepada Allah SWT. Dalam kitab-Nya yang mulia, Allah SWT banyak mengisahkan perjalanan hidup hamba-hamba-Nya. Sebagian mereka menentang, adapula yang tunduk dan patuh kepada perintah Allah SWT. Allah SWT menjadikan kisah-kisah ini sebagai pelajaran bagi kita untuk senantiasa mengikuti kebenaran walaupun beresiko harus mendapatkan penentangan manusia. Allah berfirman, “Sungguh dalam kisah mereka ada pelajaran bagi orang-orang yang berakal, bukanlah (Al Qur’an ini) sebagai ucapan yang diada-adakanakan, tetapi ia membenarkan (kitab-kitab) yang terdahulu dan sebagai penjelas atas segala sesuatu petunjuk serta rahmat bagi kaum yang beriman.” [Q.S. Yusuf:111].  Allahu a’lam. [Hammam].

Maraji’:
Tafsir AlQur’an Al ‘Adzim
Sumber: http://tashfiyah.net/2011/12/kisah-ashabul-ukhdud/

Belajar dari Asy-Syaikh Ibnu Baz

Para ulama adalah orang-orang yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wata’ala karena ilmu mereka, yaitu ilmu tentang kitabullah dan sunnah Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Subhanahu wata’ala memuliakan mereka di kehidupan dunia yang fana ini dan kelak di akhirat. Mereka adalah orang-orang yang paling beruntung karena menjadi pewaris para nabi. Hal ini sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para ulama itu pewaris para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham (harta), tetapi mewariskan ilmu. Barang siapa berhasil mengambilnya berarti dia telah berhasil mendapatkan keuntungan yang banyak.” (HR . Abu Dawud dan at- Tirmidzi dari Abu ad-Darda radhiyallahu ‘anhu)

Sebagaimana telah diketahui, Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah mewariskan selain apa yang telah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan kepada umatnya selama hidupnya, yaitu kitabullah al-Qur’an al-Karim dan sunnah-Nya yang suci. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayatayat- Nya kepada mereka, menyucikan mereka, serta mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (al-Jumu’ah: 2)

Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِي
“ Aku telah meninggalkan (mewariskan) dua hal bagi kalian. Apabila berpegang teguh dengan keduanya, niscaya kalian tidak akan tersesat selamalamanya sepeninggalku. (Dua hal itu) adalah kitabullah dan sunnahku.” 

Di antara hal-hal termulia yang diwariskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para ulama adalah akhlak dan kepribadian yang terpuji. Allah Subhanahu wata’ala memuji Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam karena sifat tersebut dalam firman-Nya,
ن ۚ وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ {} مَا أَنتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ {} وَإِنَّ لَكَ لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍ {} وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benarbenar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 1—4)
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha menjelaskan bahwa akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an, sebagaimana disebutkan oleh sebuah hadits sahih yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullah di dalam Shahih-nya. Al-Imam al-‘Allamah asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan,
“Apa yang dikatakan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha ini adalah sebuah kalimat yang agung. Beliau membimbing kita untuk berakhlak seperti akhlak beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu mengikuti al-Qur’an, istiqamah di atas (ajaran) al-Qur’an pada seluruh urusan yang diperintahkan dan yang dilarang. Di samping itu, menjauhi seluruh akhlak jelek yang dicela oleh al-Qur’an dan dicela pula pemiliknya. Ini adalah akhlak yang dipuji dan disanjung oleh al-Qur’an. Orang-orang berilmu, seperti para dai, pendidik, dan penuntut ilmu, seyogianya benar-benar memerhatikan kitabullah dan menerimanya dengan sepenuh hati. Dengan demikian, mereka akan berhasil mengambil akhlak-akhlak yang dicintai oleh Allah l dari al-Qur’an itu. Setelah itu, mereka beristiqamah di atasnya. Akhirnya, mereka menjadi orang-orang yang memiliki akhlak dan manhaj (metodologi) di atasnya (al- Qur’an) di mana pun berada.” (Akhlaqu Ahlil ‘Ilmi, hlm. 1)

Kesabaran dan Kesungguh-Sungguhan dalam Menuntut Ilmu
Asy-Syaikh Abdul Mushin al-‘Abbad berkata, “Beliau, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, dilahirkan di kota Riyadh pada 12 Dzulhijjah1330 H. Beliau dibesarkan di dalam lingkungan keluarga yang mulia. Di dalamnya ada orang-orang yang berilmu dan mulia. Sejak kecil beliau memiliki cita-cita yang tinggi, rajin, dan bersemangat mendapatkan ilmu. Bahkan, beliau telah hafal al-Qur’an sebelum baligh. Beliau dahulu memiliki penglihatan yang sempurna. Sakit yang beliau derita pada umur 16 tahun mengakibatkan penglihatan beliau melemah. Indra penglihatan beliau bertambah lemah sampai tidak mampu melihat sama sekali pada umur 20 tahun. Akan tetapi, Allah Subhanahu wata’ala mengaruniai beliau pandangan, cahaya, dan iman di dalam hatinya sehingga beliau tumbuh di atas ilmu, keutamaan, semangat, dan kesungguhsungguhan untuk mencari ilmu.

Mengamalkan Ilmu
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad melanjutkan, “Beliau adalah alim yang besar. Hal ini diketahui oleh orang-orang khusus dan orang-orang umum. Beliau adalah seorang yang alim lagi pendidik. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menulis di dalam kitabnya, Fathul Bari, dari Ibnu A’rabi rahimahullah bahwa dia berkata, ‘Seorang alim tidak disebut sebagai rabbani (pendidik) hingga dia mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya.’ Sungguh, asy-Syaikh Abdul Aziz adalah orang yang seperti itu. Beliau berilmu, beramal, dan mengajarkan ilmunya sekaligus mengajak kepada mentauhidkan Allah Subhanahu wata’ala dengan bashirah (ilmu dan keyakinan).

Khasyah (Rasa Takut) dan Ibadah
Asy-Syaikh Abdul Muhsin berkata, “Asy-Syaikh Ibnu Baz adalah seorang yang senantiasa mengamalkan ilmunya karena buah ilmu adalah amal. Beliau sering berzikir, berdoa, dan senantiasa berusaha untuk menunaikan ibadah haji hingga 47 kali. Saya (asy-Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad) mengetahui hal itu tatkala beliau berkunjung ke daerah al-Bahah pada Sya’ban 1400 H. Ketika itu beliau ditanya tentang hal tersebut. Di antara jawabannya, beliau menyebutkan bahwa umurnya saat itu 70 tahun dan telah menunaikan haji 28 kali. Salah seorang hadirin mengabarkan hal itu kepada saya.
Setelah itu beliau setiap tahun menunaikan ibadah haji hingga terhenti pada 1418 H. Jadi, beliau berhaji 28 kali ditambah 19 kali, jumlahnya 47 kali. Termasuk bukti perhatian beliau yang sangat besar terhadap ibadah dan menyibukkan diri dengannya adalah sebuah peristiwa pada 1397 H akhir bulan Dzul Qa’dah. Ketika itu, saya pergi dari Madinah ke Makkah karena sebuah urusan yang terkait dengan pekerjaan saya. Saat itu saya menjadi wakil beliau (beliau menjabat rektor, -red.) di Universitas Islam Madinah. Saya bermalam di rumah beliau. Di rumah beliau ada sebuah tempat yang luas. Di tempat itu beliau berjamjam mondar-mandir sambil membaca al-Qur’an. Beliau ingin menggerakkan badan (sambil membaca al-Qur’an).
Saya juga mengingat sebuah kejadian pada saat beliau masih memimpin Universitas Islam Madinah. Saya bersama beliau masuk ke Masjid Nabawi setelah azan zuhur. Saya berada di samping beliau. Beliau lantas shalat empat rakaat, sedangkan saya shalat dua rakaat. Sudah dimaklumi jumlah shalat rawatib ada 10 rakaat menurut sebuah riwayat, dan menurut riwayat lainnya 12 rakaat. Namun, yang lebih utama dan sempurna adalah 12 rakaat. Tatkala selesai shalat, beliau menoleh kepada saya sambil berkata, ‘Engkau tidak shalat selain dua rakaat saja.’ Saya menjawab, ‘Ya.’ Beliau berkata, ‘Sesungguhnya yang dua belas rakaat itu lebih utama dan lebih sempurna.’ Beliau senantiasa memilih yang lebih utama dan lebih sempurna. Beliau senantiasa memberi peringatan, bimbingan, dan arahan untuk meraih yang paling mulia dan paling sempurna.”

Ketegaran dan Keberanian Berdakwah
Beliau senantiasa berusaha memberi manfaat kepada umat baik dengan ilmu maupun nasihatnya, baik dengan amar ma’ruf maupun nahi munkar, dengan ajakan maupun dakwah ke jalan yang baik, serta membantu mereka dengan harta dan kedudukan beliau. Beliau berdakwah dengan hikmah dan nasihat yang baik, melalui ceramah, nasihat, dan tulisan. Ketika beliau mendapatkan kesalahan-kesalahan yang terdapat di koran atau majalah, beliau akan memperingatkannya. Peringatan beliau itu disebarkan melalui koran-koran ataupun risalah-risalah yang ditulis dan dicetak oleh beliau sendiri.

Ketawadhuan dan Kepedulian
Rumah beliau senantiasa didatangi oleh orang-orang fakir dan orang-orang yang punya berbagai keperluan. Ada yang datang meminta fatwa, ada pula yang meminta bantuan. Mereka semua makan siang atau makan malam bersama beliau. Beliau telah menyiapkan makanan setiap hari dengan jumlah yang cukup bagi tamunya. Musim haji tahun 1419 H. Beliau berhalangan menunaikan ibadah haji karena sakit yang menyebabkan beliau meninggal. Para dokter menyarankan beliau untuk tidak pergi haji. Karena itu, beliau menugaskan beberapa orang untuk membuka pintu rumahnya di Makkah dan tempat kemahnya di Mina. Beliau perintahkan pula untuk membuatkan jamuan guna diberikan kepada orang-orang yang biasa datang untuk mendapatkan faedah dari ilmu beliau dan makan bersama beliau. Beliau pun senantiasa menelepon orang-orang yang diberi tugas tersebut supaya tenang.
Beliau sangat bersemangat membantu orang-orang yang membutuhkan dan membangun masjid-masjid, baik di dalam maupun di luar negeri. Di atas meja khusus beliau di rumahnya, tertumpuk daftar orang-orang dan proposal-proposal yang mengharapkan bantuan, baik orang-orang yang fakir maupun para dai, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Bukan hanya ini usaha beliau untuk memberi manfaat kepada umat dan semangat beliau membantu mereka. Beliau menulis surat kepada seorang syaikh besar pada tanggal 8-3-1418 H. Beliau tuliskan di dalam surat itu, “Saya senang memberi kabar kepadamu yang sudah sekian tahun saya berusaha banyak membantu orang-orang berhajat, baik di dalam maupun di luar Kerajaan Saudi, membangun masjid-masjid baik di dalam maupun di luar Kerajaan Saudi, menunjuk para dai di luar Kerajaan Saudi, yang itu semua dengan biaya Raja Saudi, para pembantunya, beberapa pejabat, orang-orang yang dermawan, dan pengusaha.” Beliau lalu berkata, “Kekekalan itu hanya milik Allah Subhanahu wata’ala…. Jika saya meninggal, saya berharap engkaulah yang akan menggantikan saya mengurusi tugas-tugas ini dan hendaknya engkau mengharap pahalanya di sisi Allah Subhanahu wata’ala.”

Kasih Sayang terhadap Umat
Beliau sangat penyayang, dermawan, dan menghormati tamu. Tatkala datang kepada beliau tamu yang berasal dari berbagai daerah atau negara, beliau segera mengundangnya untuk makan siang atau makan malam. Beliau juga akan bertanya tentang kabarnya dan kabar ayah ibunya, bertanya tentang sebagian kerabatnya, serta tentang orang-orang yang dikenal sebagai ulama di negeri asal sang tamu. Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah mengisahkan kunjungannya kepada gurunya, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah, “Pada tahun terakhir sebelum beliau meninggal, saya pergi ke Makkah, dua hari sebelum pergi ke Thaif bertepatan dengan hari Kamis, 29 Dzulhijah. Saya dan beberapa anak saya pergi untuk mengunjungi beliau secara khusus. Tatkala kami sampai dan mengucapkan salam, sebagaimana biasanya beliau rahimahullah segera bertanya kepada kami tentang kabar kami dan kabar kedua orang tua kami, sekaligus mengundang makan siang. Saya katakan kepada beliau, ‘Sesungguhnya kami datang dari Madinah dengan tujuan khusus untuk mengunjungi Anda dan makan siang bersama Anda. Setelah itu, kami kembali ke Madinah.” Beliau menjawab, ‘Allah Subhanahu wata’ala berfirman dalam hadits qudsi,
وَجَبَتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِيْنَ وَالْمُتَزَاوِرِينَ فِيَّ
‘Kecintaan-Ku wajib didapatkan oleh orang-orang yang saling mencintai dan mengunjungi karena Aku’.

Adab Terhadap Para Ulama
“Beliau rahimahullah sangat memerhatikan permasalahan fikih. Beliau sendiri adalah rujukan dalam hal fatwa, baik di dalam maupun di luar Kerajaan Saudi. Beliau adalah seorang mufti (ahli fatwa) dunia. Sebagaimana yang telah saya sebutkan, umat manusia atau kaum muslimin bahkan merujuk kepada beliau dalam berbagai masalah yang diperselisihkan. Beliau rahimahullah sangat teliti menyebutkan sebuah pendapat atau hukum dengan disertai dalilnya dan menjelaskan sisi pendalilannya, baik dalil-dalil wahyu maupun dalil secara logika. Ketika mengkritisi sebuah pendapat yang menurut keyakinan beliau menyelisihi kebenaran, beliau sangat beradab terhadap para ulama rahimahumullah. Beliau berkata, ‘Pendapat ini perlu diteliti, dan yang benar adalah demikian dan demikian.’ Barang siapa menelaah catatan kaki beliau dalam kitab Fathul Bari jilid ketiga, niscaya dia akan mendapatkan hal itu dengan jelas dan terang.

Tatkala beliau mengkritisi al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah atau para ulama yang beliau nukil pendapatnya, beliau mengawali kritikannya dengan ucapan, ‘Pendapat ini butuh diteliti, dan yang benar adalah demikian dan demikian,’ sambil menyebutkan dalilnya. Adapun pendapat yang jelas-jelas salah atau batil yang menyelisihi alhaq dan dalil, beliau akan berkata, ‘Pendapat ini sangat jelas kebatilannya’, ‘Pendapat ini tidak benar’, atau ‘Ini adalah pendapat yang batil’, atau ungkapan yang semisalnya.” Demikianlah sedikit gambaran yang menakjubkan tentang akhlak dan kepribadian sebuah pribadi yang menjadi suri teladan. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wata’ala senantiasa melimpahkan hidayah dan taufik kepada kita semua untuk terus-menerus berusaha memperbaiki akhlak dan kepribadian kita sehingga termasuk golongan para hamba-Nya yang beruntung dengan mendapatkan bagian warisan dari Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam. Amin ya Rabbal-alamin.

Saturday, August 24, 2013

Ber-Ilmu sebelum Ber-Amal

Sebagai khalifah, manusia diberikan tanggung jawab untuk menjaga dan memelihara bumi hingga kiamat nanti. Dengan modal akal dan hati yang dimilikinya, manusia diberikan tanggung jawab yang cukup berat ini. Tidak heran jika pada saat awal penciptaan manusia, Allah Ta’ala berfirman kepada malaikat dan iblis untuk sujud kepada Nabi Adam atas dasar akal dan tanggung jawab yang dimiliki manusia. Hanya iblis yang membangkang untuk turut sujud kepada Nabi Adam karena kesombongannya, sedangkan malaikat mengikuti perintah Allah SWT tersebut (ayat terkait dapat dilihat di Q.S Al-Baqarah:30-34). Kita lihat bahwa tanggung jawab manusia sebagai khalifah ini begitu berat sehingga membuat Allah meminta jin dan malaikat untuk sujud kepada Nabi Adam. Hanya Allah lah yang mengetahui alasan mengapa manusia yang dipilih sebagai khalifah. Kita tidak bisa menyangkal peran kita sebagai khalifah di muka bumi, maka dari itu kita harus berusaha untuk selalu berpedoman kepada Al Qur’an dan As Sunah untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya agar hingga hari akhir nanti ajaran Allah tetap murni sesuai dengan yang diajarkan Nabi Muhammad s.a.w.

Dibalik semua skenario terindah yang telah Allah SWT rencanakan untuk kita sebagai khalifah di bumi Allah SWT ini, kita juga patut bersyukur bahwa diantara jutaan umat manusia yang ada kita lah yang dipilih Allah SWT untuk bisa merasakan indahnya beriman kepada Allah SWT. Dengan islam, kita dikenalkan hakikat manusia sebagai makhluk yang pada fithrahnya adalah suci, mencintai kebenaran dan membenci kehidupan jahiliah. Sungguh indahnya nikmat islam, karena islam juga mengajarkan manusia untuk menggunakan akal serta hatinya untuk dapat membedakan yang haq dan bathil. Hal itulah yang menjadi bekal kita untuk menabung amalan di dunia. Dan bersyukur pula lah kita untuk hidup di zaman ini, juga di Indonesia, yang dapat beribadah tanpa tekanan serta terhindar dari penjajahan fisik. Tapi kita janganlah senang dulu, setiap zaman pasti ada tantangannya. Jika dulu Rasulullah s.a.w beserta para sahabatnya diberikan ujian berupa penyiksaan karena beriman kepada Allah SWT. Itulah jalan jihad mereka dengan berperang di jalan Allah SWT. Namun sekarang, apa yang harus kita lakukan dalam jihad fisabilillah?
Allah 'Azza wajalla berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman. Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana Isa Ibnu Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: “Kamilah penolong-penolong agama Allah”, lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir; Maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang. (QS As Shaff:10-14)
Sebuah perniagaan yang tiada merugi yaitu kita membelanjakan harta kita untuk menegakkan Islam dan balasannya pun tidak tanggung-tanggung, surga Allah. Dan itulah jalan jihad kita, berdakwah di jalan Allah SWT, yaitu menyampaikann perkara yang baik kepada sesama dan dilakukan baik dengan lisan melalui nasihat, maupun perbuatan yaitu melalui contoh. Dakwah dapat dilakukan dari lingkungan dan ruang lingkup terkecil yaitu dakwah fardhiyah atau dakwah perorangan. Dengan menyampaikan ilmu yang kita miliki, maka disana kita seharusnya bisa sama-sama belajar dan saling mengingatkan karena Allah sangatlah membenci orang-orang yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan, sesuai dengan firman Allah 'Azza wajalla:
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” Q.S As Shaff : 2-3.
Bicara tentang tantangan akhir zaman, memang sungguh berbeda kehidupan jahili versi dulu dan sekarang. Menurut Salim A. Fillah dalam bukunya yang berjudul ‘Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim’, berhala zaman dahulu dapat terlihat, yaitu patung-patung yang dengan jelas disembah oleh manusia. Namun sekarang, berhala-berhala yang menyekutukan Allah SWT sudah tak terlihat lagi, yaitu hawa nafsunya yang dijadikan sesembahannya. Bahkan para penyembah berhala itu pun bisa jadi tidak menyadari akan apa yang dilakukannya. Seperti firman dalam Allah 'Azza wajalla yang artinya,
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmuNya? Dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan di atas penglihatannya…” (Q.S Al Jatsiyah: 23).
Berdoalah, semoga kita tidak termasuk golongan yang menggunakan hawa nafsu sebagai sesembahannya. Tetapi, hal itulah yang menimpa manusia di zaman ini, khususnya generasi muda. Berpegang kepada Al-Qur’an dan As Sunah merupakan pedoman yang pasti untuk beramal dan berdakwah di dunia ini karena dua hal itulah yang ditinggalkan Rasulullah s.a.w untuk umatnya. Allah 'Azza wajalla berfirman,
 ”Apa saja yang diberikan oleh Rasul kepadamu semua, maka ambillah itu (yakni lakukanlah) dan apa saja yang dilarang olehnya, maka hentikanlah itu.”
(Q.S al-Hasyr: 7).
Namun, di zaman ini ternyata ada saja amalan-amalan yang dianggap sunah tapi ternyata itu adalah tambahan-tambahan yang dilakukan setelah zaman Rasulullah SAW atau lebih dikenal dengan bid’ah. Padahal, sesuai dengan firman Allah SWT di atas bahwa kita diperintah untuk mengikuti perintah Rasulallah SAW. Maka sebelum melakukan Amalan, ada baiknya kita teliti terlebih dahulu keshahihan haditsnya. Itulah manfaat dari terus menuntut ilmu di akhir zaman ini agar kita dapat mengamalkan ajaran Rasulullah SAW yang murni dan terhindar dari kebid’ahan. Hal itu pun belum cukup, ada baiknya kita untuk senantiasa berdo’a agar diberikan hidayah-Nya dan keindahan nikmat iman yang merasuk ke hati kita.
Intinya, kita sebagai seorang manusia telah diberi tanggung jawab yang cukup besar, yaitu menjaga bumi ini. Allah Ta’ala telah mengutus Muhammad s.a.w sebagai pengemban risalah dan telah mewariskan Al Qur’an dan As Sunah untuk kita sebagai pedoman bagi kita untuk menjalani kehidupan dunia di akhir zaman ini. Di tengah kehidupan jahiliah yang terselubung seperti sekarang, ada baiknya kita berusaha untuk mencegahnya dengan cara menyampaikan ilmu kita, minimal kepada orang terdekat kita. Tetapi sebelumnya, kita berhati-hati akan apa yang akan kita sampaikan. Teliti, pahami, dan cari hadits yang paling sahih mengenai apa yang akan kita sampaikan karena kebid’ahan telah sangat dekat di sekitar kita. Itulah pentingnya menuntut ilmu terlebih dahulu sebelum beramal dan menyampaikannya. Rasulullah SAW bersabda,
“Betapa ingin aku bertemu dengan saudara-saudaraku!” Para sahabat berkata,”Wahai Rasulullah, bukankah kami ini saudara-saudaramu?” Rasulullah menjawab, “Kamu sekalian adalah sahabat-sahabatku, saudara-saudraku adalah generasi yang belum muncul.” Wahai Rasulullah, bagaimanakah engkau dapat mengenali suatu generasi dari umatmu yang belum lagi muncul ?” Tanya sahabat. Beliau menjawab, “Bagaimanakah menurutmu, bila seseorang memiliki seekor kuda yang putih kepala dan kakinya diantara kuda-kuda yang hitam legam, bukankah dia dapat mengenali kudanya ?” “Tentu saja wahai Rasulullah!” Jawab mereka. “ Sungguh mereka akan datang dengan warna putih bercahaya pada wajah dan di tubuh mereka disebabkan air wudhu.’ Dan akulah yang akan mendahului mereka tiba di telaga  (Al-Kautsar)! Jawab Beliau.
(HR. Muslim)
Dan tahukah sahabat Mata’, bahwa yang dimaksud dengan akhir zaman adalah sekarang, pada saat bagian kita untuk terlahir di dunia ini. Dan juga janganlah lupa untuk meniatkan setiap langkah kita di dunia, setiap seruan kita kepada kebaikan, hanyalah untuk mendapat ridha dari Allah Ta’ala.

ILMU --------> AMAL
Wallahu a’lam bish shawab.

Muraji' :
Kitab Riyadhus Shalihin-Imam Nawawi;
Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim-Salim A. Fillah

Perselisihan Umat Akhir Zaman

Perselisihan dan kontradiksi pendapat yang mewarnai umat ini, seakan sudah menjadi perkara yang dianggap lumrah. Slogan-slogan dari sebagian orang yang mengatakan : “Perselisihan itu adalah rahmat, jadi diantara kita harus memiliki rasa toleransi”, atau “Kita saling tolong-menolong pada hal-hal yang kita sepakati dan kita bertoleransi pada hal-hal yang kita perselisihkan” pun turut menghiasi, seakan menyetujui perselisihan yang kian larut ini.
Sekilas slogan-slogan tersebut memberi kesejukan dan ketenangan jiwa manusia. Dengan dalih “… walaupun berselisih atau berbeda pemahaman, yang penting ukhuwah (persaudaraan) tetap terjalin.” Walhasil ketika bermuamalah, mereka berusaha untuk tidak menyentuh perkara yang diperselisihkan demi menjaga keutuhan ukhuwah. Sekalipun perkara tersebut adalah sesuatu yang prinsip (jelas) hukumnya dalam agama. Sehingga amar ma’ruf nahi munkar sulit dijalankan, karena adanya rambu-rambu toleransi ala mereka.
Mereka tak sadar bahwa dengan sikap seperti itu justru melanggengkan perselisihan yang tajam pada umat ini.Bila kita melihat realita yang ada, tidak sedikit dari kalangan muslimin yang terperosok jauh akibat perselisihan tersebut. Mereka tidak bisa menerima dan menjalani konsekwensi dari slogan-slogan di atas tadi (“perselisihan adalah rahmat” dan lain-lain). Perselisihan pun menjadi kian meruncing nan tajam.
Bahkan diantara mereka terjatuh dalam pertikaian, permusuhan, bersitegang urat sampai pada bentrokan fisik. Karena masing-masing pihak merasa bangga dan ingin memenangkan pendapat yang dipeganginya.
Semisal dalam hal pemilihan madzhab diantara imam yang empat. Baik dalam perkara aqidah, fiqih maupun muamalah. Sebagai contoh : “Si A tidak mau sholat di masjid yang berbeda madzhab” atau “si B tidak mau bermakmum di belakang si C karena madzhabnya berbeda”. Dan contoh-contoh lain yang telah melanda kehidupan umat Islam. Lalu apakah perselisihan yang demikian ini dikatakan sebagai “rahmat”?

Perkataan Ulama tentang Hadits ini
Al-Hadits merupakan sumber rujukan utama umat Islam setelah Al-Qur’an. Kedudukan Al-Hadits sedemikian penting, maka mengetahui keshohihan (kebenaran)nya adalah suatu konsekwensi logis. Namun dalam menentukan suatu hadits itu shohih atau tidak, bukanlah hal sepele. Oleh karena itu kita dilarang untuk sembarangan menukil hadits, jika belum pasti keshohihannya.
Ahlul Hadits adalah para ulama yang mereka memahami ilmu-ilmu seputar permasalahan hadits. Baik dari segi matan/redaksi hadits maupun sanad (deretan/rangkaian para perawi hadits yang bersambung sampai kepada Rasulullah). Ahlul Hadits berupaya keras untuk mengumpulkan, meneliti dan memisahkan hadits yang shohih dari yang dho’if (lemah) dan maudhu’ (palsu). Berikut penulis nukilkan perkataan Ahlul Hadits tentang sebuah hadits masyhur : “Perselisihan Umatku adalah Rahmat”.
Asy Syeikh Al Muhadits Nashiruddin Al Albani rohimahullah dalam Silsilah Ahadits Adh Dho’ifah mengenai “hadits” ini, beliau berkata : “Hadits ini tidak ada asalnya”. Para muhadits sudah berupaya keras untuk mendapatkan sanad hadits ini tetapi mereka tidak mendapatkannya. Sampai beliau (Al Albani) berkata : “Al Munawi menukil dari As Subki bahwa dia berkata : “Hadits ini tidak dikenal oleh para muhadits, dan saya belum mendapatkannya baik dalam sanad yang shohih, dho’if, atau maudlu’.
Syaikh Zakariya Al Anshori menyetujuinya dalam ta’liq atas Tafsir Al Baidlawi 2/92 Qaaf (masih dalam manuskrif).
Makna hadits ini pun diingkari oleh para ulama peneliti hadits. Al ‘Allamah Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya Al Ihkam fi Ushulil Ahkam Juz 5/hal 64 setelah beliau mengisyaratkan bahwasanya “ucapan” itu bukan hadits : “Ini adalah ucapan rusak yang paling rusak. Karena jika perselisihan itu rahmat, tentu kesepakatan itu sesuatu yang dibenci dan tidak ada seorang muslim pun yang mengatakan demikian. Yang ada hanya kesepakatan atau perselisihan, rahmat atau dibenci. Di kesempatan lain beliau mengatakan : “batil dan dusta”. (Silsilah Ahadits Adh Dho’ifah juz 1, hadits no 57 hal 141)
Dalam kitab Zajrul Mutahawin bi Adz Dzoror Qo’idatil Ma’dzaroh wa Ta’awun hal 32, yang ditulis oleh Hamad bin Ibrohim Al Utsman dan kitab ini telah dimuroja’ah (diteliti ulang) oleh Asy Syeikh Al Allamah Sholeh bin Fauzan Al Fauzan. Disebutkan bahwa : “Hadits ini lemah secara sanad dan matan. Tidak diriwayatkan di dalam kitab-kitab hadits dengan lafadz ini.
Adapun yang masyhur adalah hadits “Perselisihan para shahabatku adalah rahmat”. Dan sebagian dari ulama ahli ushul menyebutkan hadits tersebut sebagaimana yang dilakukan Ibnul Hajib di dalam Mukhtashornya tentang ushul fiqih.
Berkata Abu Muhammad ibnu Hazm : “Adapun hadits yang telah disebutkan “Perselisihan umatku adalah rahmat” adalah kebatilan dan kedustaan yang bermuara dari orang yang fasik.” (Al Ahkam fi Ushulil Ahkam 5/61)
Al Qoshimy mengomentari (sanad dan matan) hadits ini, dalam kitab Mahasinut Ta’wil 4/928 : “Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa hadits ini tidak dikenal keshohihan sanadnya. At Thobrony dan Al Baihaqy meriwayatkannya di dalam kitab Al Madkhol dengan sanad yang lemah dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’.
Adapun ‘ilat (kelemahan) hadits ini adalah :
  1. Adanya perawi yang bernama Sulaiman bin Abi Karimah, Abu Hatim Ar Rozy melemahkannya.
  2. Perawi yang bernama Juwaibir, dia seorang Matrukul Hadits (ditinggalkan haditsnya) sebagaimana yang dinyatakan Nasa’i, Daruquthny. Dia meriwayatkan dari Adh Dhohhak perkara- perkara yang palsu termasuk “hadits” ini.
  3. Terputusnya (jalur riwayat) antara Adh Dhohhak dan Ibnu ‘Abbas.
Berkata sebagian ulama : “Hadits ini menyelisihi nash-nash ayat dan hadits, seperti firman Allah Ta’ala : “Dan mereka senantiasa berselisih kecuali orang yang yang dirahmati Robbmu” dan sabda Rasulullah “Janganlah kalian berselisih, maka akan berselisih hati-hati kalian” (Riwayat Ahmad, Abu Daud dan dikeluarkan di dalam Sunan Abu Daud oleh Asy Syeikh Al Albani) dan hadits-hadits yang lain banyak sekali. Maka kesimpulannya bahwa kesepakatan (di atas kebenaran) itu lebih baik daripada perselisihan.


Setiap muslim yang mengaku beriman kepada Allah 'Azza wajalla dan hari Akhir, niscaya akan menyatakan bahwa dirinya cinta kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Namun cinta tidaklah cukup di lisan saja. Bahkan harus diwujudkan dalam amal perbuatan. Salah satu bukti cinta kita kepada Beliau adalah tidak lancang/berani dalam menukil suatu ucapan, lalu mengatasnamakan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Hendaklah takut akan ancaman Beliau : “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah ia menempatkan tempat duduknya dari api neraka”. (HR.Bukhori)
Alhamdulillah dari penjelasan Ahlul Hadits di atas, dapat diketahui bahwa hadits “Perselisihan umatku adalah rahmat” ternyata bukan merupakan sabda Rasulullah. Atau disebut juga hadits maudhu’. Padahal hadits ini sangat tenar dan menyebar bahkan menjadi pegangan para aktivis dakwah. Namun sebagai seorang muslim yang mau menerima kebenaran, tentulah akan bersegera meninggalkan hadits ini, sebagai salah satu wujud cinta dia kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Allah SWT berfirman : “Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali Imron : 103)

Al Hafidz Ibnu Katsir rohimahullah berkata : “Allah SWT telah memerintahkan kepada mereka (umat Islam) untuk bersatu dan melarang mereka dari perpecahan. Dalam banyak hadits juga terdapat larangan dari perpecahan dan perintah untuk bersatu dan berkumpul (di atas kebenaran).” (Tafsir Ibnu Katsir 1/367)
Sesungguhnya tidak terdapat satu dalilpun dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan bahwa perselisihan itu adalah rahmat. Maka sikap menyetujui perselisihan dan menganggapnya sebagai rahmat, justru menyelisihi nash-nash mulia, yang jelas-jelas mencela terjadinya perselisihan.  
Wallahul muwafiq ila sabilish showab.

Fitnah Wanita |Said Bin Al Musayyib

 
Siapakah Said Bin Al Musayyib
Beliau adalah pembesar para tabi’in yang sezaman dengan para sahabat senior yaitu Umar bin Al-Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, sayyidah Aisyah dan Ummu Salamah ridhwanullah ‘alayhim ajma’in. Beliau juga perawi yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sehingga beliau pun menikahkan Said dengan putrinya.
Beliau adalah seorang yang tidak pernah ketinggalan shalat berjamaah selama 40 atau 50 tahun, juga tidak pernah melihat punggung orang orang yang sedang shalat karena dia selalu di barisan terdepan. Beliau juga seorang yang tegas dan tidak mau tunduk dengan kemauan para penguasa. Namun beliau tetaplah seorang yang lembut dan mengedepankan rasa persaudaraan dalam pergaulan terutama dengan orang orang yang shalih dan bertaqwa. Banyak sanjungan dan pujian terlontar kepada beliau mengenai wawasan, kehormatan dan kemuliaan beliau.
Beliau menolak pinangan khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk dinikahkan kepada putranya, Al-Walid untuk putrinya dan memilih menikahkan putrinya kepada Katsir bin Abdul Muthallib bin Abi Wada’ah hanya dengan dua atau tiga dirham. Karena penolakannya ini beliau dihukum 60 kali cambuk, disiramkan air dingin ke tubuhnya saat muslim dingin, dan dipakaikan kepadanya jubah yang terbuat dari kain sutera.

Ketakutan Beliau Akan Fitnah Wanita
Dari Ali bin Zaid dari Said bi Al-Musayyib, dia berkata, “Tidak ada yang lebih mudah bagi setan untuk menggoda kecuali melalui perempuan.” Kemudian, Said berkata “Tidak ada sesuatu yang lebih aku takutkan daripada perempuan.” Padahal saat itu umurnya sudah lanjut, tua renta dan salah satu penglihatannya telah buta sedangkan yang tersisa pun sudah kabur penglihatannya karena rabun.
Dari Imran bin Abdul Malik, dia berkata, “Said bin Al-Musayyib berkata, “Aku tidak pernah merasa takut kepada sesuatu pun seperti ketakutanku pada wanita.” Orang orang yang mendengarnya selanjutnya mengatakan, “Sesungguhnya orang seperti Anda tidak pernah menginginkan wanita (untuk dinikahi) dan tidak ada wanita yang mau mengawini anda,” Dia berkata, “Memang itulah yang aku katakan kepada kalian.”

Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku suatu fitnah yang lebih berbahaya bagi laki laki (melainkan fitnah yang datang dari) wanita.” Dikeluarkan oleh Bukhari (9/5096); Muslim (4/2097), Ibnu Majah (3998) dan At-Tirmidzi (2780) dan dia berkata: “Hadits Hasan Shahih”
Demikianlah Said bin Al Musayyib. Bagaimana dengan para pemuda saat ini yang dikaruniai penglihatan sempurna, dan menemukan wanita wanita yang bahkan belum pernah ada di zaman Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bebas berkeliaran di jalan jalan, sedangkan setan la’natullah ‘alayh menghiasi pandangan mereka terhadap wanita wanita tersebut?..
Hendaklah mereka takut akan apa yang telah diperingatkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam. Inilah fitnah terbesar bagi kaum adam yaitu Fitnah Wanita, yang penuh menggoda.....
Semoga kita (kaum adam) bisa menjaga dan mengendalikan syahwat yang tidak diinginkan.

Tundukkan pandangan..... 
Jaga jarak..... 
Hindari berdua-duaan..... 
dan....... 
Segeralah MENIKAH jika tak mampu menahan........

Sejarah Bulan Syawal



Asal Penamaan
 
Ibnul ‘Allan Asy Syafii mengatakan, “Penamaan bulan Syawal itu diambil dari kalimat Sya-lat al Ibil yang maknanya onta itu mengangkat atau menegakkan ekornya. Syawal dimaknai demikian, karena dulu orang-orang Arab menggantungkan alat-alat perang mereka, disebabkan sudah dekat dengan bulan-bulan haram, yaitu bulan larangan untuk berperang. (Dalil al Falihin li Syarh Riyadh al Shalihin – karya Muhammad bin ‘Allan al Shiddiqi al Syafii al Maki)
Seusai bulan syawal, orang akan memasuki bulan Dzul Qa’dah, Dzulhijjah, dan Muharam. Di tiga bulan ini, tidak dibolehkan terjadinya peperangan.
Ada juga yang mengatakan, disebut bulan Syawal, karena orang arab menganggap sial dengan bulan ini. Sehingga mereka melarang mengadakan acara pernikahan di bulan Syawal. Mereka sebut bulan ini dengan bulan Syawal karena para wanita menolak untuk dinikahi sebagaimana onta betina yang menolak sambil sya-lat (mengangkat) ekornya, setelah didekati onta jantan. (Lisanul ‘Arab, madah: sya-wa-la).

Catatan:
Banyak orang beranggapan bahwa syawal adalah bulan peningkatan, dalam arti peningkatan amal dan kebaikan. Barangkali anggapan ini didasari makna bahasa kata: syawal di atas. Akan tetapi, kurang tepat jika dikatakan bahwa sebab mengapa bulan ini dinamakan syawal adalah karena seusai ramadhan, manusia melakukan peningkatan dalam beramal dan berbuat baik. Karena nama bulan “syawal” sudah ada sejak zaman jahiliyah (sebelum datangnya islam), sementara masyarakat jahiliyah belum mengenal syariat puasa di bulan ramadhan. Dengan demikian, tidak terdapat hubungan antara makna bahasa tersebut dengan pemahaman bahwa syawal adalah bulan peningkatan dalam beramal. Allahu a’lam


Amalan Sunah di Bulan Syawal

Pertama, Shalat hari raya (id) di lapangan
Ummu ‘Athiyah radliallahu ‘anha mengatakan,”Kami diperintahkan untuk mengajak keluar gadis yang baru baligh, gadis-gadis pingitan, dan orang-orang haid untuk menghadiri shalat idul fitri dan idul adha…”
(HR. Al Bukhari & Muslim)

Kedua, puasa sunah 6 hari
Dari Abu Ayyub radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang berpuasa Ramadlan, kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal maka itulah puasa satu tahun.” (HR. Ahmad & Muslim)

Tata cara puasa 6 hari bulan Syawal
Ulama berselisih pendapat tentang tata cara yang paling baik dalam melaksanakan puasa 6 hari di bulan Syawal:
Pendapat pertama, dianjurkan untuk menjalankan puasa syawal secara berturut-turut, sejak awal bulan. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan Ibnul Mubarok. Pendapat ini didasari sebuah hadis, namun hadisnya lemah.
Pendapat kedua, tidak ada beda dalam keutamaan, antara dilakukan secara berturut-turut dengan dilakukan secara terpisah-pisah. Ini adalah pendapat Imam Waki’ dan Imam Ahmad.
Pendapat ketiga, tidak boleh melaksanakan puasa persis setelah idul fitri. Karena itu adalah hari makan dan minum. Namun sebaiknya puasanya dilakukan sekitar tengah bulan. Ini adalah pendapat Ma’mar, Abdurrazaq, dan diriwayatkan dari Atha’. (Lathaiful Ma’arif, hlm. 244)

Ketiga, i’tikaf
Dianjurkan bagi orang yang terbiasa melakukan i’tikaf, kemudian karena satu dan lain hal, dia tidak bisa melaksanakan i’tikaf di bulan Ramadlan maka dianjurkan untuk melaksanakannya di bulan Syawal, sebagai bentuk qadla sunnah.
Dari A’isyah, beliau menceritakan i’tikafnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian di pagi harinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada banyak kemah para istrinya. Beliau bertanya: Apa-apaan ini? Setelah diberi tahu, beliau bersabda kepada para istrinya: “Apakah kalian menganggap ini baik?” kemudian beliau tidak i’tikaf di bulan itu, dan beliau i’tikaf pada sepuluh hari di bulan Syawal.” (HR. Al Bukhari & Muslim)
Abu Thayib abadi mengatakan,”I’tikaf beliau di bulan Syawal sebagai ganti (qadla) untuk i’tikaf bulan Ramadlan yang beliau tinggalkan…”(Aunul Ma’bud-syarah Abu Daud, 7/99)

Keempat, membangun rumah tangga (campur antara suami-istri)
A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal, dan beliau tinggal satu rumah (campur) denganku juga di bulan Syawal. Siapakah diantara istri beliau yang lebih beruntung dari pada aku. A’isyah suka jika wanita dinikahi bulan Syawal.” (HR. Ahmad & Muslim)
An Nawawi mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat anjuran untuk menikah dan membangun rumah tangga (campur) di bulan Syawal. Para ulama madzhab kami (syafi’iyah) menegaskan anjuran hal ini. Mereka berdalil dengan hadis ini…”(Dikutip dari Tuhfatul Ahwadzi, 4/ 182)
Diantara hikmah dianjurkannya menikah di bulan Syawal adalah menyelisihi keyakinan dan kebiasaan masyarakat jahiliyah.
Imam An Nawawi mengatakan, “Tujuan A’isyah menceritakan hal ini adalah dalam rangka membantah anggapan jahiliyah dan keyakinan tahayul orang awam di zamannya. Mereka membenci acara pernikahan di bulan syawal, karena diyakini membawa sial. Ini adalah keyakinan yang salah, tidak memilliki landasan, dan termasuk kebiasaan jahiliyah, dimana mereka beranggapan sial dengan bulan syawal…”(Dikutip dari Tuhfatul Ahwadzi, 4/ 182)


Bid’ah-bid’ah di Bulan Syawal

Pertama, Anggapan sial terhadap bulan syawal
Orang jahiliyah menganggap bahwa bulan syawal adalah bulan sial. Anggapan ini didasari kebiasaan onta yang tidak mau kawin ketika bulan Syawal. Onta betina menolak dengan mengangkat ekornya ketika didekati onta jantan. Ummul Mukminin, A’isyah radliallahu ‘anha telah membantah anggapan ini dengan menceritakan pernikahan beliau dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga setelah islam datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, menghilangkan tahayul jahiliyah ini.

Kedua, keyakinan sebagian orang akan dianjurkannya menghidupkan malam id Sebagian kaum muslimin meyakini dianjurkannya menghidupkan malam id. Mereka berdalil dengan sebuah hadist, “Barangsiapa yang menghidupkan malam idul fitri maupun idul adha maka hatinya tidak akan mati, dimana semua hati itu mati.” Hadis ini adalah hadis yang dlaif. Hadis ini memliki dua jalur, yang satu statusnya maudlu (palsu) dan satu statusnya dlaif sekali, sebagaimana penjelasan Syaikh Al Albani.
Oleh karena itu, tidak dibolehkan mengkhususkan malam id untuk melakukan berbagai kegiatan ibadah. Karena menganggap adanya keistimewaan satu malam tertentu untuk ibadah, tanpa dalil yang shahih adalah bid’ah.

Ketiga, mengkhususkan ziarah kubur ketika id
Perbuatan ini, disamping bertolak belakang dengan latar belakang disyariatkannya hari raya -yaitu menampakkan kebahagiaan dan kegembiraan- akan menimbulkan duka dan rasa sedih, dan bertolak belakang dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kebiasaan ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang untuk menjadikan kuburan sebagai tempat hari raya (perayaan), sebagimana sabda beliau, “Janganlah engkau jadikan kuburanku sebagai id.” (HR. Abu Daud, Ahmad dan dishahihkan Al Albani).
Mengkhususkan ziarah kubur di waktu tertentu atau pada momen tertentu termasuk bentuk menjadikan kuburan sebagai tempat hari raya. Demikian penjelasan para ulama. (Ahkamul Janaiz, hal. 219).


Hadis Shahih Seputar Bulan Syawal :

1. Dari Abu Ayyub radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang berpuasa Ramadlan, kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal maka itulah puasa satu tahun.”(HR. Ahmad & Muslim)

2. A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan,
“Biasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam i’tikaf di hari terakhir bulan Ramadlan. Aku buatkan kemah untuk beliau. Setelah selesai shalat subuh, beliau memasukinya. Kemudian Hafshah minta izin Aisyah untuk membuat kemah, Aisyah-pun mengizinkannya. Katika Zainab melihatnya, dia-pun ikut membuat kemah.
Di pagi harinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada banyak kemah. 
Beliau bertanya: Apa-apaan ini? Setelah diberi tahu, beliau bersabda kepada para istrinya: “Apakah kalian menganggap ini baik?” Kemudian beliau tidak i’tikaf di bulan itu, dan beliau i’tikaf pada 
sepuluh hari di bulan Syawal.” (HR. Al Bukhari & Muslim)

3. A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal, dan beliau tinggal satu rumah denganku juga di bulan Syawal. Siapakah diantara istri beliau yang lebih beruntung dari pada aku.” (HR. Ahmad & Muslim).

Hadis Dhaif Seputar Syawal :

1. Dari Muhammad bin Ibrahim At Taimy, bahwa Usamah bin Zaid radliallahu ‘anhu sering berpuasa di bulan-bulan haram. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Puasalah bulan syawal.”
Kemudian Usamah meninggalkan puasa bulan-bulan haram, dan beliau selalu berpuasa bulan syawal sampai beliau meninggal. (HR. Ibn Majah dan didhaifkan Syaikh Al Albani, karena sanadnya terputus)

2. Hadist: “Barangsiapa yang shalat pada malam idul fitri seratus rakaat, setiap rakaat dia membaca Al Fatihah sekali dan surat Al Ikhlas sepululh kali….”(Hadis palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al Maudlu’at, 2/130 dan As Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah, hal.52)

3. Hadist : “Siapa yang shalat empat rakaat setelah shalat idul fitri, di rakaat pertama dia membaca Al Fatihah…seolah dia telah membaca semua kitab yang Allah turunkan kepada para nabinya.” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al Maudlu’at, 2/130 dan As Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah, hal.52)

4. Hadist: “Termasuk sunnah, shalat dua belas rakaat setelah shalat idul fitri, dan enam rakaat setelah idul adha.” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan As Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah, hal. 52)

5. Hadist: “Siapa yang menghidupkan empat malam (dengan beribadah) maka dia wajib masuk surga: malam tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah), malam ‘arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), malam idul adha, dan malam idul fitri.” (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al Ilal Al Mutanahiyah, 2/78, dan 
Al Albani dalam Silsilah hadis Dlaif)