Monday, March 25, 2013

Sujud Sahwi, Apa dan Bagaimana?

Secara bahasa (etimologi), sahwi diambil dari kata sahaa – yashuu – sahwan – suhuwwan artinya lupa, lalai. Sahaa fil amri artinya lupa terhadap sesuatu.
Secara istilah (terminologi), sujud sahwi adalah dua kali sujud yang dikerjakan karena lupa terhadap suatu hal penting dalam shalat.

Kaifiyat (Cara)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
كيفيته: سجود السهو سجدتان يسجدهما المصلي قبل التسليم أو بعده
Caranya: sujud sahwi sebanyak dua kali sujud dilakukan oleh orang yang shalat sebelum salam atau sesudahnya. (Fiqhus Sunnah, 1/225)
Hanya saja para ulama berbeda pendapat apakah pada sujud sahwi terdapat tasyahud dan salam atau tidak. Atau tanpa tasyahud tapi dengan salam? Atau dibedakan antara sebelum salam dan sesudahnya? Atau bagaimanakah..?
Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah meringkas perbedaan tersebut sebagai berikut:
واختلفوا في التشهد في سجدتي السهو والسلام منهما فقالت طائفة لا تشهد فيهما ولا تسليم وروي ذلك عن أنس بن مالك والحسن البصري ورواية عن عطاء وهو قول الأوزاعي،والشافعي لأن السجود كله عندهما قبل السلام فلا وجه لإعادة التشهد عندهما وقد روي عن عطاء إن شاء تشهد وسلم وإن شاء لم يفعل.
وقال آخرون يتشهد فيهما لا يسلم قاله يزيد بن قسيط ورواية عن الحكم وحماد والنخعي وقتادة والحكم وبه قال مالك وأكثر أصحابه والليث بن سعد والثوري وأبو حنيفة وأصحابه. وقال أحمد بن حنبل إن سجد قبل السلام لم يتشهد وإن سجد بعد السلام تشهد وبهذا قال جماعة من أصحاب مالك وروي أيضا عن مالك.
وقال ابن سيرين يسلم منهما ولا يتشهد فيهما.
Mereka berbeda pendapat tentang bertasyahud dan salam pada dua sujud sahwi. Sekelompok ulama mengatakan tidak ada tasyahud dan tidak ada salam, pendapat ini diriwayatkan dari Anas bin Malik, Al Hasan Al Bashri, dan riwayat dari ‘Atha, dan ini merupakan pendapat Al Auza’i dan Asy Syafi’i, karena menurut mereka berdua semua sujud dilakukan sebelum salam, maka tidak ada alasannya mengulangi tasyahud bagi dua sujud itu. Diriwayatkan dari ‘Atha: jika mau silakan tasyahud dan salam, jika tidak maka jangan lakukan.
Ulama lain berpendapat, tasyahud dilakukan pada dua sujud itu namun tidak salam, ini pendapat Zaid bin Qasith, dan merupakan riwayat dari Al Hakam, Hammad, An Nakha’i, Qatadah, dan ini pendapat Malik dan kebanyakan para sahabatnya, Al Laits bin Sa’ad, Ats Tsauri, Abu Hanifah dan para sahabatnya.
Berkata Ahmad bin Hambal, jika sujudnya sebelum salam maka tidak ada tasyahud, jika sujudnya sesudah salam maka bertasyahud. Dengan ini pula pendapat segolongan ulama dari sahabat Malik, dan diriwayatkan dari Malik pula. Ibnu Sirin mengatakan: salam pada kedua sujud itu tapi tanpa tasyahud. (Imam Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, 10/207-208)
Apa yang dibaca ketika sujud sahwi?
Sebagian fuqaha menyebutkan dalam kitab-kitab mereka bahwa disunnahkan bacaan dalam sujud sahwi adalah:
سُبْحَانَ مَنْ لَا يَسْهُو وَلَا يَنَامُ
Subhana man laa yashuu wa laa yanaam – Maha Suci Yang tidak pernah lupa dan tidak pernah tidur.
Doa ini berserakan dalam kitab-kitab fiqih induk mazhab Hanafi dan Syafi’i seperti:
1. Mazhab Hanafi
-          Imam Ahmad bin Muhamamd bin Ismail Ath Thahawi, Miraqi Al Falah, Hal. 298
2. Mazhab Syafi’i
-          Imam An Nawawi, Raudhatuth Thalibin, 1/315
-          Imam Sulaiman bin Muhammad Al Bujirumi, Hasyiyah Al Bujirumi ‘Alal Minhaj, 3/106.
-          Imam Zakariya Al Anshari, Asna Al Mathalib, 3/156.
-          Imam Ar Rafi’i, Syarh Al Kabir, 4/180.
-          Imam Ibnu Hajar Al Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, 7/136.
-          Imam Sulaiman bin Umar Al Jumal, Hasyiyah Al Jumal, 4/236.
-          Imam Syihabudin Al Qalyubi dan Imam Ahmad ‘Amirah, Hasyiyah Qalyubi wa ‘Amirah, 3/97
-          Imam Ibnu Ruslan, Syarh Kitab Ghayah Al Bayan, 1/ 209
-          Imam Zainuddin Al Malibari, Fathul Mu’in, 1/97
-          Imam Muhammad Al Khathib Asy Syarbini, Mughni Muhtaj, 3/93
-          Imam Syihabuddin Ar Ramli, Nihayatul Muhtaj, 5/233
Namun bacaan ini tidak shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak ada keterangan yang sah tentang ucapan yang mesti dibaca dalam sujud sahwi.
Syaikh Bakr Abu Zaid Rahimahullah mengomentari bacaan di atas:
لا يصح تقييد هذا التسبيح في سجود السهو.
Tidak benar mengaitkan tasbih ini pada sujud sahwi. (Muhadzdzab Mu’jam Al Manahi Al Lafzhiyah, Hal. 89)
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah juga telah menjelaskan:
قَوْلُهُ سَمِعْت بَعْضَ الْأَئِمَّةِ يَحْكِي أَنَّهُ يَسْتَحِبُّ أَنْ يَقُولَ فِيهِمَا سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو أَيْ فِي سَجْدَتَيْ السَّهْوِ قُلْت لَمْ أَجِدْ لَهُ أَصْلًا
Ucapannya (Ar Rafi’i): aku mendengar sebagian imam menceritakan bahwa disunnahkan membaca pada dua sujud itu: Subhana man laa yanaam wa laa yashuu, yaitu pada dua sujud sahwi. Aku (Imam Ibnu Hajar) berkata: “Saya tidak temukan asal usul ucapan ini.” (Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 2/14. Cet. 1, 1989M-1419H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Oleh karenanya sebagian ulama –seperti Imam Ibnu Qudamah- menyebutkan bahwa bacaan sujud sahwi adalah sama dengan sujud biasa. Inilah yang lebih baik.
Berkata Syaikh Abu Thayyib Ali Hasan faraaj:
والصواب: أن يقول في سجود السهو مثل ما يقول في سجود الصلاة
Yang benar adalah membaca pada sujud sahwi seperti membaca pada sujud shalat. (Tanbih As Saajid, Hal. 10)
Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:
وبعض الفقهاء يستحب أن يقول في سجود السهو ( سبحان من لا يسهو ولا ينام ) ، ولكن لا دليل عليه ، فالمشروع هو الاقتصار على ما يذكر في سجود الصلاة، ولا يعتاد ذكرا غيره .
Sebagian fuqaha menganjurkan membaca pada sujud sahwi (subhana man laa yashuu wa laa yanaam), tetapi ini tidak ada dalilnya, maka yang disyariatkan adalah bacaan sebagaimana dibaca dalam sujud shalat, dan tidak ada pembiasaan dzikir selain itu. (Fatawa Islamiyah Su’al wa Jawab, No. 77430)
Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:
قول في سجود السهو كما يقول في سجود الصلاة لعموم قول الرسول صلى الله عليه وسلم في قوله تعالى (سبح اسم ربك الأعلى) قال (اجعلوها في سجودكم) فهو يقول كما يقول في سجود الصلاة وكذلك في الجلسة بين السجدتين يقول فيها كما يقول في الجلسة بين السجدتين في صلب الصلاة ولا ينبغي أن يقول سبحان من لا ينسى سبحان من لا يسهو أو ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا لأن هذا لم يرد عن النبي صلى الله عليه وسلم
Ucapan pada sujud sahwi adalah sama seperti sujud shalat, karena keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang firman Allah Ta’ala: (sabbihisma rabbikal a’la) jadikanlah ia pada sujud kalian. Maka, bacaannya sebagaimana bacaan pada sujud shalat, begitu juga ketika duduk di antara dua sujud, bacaannya adalah sama dengan bacaan duduk di antara dua sujud dalam shalat. Semestinya tidak membaca: subhana man laa yansaa subhana man laa yashuu atau rabbanaa laa tu’akhidzna innaa siina aw akhtha’naa, karena bacaan ini tidak ada riwayatnya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Syaikh Ibnul ‘Utsaimin, Fatawa Nur ‘Alad Darb, Bab Shalat No. 1531)

Tuesday, March 19, 2013

TAKUT DAN RINDU KEPADA ALLAH

Takut Dan Rindu Kepada Allah


Takut Dan Rindu Kepada Allah 300x225 Takut Dan Rindu Kepada Allah 
Bagi seorang muslim, evaluasi diri menghasilkan sejumlah kesimpulan tentang prestasi yang perlu disyukuri, sekaligus kekurangan yang perlu ditangisi. Namun tangisan tidaklah selamanya karena penyesalan, tapi juga karena prestasi yang menghasilkan kerinduan dan rasa syukur kepada Sang Pemberi Nikmat.
Menangis juga terkadang ditunjukkan oleh Rasulullah Saw. sebagai teladan sepanjang zaman. “Dari Ibnu Mas’ud r.a., ia berkata, “Suatu ketika, Rasulullah Saw meminta Aku agar membacakan al-Qur’an kepadanya. (Dengan perasaan malu), saya mengungkapkan, “Bagaimana (mungkin) Aku membacakan al-Qur’an kepadamu wahai Rasulullah !? Padahal al-Qur’an ini diturunkan kepadamu”. “Saya ingin mendengarnya dari orang lain” ungkap beliau. Maka, Ibnu Mas’ud pun memulai baca- 3 annya dari surah an-Nisaa’. Ketika sampai pada ayat 41 yang berbunyi, “Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (umatmu)..”. Rasulullah pun dengan lembut mengatakan, “Cukup”. Ketika saya (Ibnu Mas’ud) menoleh kepadanya, ternyata air mata Rasulullah Saw sedang bercucuran. (HR. Bukhari dan Muslim).
Menangis karena Allah
Karena tangisan merupakan simbol keimanan bagi orang mukmin, maka keutamaan yang di milikinya sangat mengesankan. Sebut saja misalnya sebuah riwayat yang dirilis oleh Abu Hurairah r.a. Ia mengabarkan bahwa Rasulullah Saw pernah menginformasikan, “Tidaklah akan masuk nereka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah, sehingga air susu kembali ke asalnya (tempat keluarnya). Debu peperangan di jalan Allah swt tidak akan menyatu selamanya dengan asap api neraka”. (HR.Tirmidzi).
Bahkan orang yang menangis ketika mengingat Allah dalam keadaan sendirian dengan hati yang terpaut dengan Allah swt. termasuk dalam kategori orang-orang yang mendapatkan naungan di akhirat nanti. Hari di mana naungan tidak akan diperoleh kecuali mereka yang memiliki kedekatan dengan Allah swt.
Abu Hurairah melaporkan, Rasulullah Saw pernah bersabda, “Ada tujuh golongan yang diberikan tempat bernaung pada hari (kiamat). Hari di mana manusia tidak mempunyai tempat bernaung kecuali naungan-Nya : Pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam nuansa ibadah kepada Allah swt., orang yang tertambat hatinya dengan masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah. Mereka berdua berkumpul dan berpisah karena cinta karena Allah. Seseorang yang diajak (berbuat mesum) oleh seorang wanita bangsawan dan berparas cantik, lalu ia jawab, “Saya takut kepada Allah”, seseseorang yang bersedekah dengancara sem- bunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya 5 tidak menegetahui apa yang dilakukan tangan kananya (ketika bersedakah), dan orang yang mengingat Allah kala sendirian (dan dengan penuh ke-khusyu’an) , lalu matanya basah (karena takut dan rindu kepada Allah swt.)”. (HR.Muttafaq Alaihi).
Demikianlah tangisan yang dilandasi dengan iman yang menghasilkan rasa rindu (raja’) untuk bertemu dengan Sang Kekasih. Rasa yang juga dilapisi pula oleh rasa takut (khauf) kepada-Nya karena adanya neraka yang merupakan symbol kemarahan-Nya.
Kedua faktor inilah yang berada di balik tangisan orang-orang mukmin. Walaupun sisi kerinduan yang paling mendominasi dirinya saat-saat air mata membasahi wa- jahnya.
Raja’ dan khauf melahirkan tangis
Raja’ adalah ketenangan hati dan kedamaian jiwa karena mengharapkan sesuatu yang dicintai. Jika faktor-faktor pendukung raja’ ini sempurna maka ia akan menghasilkan tangisan yang mewujudkan perasaan tenang dan perasaan tentram.
Namun jika perangkat-perangkatnya tidak padu dan tidak apik, ia akan menghasilkan pribadi yang terpedaya. Pribadi yang berhara  dengan harapan yang berlebihan kepada Allah swt. sehingga lupa bahwa di samping rahmat Allah yang ia harapkan, juga di sana ada kemurkaan-Nya yang harus dipertimbangkan dan dihindari. Untuk peribadi demikian, tangisan tidak hadir pada pelupuk matanya. Perasaannya yang diselimuti oleh harapan akan rahmat Allah membuatnya terlena. Sikap yang merefleksikan ketidakkeritisan terhadap kualitas ibadah yang ia lakukan terhadap Zat yang diharapkan rahmat-Nya (Allah Swt.).
Jika ditelusuri lebih mendalam, mura- 7 qabah ini merupakan implementasi dari sikap khauf (rasa takut) seseorang jika amalannya belum pantas dan layak untuk dipersembahkan. Baik ketidakpantasan itu dari segi kualitas maupun kuantitas. Inilah yang sering kita dengar dari para ahli suluk bahwa dalam rangka melakukan spiritual journey menuju Allah, hendaknya seseorang terbang dengan dua sayap, sayap alkhauf dan sayap al-raja’. Hanya saja, pada saat tertentu, seperti sakit misalnya, sisi alraja’ seharusnya lebih ditegaskan, karena nuansanya sedang berada pada level alkhauf.
Demikian pula ketika sedang segar bugar, dengan nuansa al-raja’ yang lebih mendominasi, sisi al-khauf perlu dihadirkan dan dipertegas keberadaanya.
Khauf sebagai penyeimbang
Jika raja’ merupakan piranti kasih saying yang dibukakan secara luas oleh Allah bagi hamba-Nya, maka khauf merupakan cambuk yang dapat memicu mereka untuk mendekat kepada-Nya. Memang benar, ujung dari raja’ dan khauf adalah kedekakatan dengan Allah. Karena memang untuk itulah jin dan manusia diadakan di pentas kehidupan ini. Khauf merupakan kondisi seseorang yang merasakan sakit dan terbakarnya hati akibat dari rasa takut akan terjadinya sesuatu yang tidak menyenangkan di kemudian hari. Khauflah yang berperan dan mengerem nafsu manusia dari keserakahan, angkara murka dan dosa. Dia pula yang mengikat manusia untuk menunjukkan ketaatan kepada Allah swt.
Khauf akan membakar syahwat dan kenginan-keinginan terhadap perkara yang haram. Sehingga kemaksiatan yang ia cintai berubah menjadi sesuatu yang paling ia benci. Sebagaimana madu dibenci oleh orang yang sangat menyenaginya manakala ia mengetahui bahwa terdapat racun padanya. Syahwat akan terbakar oleh rasa khauf (takut). Bagian-bagian tubuhnya mempnyai tatakrama dan adab yang dipatuhi. Hatinya menjadi lahan subur bagi tumbuhnya ke-khusyu’an, rasa hina dan rendah diri di hadapan Allah swt.
Dia akan ditinggalkan oleh kesombongan, dendam, iri dan dengki. Bahkan perhatiannya semakin tajam, karena pengaruh rasa khauf-nya dan memeperhatikan terhadap akibat dan sanksi yang ia peroleh jika melanggar aturan. Kini perasaan selalu terawasi yang dikenal dengan sebutan muraqabah menjadi aktifitas baru yang dibarengi dengan usaha sungguh-sungguh yang disebut mujahadah untuk membersihkan jiwa dan lahiriahnya dari dominasi syahwat dan prilaku setan.
Allah swt selalu mewanti-wanti agar menjadikan khauf sebagai komponen mendasar dari keimanan yang hanya pantas ditunjukkan kepada-Nya semata. Terhadap setan yang biasanya dijadikan simbol yang ditakuti, Allah menegaskan bahwa, sikap takut itu seharusnya hanya ditujukan kepada-Nya semata. Karena Dia-lah sesungguhnya yang pantas ditakuti. Dengan rasa takut kepada-Nya, setan yang biasanya menggetarkan jiwa menjadi tidak berarti apa-apa.
Setan hanya pantas dikhawatirkan jika seandainya mengelabui manusia dari jalur menuju Allah swt.(baca : Kebenaran). Karenanya, Allah menegaskan, “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan- kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Ali Imran : 175).
Selain faktor khauf dan raja’ yang menghasilkan tangisan, juga terdapat beberapa faktor yang merupakan wujud lain dari kedua faktor di atas. Di antaranya, kesedihan terhadap peristiwa lampau yang menyedihkan bersama teman seperjuangan dalam meniti jalan Allah swt. Hal demikianlah yang ditunjukkan oleh Ummu ’Aiman, sebagaimana riwayat berikut :
Anas melaporkan, ”Abu Bakar berkata kepada Umar radiyallahu anhuma, setelah wafatnya Rasulullah saw, ”Ayo kita samasama pergi menemui Ummu Aiman radhiyallahu anhuma, sebagaimana Rasulullah saw sering mengunjunginya. Tatkala kami tiba dan bertemu dengannya, Ummu Aiman menangis (penuh kesedihan). Abu Bakar dan Umar berkata kepadanya, ”Kenapa Anda menangis ?” Bukankah Anda tau bahwa keberadaan Rasulullah saw di sisi Allah itu lebih baik. Ummu Aiman menjawab, ”Saya tidak menangis, saya juga tidak tahu bahwa keberadaan Rasulullah saw di sisi Allah itu lebih baik. Saya hanya menangis karena wahyu telah terputus dari langit. Maka, mendengar ungkapan Ummu Aiman tersebut, Abu Bakar dan Umar pun tidak tahan menahan cucuran air matanya. Mereka berdua pun ikut menangis bersama Ummu Aiman”. (HR Muslim)
Demikianlah potret tangisan sahabat yang lahir dari rasa khauf dan raja-’nya kepada Allah swt. Semoga kita diberikan kemampuan menangisi dosa-dosa kita kepada Allah. Amin.
Wallahu a’lam.

Akhlak Terhadap Allah, Manusia & Lingkungan


A. Akhlak Terhadap Allah
  1. Beribadah kepada Allah, yaitu melaksanakan perintah Allah untuk menyembah-Nya sesuai dengan perintah-Nya. Seorang muslim beribadah membuktikan ketundukkan terhadap perintah Allah.
  2. Berzikir kepada Allah, yaitu mengingat Allah dalam berbagai situasi dan kondisi, baik diucapkan dengan mulut maupun dalam hati. Berzikir kepada Allah melahirkan ketenangan dan ketentraman hati.
  3. Berdo’a kepada Allah, yaitu memohon apa saja kepada Allah. Do’a merupakan inti ibadah, karena ia merupakan pengakuan akan keterbatasan dan ketidakmampuan manusia, sekaligus pengakuan akan kemahakuasaan Allah terhadap segala sesuatu. Kekuatan do’a dalam ajaran Islam sangat luar biasa, karena ia mampu menembus kekuatan akal manusia. Oleh karena itu berusaha dan berdo’a merupakan dua sisi tugas hidup manusia yang bersatu secara utuh dalam aktifitas hidup setiap muslim.Orang yang tidak pernah berdo’a adalah orang yang tidak menerima keterbatasan dirinya sebagai manusia karena itu dipandang sebagai orang yang sombong ; suatu perilaku yang tidak disukai Allah.
  4. Tawakal kepada Allah, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan menunggu hasil pekerjaan atau menanti akibat dari suatu keadaan.
  5. Tawaduk kepada Allah, yaitu rendah hati di hadapan Allah. Mengakui bahwa dirinya rendah dan hina di hadapan Allah Yang Maha Kuasa, oleh karena itu tidak layak kalau hidup dengan angkuh dan sombong, tidak mau memaafkan orang lain, dan pamrih dalam melaksanakan ibadah kepada Allah.
B. Akhlak Terhadap Manusia
  1. Husnuzan. Berasal dari lafal husnun ( baik ) dan Adhamu (Prasangka). Husnuzan berarti prasangka, perkiraan, dugaan baik. Lawan kata husnuzan adalah suuzan yakni berprasangka buruk terhadap seseorang. Hukum kepada Allah dan rasul nya wajib, wujud husnuzan kepada Allah dan Rasul-Nya antara lain: Meyakini dengan sepenuh hati bahwa semua perintah Allah dan Rasul-Nya Adalah untuk kebaikan manusia. Meyakini dengan sepenuh hati bahwa semua larangan agama pasti berakibat buruk. Hukum husnuzan kepada manusia mubah atau jaiz (boleh dilakukan). Husnuzan kepada sesama manusia berarti menaruh kepercayaan bahwa dia telah berbuat suatu kebaikan. Husnuzan berdampak positif berdampak positif baik bagi pelakunya sendiri maupun orang lain.
  2. Tawaduk berarti rendah hati. Orang yang tawaduk berarti orang yang merendahkan diri dalam pergaulan. Lawan kata tawaduk adalah takabur. Allah berfirman , Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya, dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ”Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.” (Q.S. Al Isra/17:24) Ayat di atas menjelaskan perintah tawaduk kepada kedua orang tua.
  3. Tasamu artinya sikap tenggang rasa, saling menghormati dan saling menghargai sesama manusia. Allah berfirman, ”Untukmu agamamu, dan untukku agamaku (Q.S. Alkafirun/109: 6). Ayat tersebut menjelaskan bahwa masing-masing pihak bebas melaksanakan ajaran agama yang diyakini.
  4. Ta’awun berarti tolong menolong, gotong royong, bantu membantu dengan sesama manusia. Allah berfirman, ”...dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan...”(Q.S. Al Maidah :2)
C. Akhlak Terhadap Lingkungan Hidup
  1. Yang dimaksud dengan lingkungan adalah segala sesuatu yang disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan maupun benda-benda yang tidak bernyawa.Pada dasarnya akhlak yang diajarkan al-Qur'an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta bimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaanya.
  2. Dalam pandangan Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya.
    Ini berarti manusia dituntut mampu menghormati proses yang sedang berjalan, dan terhadap proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertangung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia itu sendiri.
  3. Binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa semuanya di ciptakan oleh Allah SWT, dan menjadi milik-Nya, serta kesemuanya memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan seorang muslim untuk menyadari bahwa semunya adalah "umat" Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.
D. Dalil-dalil Akhlak Terhadap Allah, Manusia, dan Lingkungan Hidup

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”(Q.S. Al Baqarah :188).


“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah". (Q.S. Shaad: 7 1).