Friday, May 8, 2015

“Periode Mendirikan dan Menguatkan Madzhab, Tersiarnya Diskusi dan Perdebatan”


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Tarikh Tasyri’ merupakan salah satu kajian penting yang membahas sejarah legislasi pembentukan hukum syari’at Islam, asas tasyri’ dalam Al-Quran, penetapan dan sumber hukum pada Rasulullah Saw, para sahabat dan fuqaha dalam generasi pertama. Tumbuhnya embrio golongan politik dan pengaruhnya atas perkembangan hukum islam masa berikutnya. Sehingga munculah istilah-istilah fiqh dan tokoh-tokoh mujtahid, serta pembaruan pemikiran hukum pada masa pasca kejumudan dan reaktualisasi hukum Islam di dunia Islam.
Oleh karena itu, untuk membuka jalan menuju destinasi serta mengetahui urgensinya, maka perlu sebuah kajian dan pembahasan dalam memahami fiqh Islam dengan bentuk kajian ilmiah sesuai dengan metodologi penyelidikan tentang definisi syari’at, fiqh, periodisasi perkembangan hukum Islam, sumber-sumber hukum Islam serta madzhab-madzhab fiqh. Namun dalam pembahasan makalah ini akan lebih di fokuskan pada pembahasan “Periode Mendirikan dan Menguatkan Madzhab, Tersiarnya Diskusi dan Perdebatan”.
 B. TUJUAN PENYUSUNAN
Makalah ini kami susun yang bertujuan untuk :
1. Memenuhi tugas dari mata kuliah Tarikh Tasyri’.
2. Untuk memberikan sedikit uraian tentang bagaimana memahami tentang Periode Mendirikan dan Menguatkan Madzhab, Tersiarnya Diskusi dan Perdebatan.
C.   RUMUSAN MASALAH
Untuk memudahkan pembahasannya maka akan dibahas sub masalah yang berkenaan dengan Periode Mendirikan dan Menguatkan Madzhab, Tersiarnya Diskusi dan Perdebatan.
Penyusunan makalah ini diperoleh dengan menggunakan metode kepustakaan, yaitu metode dengan menggunakan referensi dari buku - buku yang bersangkutan untuk menjadi bahan materi pembuatan makalah. Dan metode obyektif yang diperoleh dari informasi di internet.
BAB II
PEMBAHASAN
Periode Mendirikan dan Menguatkan Madzhab, Tersiarnya Diskusi dan Perdebatan
Pada periode ini bermula dari permulaan abad ke-4 sampai runtuhnya Daulah Abbasiyyah. Periode taklid tejadi sejak runtuhnya Baghdad ditangan Holako sampai sekarang. Unsur Turki atau Thurani adalah suatu unsur yang besar sekali yang terdiri dari beberapa kabilah yang berbeda-beda, setelah menyiapkan sarana-sarana berkelana ia jelajahi negeri-negeri Islam untuk menguasainya sebagai tambahan atas negeri asalnya.
A.   RUH TAKLID
Taklid adalah menerima hukum-hukum dari imam tertentu dan menganggap pendapat-pendapatnya seolah-olah nash dari syar’i yang wajib diikuti oleh orang yang bertaqlid (Muqallid).
Disetiap periode dari periode-periode yang telah lampau terdapat Mujtahid dan Muqallid. Para Mujtahid adalah para fuqoha’ yang mempelajari al-Qur’an dan as-Sunnah dan mempunyai kemampuan untuk mengistimbathkan hukum yang dhahir nash atau dari yang tersirat padanya. Para Muqallid adalah orang umum yang tidak menyibukkan diri untuk mempelajari al-Qur’an dan as-Sunnah hingga menjadikan mereka ahli untuk beristimbath, apabila mereka mendapatkan suatu peristiwa, mereka bersegera kepada seorang faqih di negeri mereka untuk meminta fatwa.
Sebab hilangnya Ruh Taqlid, diantaranya: [1]
1.      Murid-murid yang mulia
Terpengaruhnya murid terhadap guru yang mengajak mereka untuk mengaguminya, membukukannya dan mempertahankannya. Mereka membukukan hukum-hukum yang mereka terima dari guru mereka dan mereka mempelajari dan menyiarkan diantara orang-orang yang mengikutinya.
2.      Pengadilan
Pada masa lampau, para khalifah memilih hakim dari seorang laki-laki yang memiliki pengetahuan tentang Kitabullah, Sunnah Rasul dan mampu mengistimbathkan hukum-hukum dari keduanya.
3.      Pembukuan Mazhab
Setiap mahzab mempunyai orang-orang yang membukukannya. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan: “Al-Laits itu lebih pandai dari pada Malik, hanya saja teman-temannya tidak melaksanakan (mereka tidak mau membukukan pendapat-pendapatnya dan menyiarkannya dikalangan jumhur, sebagaimana mereka membukukan pendapat-pendapat Malik)”.

B.   TERSIARNYA DISKUSI DAN PERDEBATAN[2]
Imam Asy-Syafi’i menceritakan sebagian diskusinya dengan Muhammad bin Hasan (seorang faqih irak) hanya saja hal itu tidak tersiar dikalangan para ulama. Menurut zhahirnya, tujuan diskusinya hanyalah menyampaikan kepada pengistimbatan yang benar. Dalam diskusi itu tidak ada yang menghalangi mereka untuk merubah pendapat mereka, apabila nampak kebenaran, karena mereka merdeka berpendapat dan salah seorang dari mereka tidak terikat dengan suatu mazhab dan tidak pula dengan suatu pendapat.
Majelis itu diselenggarakan dihadapan para menteri dan pembesar  serta dihadiri oleh banyak ahli ilmu dan dimajelis ta’ziyah (periksalah Thobaqot Asy Syafi’yah fitarjamati Asy Syaikh Abu Ishaq Asy Syairazi). Abdul Walid Al Baji berkata : “Adat kebiasaan di Baghdad adalah orang yang kena musibah dengan meninggalnya salah seorang yang dimuliakan maka ia duduk beberapa hari dimasjid jama’ahnya, tetangga- tetangga dan saudara-saudaranya duduk-duduk disitu. Apabila lewat beberapa hari mereka melawat dengan maksud menghibur kemudian kembali kepada kebiasaan pekerjaannya. Di waktu mereka pada melawat banyak waktu yang digunakan untuk membaca Al Qur’an dan diskusi dalam berbagai masalah.
 Sebagian Amir cenderung untuk mendiskusikan fiqh dan menerangkan mana yang lebih sempurna antara  madzhab Syafi’I dan Abu Hanifah. dan mereka menganggap ringan menyelisishi Malik, Sufyan, Ahmad dan lain-lain. Adapun yang mendorong mereka berbuat demikian adalah menyenangkan para amir , meskipun mereka menipu diri mereka dengan dalih bertujuan  mengistimbathkan detail-detail syariat, menetapkan illat-illat mazdhab dan sebagai pendahuluan pokok-pokok fatwa.
Al Ghazali berkata : “Sesungguhnya kaum-kaum itu membingungkan diri mereka dengan mengatakan bahwa tolong menolong dalam mencari kebenaran adalah termasuk agama. Sesungguhnya hal itu mempunyai delapan syarat:
  1. Janganlah menyibukkan diri terhadap fardhu kifayah bagi orang yag belum menyelesaikan fardhu-fardhu ‘ain. Barangsiapa yang mempunyai kewajiban fardhu ‘ain  lalu menyibukkan diri  dengan menduga bahwa tujuannya itu benar  maka sebenarnya dia berdusta.dengan fardhu kifayahOrang yang sibuk dengan berdiskusi mereka melalaikan urusan-urusan fardhu ‘ain dengan persetujuan.
  2. Tidaklah ia berpendapat bahwa fardhu kifayah itu lebih penting daripada diskusi, jika ia melihat sesuatu yang lebih penting namun melakukan  lainnya maka ia durhaka karenaa perbuatan itu.
  3. Orang yang berdiskusi itu hendaklah seorang mujtahid yang berfatwa dengan pendapatnya, tidak dengan madzhab Asy Syafi’i, Abu Hanifah dan lainnya.
  4. Hendaknya jangan mendiskusikan kecuali maslah-masalah yang terjadi atau biasanya hampir terjadi.
  5. Diskusi di tempat yang sepi adalah lebih disukai dan lebih penting dari pada di perayaan-perayaan dan didepan para pembesar dan raja-raja, karean sungguh tempat yang sunyi itu lebih mengumpulkan kepahaman dan lebih layak untuk menjernihkan hati dan fikiran serta mendapatkan kebenaran.
  6. Dalam mencari kebenaran itu agar seperti orang mencari barang yang hilang, tidak membedakan antara barang yang hilang itu ditemukan oleh tangannya atau tangan orang yang menolongnya, dan ia memandangnya sebagai teman yang menolong bukan lawan bertengkar dan ia berterima kasih keapdanya apabila ia menunjukkan kesalahannya dan menampakkan kebenaran kepadanya.
  7. Janganlah seorang itu menghalangi penolongnya dalam berdiskusi untuk pindah dari satu dail ke dalil yang lain , dari sutu kesulitan kesulitan yang lain.
  8. Hendaklah mendikusikan kepada orang yang dapat diambil faedahnya yaitu orang yang sibuk dengan ilmu.
Kemudian Al Ghazali menambahkan sebuah fasal yang menerangkan bahaya-bahaya diskusi :
  1. Dengki
  2. Sombong dan meninggi atas manusia, sehingga mereka bertengkar di majlis-majlis, berlomba-lomba dalam meninggikan dan merendahkan, mendekatkan terhadap sandaran dan menjauhinya, dan dulu-duluan masuk ketika jalan itu sempit
  3. Dendam, orang yang berdiskusi hampir tidak lepas dari padanya.
  4. Mengumpat
  5. Mengintai-ngintai dan mengikuti aurat manusia
  6. Senang kepada keburukan-keburukan manusia dan gundah terhadap kesenngan mereka
  7. Nifak
  8. Menyombongkan diri dan benci terhadap kebenaran
  9. Riya’

MADZHAB ISMA’ILI[3]
            Madzhab ini adalah salah satu madzhab Syi’ah yang mengangkat Isma’il bin ja’far yang terkenal dengan Al Kahzim.dengan demikian dalam dunia Islam ada tiga madzhab  yaitu Zaidiyah, Imamiyah dua belas dan Isma’iliyah. Sebagian madzhab ini bertentangan dengan sebagian yang lain hanya saja mereka seluruhnya terhimpun oleh keturunan. Dalam hal warisan ada perbedaan jumlur. Menurut mereka ada 2 tingkat permasalahan yang tingkat pertama adalah kedua orang tua dan anak-anak, dan tingkat yang kedua yaitu kakak dan saudara laki-laki dan saudara perempuan.
            Dengan adanya aturan pengadilan di Mesir atas madzhab ini maka para ulama mengajarkannya di Universitas Al Azhar. Abu Ahmad bin Al Afdhal menteri al Muntashir memutuskan dan menentukan warisan dengan madzhab nya yaitu hakim Isma’ili,  hakim Imami, hakim Maliki, dan hakim Syafi’i. Dan ketika Shalaludin  menjabat sebagai menteri sosial di Kairo ia memerangi Madzhab Isma’ili di Mesir sehingga madzhab ini tidak berpengaruh luas dikalangan masyarakat dan putuslah hubungan antara dengan kaum itu sehingga hampir tidak melihat kitab baik fiqih maupun yang lain. Pengadilan berjalan dengan menggunakan madzhab Syafi’i sampai datangnya Azh Zhahir birebes dimana ia mengulangi adanya pengadilan yang bermacam-macam hanya saja terbatas pada madzhab jumlur saja yaitu ; Syafi’i, maliki,  Hanafi, dan Hambali.

C.   MULAI TERJADINYA KEFANATIKAN MAZHAB
Fanatisme mazhab (at Ta’ashshub al Mazhabi)  adalah istilah yang diberikan kepada sikap yang hanya mengakui mazhabnya sebagai landasan dalam beragama dan menolak pendapat lain walaupun didukung oleh dalil yang kuat.
Di dalam kitab suci al-Qur’an, Allah Ta’ala memerintahkan orang beriman untuk menjadikan ajaran ajaran-Nya dan Rasul-Nya sebagai sumber hukum dan rujukan utama atas setiap perkara mereka.

 
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, dengan sesat yang nyata”*. (QS.  Al-Ahzab: 36)
*Menurut ath-Thabari yakni apabila Allah Ta’ala telah menetapkan keputusan terhadap mereka, maka tidak pantas sebagai seorang mukmin untuk mencari pilihan yang lain selain apa yang sudah diputuskan itu.
  
 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa’: 59)
Dengan demikian jelas, bahwa pedoman dan rujukan utama yang harus dipegang oleh seorang muslim adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.
Ibnul Qoyyim meriwayatkan tentang ‘Umar bin Khottob, dalam salah satu suratnya kepada Syuraih (salah satu seorang qadhi’ disalah satu wilayah kekuasaan islam), beliau menulis:
Jika engkau menemukan sesuatu dalam Kitabullah, maka berhukumlah dengannya, jangan menoleh kepada selainnya sedikitpun. Jika datang kepadamu permasalahan yang tidak terdapat dalam Kitabullah maka hukumilah dengan sunnah Rasulullah saw, jika datang kepadamu masalah yang tidak terdapat pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw, maka tetapkanlah keputusan berdasarkan ijma’, dan jika tidak ada yang membicarakannya sebelummu, maka jika kamu mau berijtihad lakukanlah, jika kamu menundanya, tundalah dan saya melihat menunda itu lebih baik”.[4]


Sikap para imam mazhab itu sendiri, diantaranya:[5]
Imam Abu Hanifah berkata:
“Tidak boleh seseorang berkata dengan perkataan kami (berpendapat dengan pendapat kami) sebelum dia tahu darimana sumber pendapat kami”.
Imam Malik berkata:
“Sesungguhnya saya hanyalah seorang manusia, bisa benar dan bisa salah, maka perhatikanlah pendapat saya; apabila sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, maka ambillah, dan apabila bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah maka tinggalkanlah”.
Imam Syafi’i berkata:
“Jika kalian mendapatkan dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah saw, maka ambillah pendapat sesuai Sunnah Rasulullah saw dan tinggalkan apa yang aku ucapkan”.
“Perumpamaan orang yang menuntut ilmu tanpa dalil, bagaikan pencari kayu bakar di malam hari, dia membawa seikat kayu bakar, padahal didalamnya terdapat ular yang akan mematuknya, sedang ia tidak tahu”.
Imam Ahmad berkata:
“Jangan engkau taklid kepadaku, jangan juga bertaklid kepada Malik, ats Tsauri dan al Auzai, ambillah dari tempat mereka mengambil”
“Merupakan tanda minimnya pamahaman seseorang (terhadap agamanya), jika kehidupan agamanya tergantung pada orang perorang”.
Dari sejumlah dalil yang telah disebutkan diatas dan sikap para sahabat dan para imam mujtahid, nyatalah bahwa tidak ada satu dalilpun yang menguatkan untuk berpedoman pada satu mazhab tertentu dalam beribadah. Yang ada adalah perintah untuk menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pedoman utama.
Pendapat ini bahkan dikuatkan oleh para imam mazhab itu sendiri yang menyatakan ketidaksetujuan dengan adanya taklid dan fanatisme mazhab.
Disamping itu, fanatisme mazhab merupakan penyimpangan sejarah yang perlu diluruskan, karena berpedoman pada mazhab tertentu dan tidak merujuk pada al-Qur’an dan as-Sunnah bukan merupakan metode atau cara yang dilakukan oleh Salafushsholeh yaitu Generasi Sahabat, Tabi’in dan Tabi’tabi’in. Hal tersebut muncul setelah abad ketiga.
Imam Nawawi berkata:
“Dalil yang ada menunjukkan bahwa seseorang tidak diwajibkan bermazhab dengan mazhab tertentu, akan tetapi dia boleh meminta fatwa kepada siapa yang dia kehendaki, dengan syarat tidak mencari yang ringan”.


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dari mana asal hujjahnya. Sedangkan orang yang bertaqlid disebut muqallid. Taqlid muncul ketika kekuasaan Islam sudah di ambang pintu kehancuran, yaitu pada masa kemunduran. Kemunduran Islam dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya politik, tertutupnya ijtihad dan sebagainya.
Pada dasarnya para ulama jumhur sangat melarang perbuatan taqlid karena hal itu dapat menyebabkan orang tidak mau berfikir tentang masalah agamanya. Sehingga umat Islam hanya mencukupkan tentang perkara agamanya itu dengan kitab-kitab karangan para imam ijtihad. Tapi dalam kalangam umat Islam sendiri tidak ada keharmonisan, hal ini disebabkan karena masing-masing pengikut mahzab mengklaim bahwa mahzabnya yang paling benar.
Orang yang berpendidikan tinggi dan dianggap mampu untuk berijtihad sendiri dilarang untuk bertaqlid. Taqlid boleh dilakukan oleh orang awam tapi dengan syarat bahwa ia harus selalu berusaha mencari dasar-dasar dalilnya. Dan jika ia telah menemukan dasarnya ia harus kembali pada dalil tersebut, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.



DAFTAR PUSTAKA

Saefullah FM, Asep. 2000. “I’lamul Muwaqqi’in Panduan Hukum Islam”. Jakarta: Pustaka Azam
Zuhri, Muhammad. 1980. “Tarjamah Tarikh Al-tasyri’ Al-Islami”. Semarang: Darul Ikhya

TARIKH TASYRI’
“Periode Mendirikan dan Menguatkan Madzhab, Tersiarnya Diskusi dan Perdebatan”
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah tarikh tasyri’
Dosen pembimbing : Drs. H. A.Burhanudin, M.Pd.I



Disusun oleh :
1.      Bahtiar Yusuf            (09)
2.      Khidir Hidayatullah  (22)
3.      Mulyono                    (26)
4.      Sholikin                      (37)
5.      Tri Yuliyanto              (48)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH
(STAIM ) KLATEN
2014



KATA PENGANTAR


            Puji syukur penyusun haturkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-NYA. Sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Periode Mendirikan dan Menguatkan Madzhab, Tersiarnya Diskusi dan Perdebatan”. Salam dan sholawat semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam beserta keluarga, sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman.
            Makalah ini kami susun sebagai bagian dari tugas mata kuliah Tarikh Tasyri’ dan sebagai bahan diskusi mahasiswa agar memahami tentang Periode Mendirikan dan Menguatkan Madzhab, Tersiarnya Diskusi dan Perdebatan.
            Dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangan, kami mengharapkan  saran dan kritik yang membangun dari pembaca untuk kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca semuanya. Aamiin.


Klaten, 07 Desember 2014

Penyusun

DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL  
KATA PENGANTAR ------------------------------------------------------------- i
DAFTAR ISI  ----------------------------------------------------------------------- ii
BAB I  PENDAHULUAN
A. Latar Belakang  ----------------------------------------------------------- 1
B. Tujuan Penyusunan  ------------------------------------------------------ 1
C. Rumusan Masalah  -------------------------------------------------------- 1
D. Metode Penyusunan  ----------------------------------------------------- 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Ruh Taklid---------------------------------------------------------------- 2
B. Tersiarnya Diskusi dan Perdebatan--------------------------------------- 3
C. Mulai Terjadinya Kefanatikan Madzhab---------------------------------- 6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ---------------------------------------------------------------  10
DAFTAR PUSTAKA
 
 


[1]  Muhammad Zuhri. “Tarjamah Tarikh Al-tasyri’ Al-Islami”. Hal 527.
[2]  Muhammad Zuhri. “Tarjamah Tarikh Al-tasyri’ Al-Islami”. Hal 537
[3]  Muhammad Zuhri. “Tarjamah Tarikh Al-tasyri’ Al-Islami”. Hal 546
[4]  I’lamul Muwaqqi’in, juz 1 hal, 65.
[5]   I’lamul Muwaqqi’in, juz 2 hal 178.

No comments:

Post a Comment