Tuesday, May 26, 2015

Dinasti Abbasiah



KATA PENGANTAR

            Puji syukur bagi Allah, Tuhan yang tak sesuatu pun mampu melemahkan-Nya. Shalawat dan salam yang tak terhingga, semoga senantiasa dilimpahkan kepada Rasulullah Saw., keluarga, dan para sahabat beliau, serta seluruh kaum muslimin hingga hari kebangkitan.
            Tidak ada sejarah yang lengkap. Begitulah fakta dunia manapun. Kita hanya dapat mengalami sesuatu kejadian dari sebagian totalitas kejadian itu. Karena itu, tidak salah apabila ada yang mengatakan, sejarah berulang dan kita perlu belajar sejarah. Dalam hal ini, penulis mencoba untuk belajar mengenai sejarah islam yang berawal dari mata kuliah SKI di Sekolah Tingggi Agama Islam Muhammadiyah (STAIM) Klaten. Dengan mata kuliah ini, penulis mendapat tugas untuk menyusun sebuah makalah dengan pembahasan “Bani Abbasiah”.
            Penulis harap, dengan proses belajar pembuatan makalah dan pembahasan mengenai kekhalifahan Bani Abbasiah ini dapat memberi secercah ilmu untuk penulis. Tentu saja, dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat kekurangan dan kesalahan. Maka dari itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca untuk menyempurnakan makalah yang penulis buat. Semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Aamiin.

Klaten, 27 Oktober 2013


             Penyusun















ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 1
A.    LATAR BELAKANG .......................................................................................................... 1
B.     RUMUSAN MASALAH ..................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 2
A.    BERDIRINYA DINASTI ABBASIAH ................................................................................ 2
B.     KEMAJUAN DINASTI ABBASIAH .................................................................................. 3
C.     KEMUNDURAN DINASTI ABBASIAH ........................................................................... 9
D.    SEBAB-SEBAB KEHANCURAN DINASTI ABBASIAH .............................................. 10
E.     KARAKTER KEKHALIFAHAN ABBASIAH ................................................................. 11
BAB III PENUTUP ............................................................................................................................... 12
A.    KESIMPULAN ................................................................................................................... 12
B.     SARAN ............................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 13















iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Nabi Muhammad saw., setelah resmi diangkat menjadi Rasulullah, menyebarkan ajaran Agama Islam di Jazirah Arab dengan cara sembunyi-sembunyi, setelah pengikut Agama Islam telah banyak dari keluarga terdekat Nabi dan sahabat, maka turun perintah Allah untuk menyebarkan Islam secara terang-terangan. Namun dalam penyebarannya tidak berjalan mulus, Rasulullah dalam menyebarkan Islam mendapatkan tantangan dari suku Quraisy . Islam disebarkan dan dipertahankan dengan harta dan jiwa oleh para penganutnya yang setia membela Islam meski harus dengan pertumpahan darah dalam peperangan, sehingga Islam dapat berkembang dalam waktu yang relatif singkat.
Sepeninggal Rasulullah saw., kepemimpinan Islam dipegang oleh Khulafā’ al-Rāsyidīn. Pada masa ini Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat, bahkan telah meluas  ke seluruh Wilayah Arab. Meskipun Islam telah berkembang pada masa ini,  namun juga banyak mendapat tantangan dari luar dan dalam Islam sendiri. Seperti pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib banyak terjadi pemberontakan di daerah hingga terjadi perang saudara. Salah satu perang dimasa Ali bin Abi Thalib ialah peperangan antara Muawiyah dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang menghasilkan abitrase, sehingga Muawiyah menggantikan posisi Ali bin Abi Thalib. Dampak yang ditimbulkan dari abitrase ini adalah pengikut  Ali bin Abi Thalib bersepakat untuk membunuh Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah karena dianggap telah kafir dan halal dibunuh. Dalam rencana pembunuhan ini, hanya Ali bin Abi Thalib yang berhasil dibunuh.
Berakhirlah masa Khulafā’ al-Rāsyidīn dan digantikan oleh pemerintahan Dinasti Umayyah dibawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sofyan. Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, Islam semakin berkembang dalam segala aspek hingga perluasan daerah kekuasaan.
Setelah pemerintahan Dinasti Umayyah berakhir, maka pemerintahan Islam digantikan oleh pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti kedua dalam sejarah pemerintahan Umat Islam. Abbasiyah dinisbatkan kepada al-Abbas paman Nabi Muhammad saw. Dinasti ini berdiri sebagai bentuk dukungan terhadap pandangan yang diserukan oleh Bani Hasyim setelah wafat  Rasulullah saw., yaitu menyandarkan khilāfah kepada keluarga Rasulullah dan kerabatnya.
B. RUMUSAN MASALAH 
  1. Bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah ?
  2. Seperti apa kemajuan masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah ?
  3. Apa faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah ?
  4. Hal-hal apa sajakah yang menyebabkan kehancuran Dinasti Abbasiah ?
  5. Bagaimana karakter kekhalifahan Bani Abbasiyah ?






1
BAB II
KEKHALIFAHAN ABBASIAH
A.   Berdirinya Dinasti Abbasiah
Nama Dinasti Abbasiah diambil dari nama salah seorang dari paman Nabi Muhammad SAW yang bernama al-Abbas ibn Abd al-Muttalib ibn Hasyim. Orang Abbasiah merasa lebih berhak dari pada Bani Umayah atas Kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang Umayah secara paksa menguasai khilafah malalui tragedi perang Siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa melakukan pemberontakan terhadap Dinasti Umayah.
Telah dijelaskan, bahwa saat Kekhilafahan Umayah dipegang Umar II, gerakan bahwa tanah yang merupakan rival politiknya menyusun kekuatan. Salah satu kekuatan politik model Umayah adalah para pengikut Nabi dari keturunan Bani Abbas. Akan tetapi, sebagai sarana propaganda, mereka tidak  menyebutkan diri sebagai keluarga Abbas, namun menggunakan jargon dan simbol Bani Hasyim. Dengan demikian mereka dapat merangkul baik kelompok Syi’ahtu  Ali maupun Syi’ahtu Abbas. Kedua kelompok inilah yang pada akhirnya melandasi berdirinya Kekhalifahan Abbasiah.
Telah disebutkan, bahwa pertempuran tersebut terjadi pada Februari 750 M. Dalam peperangan di Dzab II, gerakan Abbasiah mencapai hasil, dengan mengalahkan Khalifah Marwan II yang melarikan diri ke Mesir. Tahun itu juga, di Masjid Kufah (Irak) Abu al-‘Abbas al-Saffah mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiah.  Setelah menjadi khalifah, Abu al-Abbas bergelar al-Saffah (penumpah darah/peminum darah) mengeluarkan dekrit kepada para gubernur, supaya tokoh-tokoh Umayah (kecuali Umar II) dan tulang-tulangnya pun dibakar. Oleh karena itu, rakyat Damaskus,  Harran, Hims, Kinnisirin, Jeruzalem, dan daerah lainnya memberontak. Api pemberontakan itu dipadamkan dengan tangan besi oleh rezim Saffah (Brocklmaan, 1949:100-107, dan Karim, 1972:265-267).
Sebelum Saffah wafat (754 M), ia mengangkat saudaranya, Abu Ja’far, sebagai penggantinya. Semula ibu kota pemerintahan dipusatkan di Ambar, dengan nama istana negaranya, al-Hasyimiah. Setelah Mansur memerintah, ia memindahkan ibu kotanya Baghdad, hal ini dikarenakan Ambar terletak diantara Syam dan Kufah yang selalu dapat ancaman dari kaum Syi’ah, maka pusat pemerintahan dipusatkan di daerah yang lebih aman, Baghdad (762 M) dengan nama Dar al-Salam (Ali, 1976:473). Demi keamanan dari lawan politiknya seperti orang Rawandiah, maka Mansur membangun sebuah kota yang indah dan aman di tepi sungai Tigris, kemudian dijadikan sebagai ibu kota baru abbasiah hingga akhir periode dinasti ini.
Baik Saffah maupun Mansur merupakan khalifah yang dikenal sebagai pembunuh massal, bahkan keduanya juga menyingkirkan para rival politiknya. Misalnya, panglima dan pemenang perang di Dzab II, abdullah ditangkap dan setelah tujuh tahun berada di penjara selanjutnya dibunuh Mansur. Kelompok Syi’ah yang lain yang telah banyak membantu bagi proses berdirinya dinasti ini di bawah pimpinan Abu Muslim Khurasani. Ia merupakan sang proklamator pertama Dinasti Abbasiah di Khurasan (747 M) yang pernah membunuh sekitar 600.000 orang Umayah demi berdirinya kekuasaan Abbasiah. Akan tetapi, ia dicurigai Mansur sebagai pesaing politik, di samping itu menurut catatan Hugh Knnedy, The Early Abbasid Caliphate, hlm. 58:sebab Khurasani tidak mau tunduk kepada khalifah dan tidak mau membagi kekuasaannya dengan Baghdad, maka ia dipanggil dan dibunuh saat bertemu dengan Mansur. Selain itu Mansyur juga merasa adanya ancaman dari sekte Syi’ah yang enggan tunduk kepadanya dan rakyat yang kecewa dengan pemerintahan baru.
Selain kedua rival itu, pemimpin karismatis sekte Syi’ah, Muhammad ibn Abdullah ibn Hasan ibn Ali, yang terkenal dengan sebutan Imam Nafs al-Zakiyah telah bersumpah setia dalam acara pertemuan dengannya dijanjikan oleh Saffah dan Mansur  sebagai imam dan kepala negara, kepadanya sebagai imam dan akan diangkat sebagai khalifah setelah runtuhnya Bani Umayah. Rakyat Hijaz dan Yaman mengakuinya sebagai khalifah mereka termasuk Imam Abu Hanifah dan Imam Malik menyatakan “Nafs al-Zakiyah sebagai khalifah yang sah”. Akan tetapi, justru dibunuh oleh Mansur. Demikian pula nasib saudaranya, Ibrahim juga tela dibunuh Mansur, di mana kedua saudara yang dihormati banyak orang baik kalangan Syi’ah maupun bukan Syi’ah (Brocklmaan,1949:107-101). Meskipun Mansur tidak menghormati Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, mereka disiksa dan dipenjarakan, namun Mansurlah yang banyak membantu menetapkan secara formal mazhab Sunni. Di sinilah ia abadi di kalangan ahl al-sunnah wa al-Jama’ah. Mansur tidak diam disitu saja,
2
setelah kedua saudara itu disingkirkan dari gelanggang politik, ia juga membunuh di muka umum secara masal keluarga Ali, Hasan, Husen, simpatisan dan para pengikutnya. Bukan hanya itu, ia membatalkan keputeramahkotaan ‘Isa, pilihan Saffah dan mengangkat puteranya, Mahdi sebagai putera mahkota baru.
Pada masa khalifah Mansur dalam bidang politik, negara cukup stabil dan maju, setelah ia memadamkan api pemberontakan termasuk gerakan Ustadsis di Herat yang menyatakan dirinya sebagai nabi, menguasai Khurasan dan Sizistan yang sangat luas. Ia ditangkap dan dibawa ke Baghdad. Sebuah cerita yang melukiskan, bahwa Harun al-Rasyid menikahi putri Ustadsis yang melahirkan al-Ma’mun. Di Afrika utara Berber dan Khawarij yang semula ikut barisan berdirinya Abbasiah untuk menggulingkan Umayah, karena mereka berfaham demokratis dan menganggap kekhalifah tidak hanya harus dari golongan tertentu (Quraisy), akan tetapi boleh saja dari suku dan bangsa mana pun asal memenuhi syarat. Akhirnya kecewa dengan sikapMansur yang satu persatu menyingkirkan tokoh-tokoh yang berjasa guna mengembangkan Dinasti Umayah untuk mendirikan Dinasti Abbasiah. Pada akhirnya, mereka menarik dukungan dan mengganggu kestabilan politik Abbasiah. Mereka juga kecewa dengan sikap abbasiah terhadap mereka yang berat sebelah dengan orang persia. Gerakan dan pemberontakan baik Berber maupun Khawarij dapat dipadamkan di bawah panglima merangkap amir, Yazid ibn Hasan al-Muhallab (772 M) yang berhasil menguasai Qayrawan, sebagai pusat politik Islam di Afrika Utara.
Al-Mansur adalah khalifah terbesar Dinasti Abbasiah. Meskipun bukan orang muslim yang saleh, dialah sebenarnya, yang benar-benar membangun dinasti baru ini. Seluruh khilafah yang berjumlah 35 orang berasal dari garis keturunannya.
Dinasti Abbasiah, seperti halnya dinasti lain dalam sejarah islam, mencapai masa kejayaan politik dan intelektual mereka segera setelah didirikan. Kekhalifahan Baghdad yang didirikan oleh As-Saffah dan Al-Mansur mencapai masa keemasannya antara masa khalifah ketiga, Al Mahdi dan khalifah ke sembilan, Al Wastiq, dan lebih khusus lagi pada masa Harun Ar Rasyid dan anaknya Al Ma’mun. Karena kehebatan dua khalifah itulah, Dinasti Abbasiah memiliki kesan baik dalam ingatan publik, dan menjadi dinasti paling terkenal dalam sejarah islam. Diktum yang dikutip oleh seorang penulis antologi, Ats Tsa’alabi (w. 1038) bahwa dari para khalifah Abbasiah “sang pembuka” adalah Al-Mansyur, “sang penengah” adalah Al Ma’mun, dan “sang penutup” adalah Al-Mu’tadhid (892-902).

B.   Kemajuan Dinasti Abbasiah
Masa ini adalah masa keemasan atau masa kejayaan umat Islam sebagai pusat dunia dalam berbagai aspek peradaban. Kemajuan itu hampir mencakup semua aspek kehidupan :
a.    Administrasi pemerintahan dengan biro – bironya
b.    System organisasi militer
c.    Administrasi wilayah pemerintahan
d.    Pertanian, perdagangan, dan industry
e.    Islamisasi pemerintahan
f.      Kajian dalam bidang kedokteran, astronomi, matematika, geografi, historiografi, filsafat Islam, teologi, hokum ( fiqh ), dan etika Islam, sastra, seni, dan penerjemahan
g.    Pendidikan, kesenian, arsitektur, meliputi pendidikan dasar ( kuttab ), menengah, dan perguruan tinggi ; perpustakaan dan toko buku, edia tulis, seni rupa, seni music, dan arsitek.
Ciri-ciri yang menonjol Dinasti Abbasiah yang tidak terdapat di jaman Bani Umayah:
1.       Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab. Sedangkan Bani Umayah sangat berorientasi kepada Arab.
2.       Delam penyelenggaraan negara, pada masa  Bani Abbas ada jabatan Wazir. Jabatan ini tidak ada dalam pemerintahan Bani Umayah.
3.       Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintah Bani Abbas, sebelumnya belum ada tentara khusus yang profesional.

Rincian berbagai kemajuan tersebut, dapat dilihat dari pertemuan Philip K. Hitti9) sebagai berikut :
1.    Biro - Biro Pemerintahan Abbasiyah
Dalam menjalankan system teknis pemerintahan, Dinasti Abbasiyah memiliki kantor pengawas ( dewan az- zimani ) yang pertama kali diperkenalkan oleh Al – Mahdi ; dewan korespondensi atau
3
kantor arsip ( dewan attwqi ) yang menangani semua sura resmi, dokumen politik serta instruksi dan ketetapan khalifah; dewan penyelidik keluhan; departemen kepolisian dan pos. dewan penyelidik keluhan ( dewan an- nazhar fi al – mazhalini ) adalah sejenis pengadilan tingkat banding, atau pengadilan tinggi untuk menangani kasus – kasus yang diputuskan secara keliru pada departemen administratif dan politik. Cikal bakal dewan ini dapat dilacak pada masa Dinasty Umayah, karena Al – Mawardi meriwayatkan bahwa Abd Al – Malik adalah khalifah pertama yang menyediakan satu hari khusus untuk mendengar secara langsung permohonan dan keluhan rakyatnya. Umar II meneruskan praktik tersebut. Praktik itu kemudian diperkenalkan oleh Al – Mahdi ke dalam pemerintahan Dinasty Abbasiyah. Penggantinya, Al – Hadi, Harun, Al – Ma’mun dan khalifah selanjutnya menerima keluhan itu dalam sebuah dengar public; Al – Muhtadi ( 869 – 870 ) adalah khalifah terakhir yang memlihara kebiasaan tersebut. Raja Normandia, Roger II, ( 1130 – 1154 ) memperkenalkan l;embaga tersebut ke Sisilia, yang kemudian mengakar di daratan Eropa.
2.    System Militer
System militer terorganisasi dengan baik, berdisiplin tinggi, serta mendapat pelatihan dan pengajaran secara regular. Pasukan pengawal khalifah ( hams ) mungkin merupakan satu – satunya pasukan tetap yang masing -masing mengepalai sekelompok pasukan. Selain mereka, ada juga pasukan bayaran dan sukarelawan, serta sejumlah pasukan dari berbagai suku dan distrik. Pasukan tetap (jund) yang bertugas aktif disebut murtaziqah (pasukan yang dibayar secara berkala oleh pemerintah). Unit pasukan lainnya disebut muta-thawwi’ah (sukarelawan), yang hanya menerima gaji ketika bertugas. Kelompok sukarelawan ini direkrut dari orang badui, para petani dan orang kota. Pasukan pengawal istana memperoleh bayaran lebih tinggi, bersenjata lengkap, dan berseragam. Pada masa-masa awal pemerintahan khalifah Dinasti Abbasiyah, rata-rata gaji pasukan infanteri, di samping gaji dan santunan rutin sekitar 960 dirham per tahun, pasukan kavaleri menerima dua kali lipat dari itu.
3.    Wilayah Pemerintahan
Pembagian wilayah kerajaan Umayah ke dalam provinsi yang dipimpin oleh seorang gubernur (tunggal amir atau ‘amil) sama dengan pola pemerintahan pada kekuasaan Bizantium dan Persia. Pembagian ini tidak mengalami perubahan berarti pada masa Dinasti Abbasiyah. Provinsi Dinasti Abbasiyah mengalami perubahan dari masa ke masa ke masa, dan klasifikasi politik juga tidak selalu terkait dengan klasifikasi geografis, seperti yang terekam dalam karya Al-Ishtharkhri, Ibn Hawqal, Ibn Al-Faqih, dan karya-karya sejenis. Berikut ini merupakan provinsi-provinsi utama pada masa awal kekhalifahan Baghdad : 1) Afrika di sebelah barat Gurun Libya bersama dengan Sisilia; 2) Mesir; 3) Suriah dan Palestina, yang terkadang dipisahkan; 4) Hijaz dan Yamamah (Arab Tengah); 5) Yaman dan Arab Selatan; 6) Bahrain dan Oman, dengan Bashrah  dan Irak sebagai ibukotanya; 7) Sawada tau Irak (Mesopotamia bawah), dengan kota utamanya setelah Baghdad, yaitu Kufah dan Wash; 8) Jazirah (yaitu kawasan Assyiria Kuno, bukan Semenanjung Arab), dengan ibukota Mosul; 9) Azerbaijan, dengan kota-kota besarnya, seperti Ardabil, Tibriz dan Maraghah; 10) Jibal (perbukitan, Media Kuno), kemudian dikenal dengan Irak Ajami (Iraknya orang Persia), dengan kota utamanya adalah Ramadan.
4.    Perdagangan Dan Industri
Sejak masa khalifah kedua Abbasiyah, Al-Manshur, sumber Arab paling awal yang menyinggung tentang hubungan maritim Arab dan Persia dengan India dan Cina berasal dari laporan perjalanan Sulaiman At-Tajir dan para pedagang muslim lainnya pada abad ke 3 Hijriah. Tulang punggung perdagangan ini adalah sutra, kontribusi terbesar orang Cina kepada dunia barat. Biasanya, jalur perdagangan yang disebut “jalan sutra” menyusuri Samarkand dan Turkistan Cina, sebuah wilayah  yang  kini tidak banyak dilalui disbanding wilayah-wilayah dunia lainnya yang sudah dihuni dan berperadaban. Barang-barang dagangan biasanya diangkut secara estafet, hanya sedikit khalifah yang menempuh sendiri perjalanan sejauh itu. Akan tetapi, hubungan diplomatik telah dibangun sebelum orang Arab terjun ke dunia perdagangan. Diriwayatkan bahwa  Sa’d Ibn Abi Waqqash, penakluk Persia menjadi duta yang dikirim Nabi  ke Cina. “Makam” Sa’d masih bisa ditemukan di Kanton. Tulisan-tulisan tertentu pada monumen Cina lama tentang agama Islam di Cina jelas merupakan tulisan palsu yang dibuat oleh para              tokoh agama. Pada pertengahan abad ke-8 telah dilakukan pertukaran duta. Dalam catatan Cina abad itu, kata amir al-muminin diucapkan dengna hanmi mo mo ni oleh Abu Al-Abbas, khalifah Dinasti Abbasiyah pertama, A bo lo ba; dan Harun, A lun.
5
Pada masa khalifah-khalifah itu terdapat sejumlah orang Islam yang menetap di Cina. Pada mulanya, orang Islam itu dikenal dengan sebutan Ta syih dan kemudian Hui Hui (pengikut Muhammad).
Di sebelah barat, para pedagang Islam telah mencapai Maroko dan Spanyol. Seribu tahun sebelum                     de Lesseps, Khalifah Harun mengemukakan gagasan tentang menggali kanal di sepanjang Ists-mus di Suez. Namun, perdagangan di Mediterania Arab tidak pernah mencapai kemajuan yang berarti. Laut Hitam juga tidak bisa mendukung perdagangan maritime, meskipun pada abad ke-10 telah dilakukan perdagangan singkat melalui darat ke utara dengan orang yang tinggal di kawasan Valda. Namun, karena jaraknya yang dekat dengan pusat kota Persia dan kota-kota makmur di Samarkand dan Bukhara, Laut Kaspia menjadi titik pertemuan dagang yang favorit. Para pedagang muslim membawa kurma, gula, kapas, dan kain wol juga peralatan dari baja dan gelas.
Pada masa Abbasiyah, orang-orang justru mampu mengimpor barang dagangan, seperti rempah-rempah, kapur barus, dan sutra dari kawasan Asia yang lebih jauh, juga mengimpor gading, kayu eboni dan budak kulit hitam dari Afrika. Gambaran tentang jumlah keuntungan yang diperoleh Rothschild dan Rockefeller pada abad tersebut mungkin juga telah diraih oleh seorang penjual permata dari Baghdad, Ibn Al-Jashshash, yang tetap kaya meskipun Al-Muqtadir telah menyita hartanya sebesar 16 juta dinar, dan menjadi keluarga pertama yang dikenal sebagai pengusaha permata. Para pengusaha dari Bashrah yang membawa dagangannya dengan kapal laut ke berbagai negeri yang jauh, masing-masing membawa muatan bernilai lebih dari satu juta dirham. Seorang pemilik penggilingan di Bashrah dan Baghdad yang tidak berpendidikan mampu berderma untuk orang miskin sebesar seratus dinar per hari, dan kemudian diangkat oleh Al Mu’tashim menjadi wazirnya.
Tingkat aktivitas perdagangan semacam itu didukung pula oleh pengembangan industri rumah tangga dan pertanian yang maju. Industri kerajinan tangan menjamur di berbagai pelosok kerajaan. Daerah Asia Barat menjadi pusat industry karpet, sutra, kapas dan kain wol, satin dan brokat (dibaj), sofa (dari bahasa Arab, suffah) dan kain pembungkus bantal, juga perlengkapan dapur dan rumah tangga lainnya. Mesin penganyam Persia dan Irak membuat karpet dan kain berkualitas tinggi. Ibu Al-Musta’in memiliki sehelai karpet yang dipesan khusus seharga 130 juta dirham dengan corak berbagai jenis burung dari emas yang dihiasi batu rubi dan batu-batuan indah lainnya. Sebuah pusat industry di Baghdad yang namanya diambil dari nama seorang pangeran Umayyah, Attab, member merek kain buatannya dengan ‘attabi yang pertama kali dibuat disana pada abad ke-12. Kain tersebut ditiru oleh perajin Arab di Spanyol, dan terkenal di Perancis, Italia dan negara Eropa lainnya dengan nama tabi. Istilah tersebut kemudian berubah menjadi tabby, yang merujuk pada seekor kucing yang unik dan berwarna. Kufah memproduksi kain sutra atau separuh sutra untuk penutup kepala yang masih digunakan hingga sekarang dengan nama kuftyah. Tawwaj, Fasa dan kota-kota lainya di Paris memiliki sejumlah pabrik kelas satu yang membuat barang semacam itu dikenal sebagai thiraz (dari bahasa Persia) yang memuat nama atau kode sultan.
5.       Perkembangan Bidang Pertanian
Bidang pertanian maju pesat pada awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah karena pusat pemerintahannya berada di daerah yang sangat subur, di tepian sungai yang dikenal dengan nama Sawad. Pertanian merupakan sumber utama pemasukan Negara dan pengolahan tanah hampir sepenuhnya dikerjakan oleh penduduk asli, yang statusnya mengalami peningkatan pada masa rezim baru. Lahan-lahan pertanian yang terlantar, dan desa-desa yang hancur di berbagai wilayah kerajaan diperbaiki dan dibangun kembali secara bertahap. Daerah rendah di lembah Tigris-Efrat, yang merupakan daerah terkaya setelah Mesir, dan dipandang sebagai surge Aden, mendapat perhatian khusus dari sungai Efrat, dan membuat saluran irigasi baru sehingga membentuk sebuah “jaringan yang sempurna”. Ada 113 Kanal besar pertama, yang disebut Nahr ‘Isa setelah digali kembali oleh keluarga Al-Manshur, menghubungkan aliran sungai Efrat di Anbar sebelah barat laut dengan sungai Tigris di Baghdad. Salah satu cabang utama Nahr ‘Isa adalah Sharah. Kanal terbesar kedua adalah Nahr Sharshar, yang bertemu dengan sungai Tigris di daerah Madain. Kanal ketiga adalah Nahr Al-Malik (“sungai raja”) yang tersambung ke sungai Tigris di bawah Madain. Di bawah dua sungai itu terdapat Nahr Kutsa dan Sharah Besar, yang mengairi sejumlah saluran. Kanal lainnya, Dujayl (sungai yang lebih kecil dari Diljah, Tigris), yang awalnya menghubungkan Tigris dan Efrat, semakin dangkal pada abad ke-10, dan nama itu kemudian menjadi nama kanal baru berbentuk oval, yang merupakan cabang dari sungai Tigris di bawah Kadisiyah dengan membuat beberapa cabang lain sebelum akhirnya bertemu kembali dengan sungai Tigris.
7
Kanal lainnya yang kurang penting  adalah Nahr Ash-Shilah yang digali di Wash oleh   Al-Mahdi. Para ahli geografi Arab menyebutkan beberapa khalifah yang “menggali” atau “membuka” “saluran” yang dalam kebanyakan kasus, sebenarnya ada sebelumnya sejak masa Babilonia. Di Irak dan Mesir, yang dilakukan adalah mengaktifkan kembali jaringan kanal lama. Bahkan, sebelum Perang Dunia Pertama, Sir William Willcock yang ditugaskan oleh pemerintahan Utsmani untuk mengkaji persoalan irigasi di Irak, merekomendasikan untuk membuka lagi aliran sungai yang lama, daripada membangun kanal – kanal baru.
Tanaman asli Irak terdiri atas gandum, padi, kurma, wijen, kapas, dan rami. Daerah yang sangat subur berada di bantaran tepian sungai ke selatan, Sawad, yang menumbuhkan berbagai jenis buah dan sayuran, yang tumbuh di daerah panas maupun dingin. Kacangn , jeruk, terong, tebu, dan beragam bunga, seperti bunga mawar dan violat juga tumbuh subur.
6.       Islamisasi Masyarakat
Sebanyak 5.000 orang Kristen Banu Tanukh di dekat Alleppo mengikuti perintah Khlifah Al – Mahdi untuk masuk Islam. Proses konversi secara normal berjalan lebih gradual, damai, bersifat pasti. Kebanyakan konversi yang dilakukan oleh penduduk taklukan didorong oleh motif kepentingan individu, agar terhindar dari pajak dan sejumlah aturan lain yang membatasi, agar mendapat prestise social dan pengaryh politik, serta menikmati kebebasan dan keamanan yang lebih besar. Penduduk Persia baru beralih ke agama Islam. Sebelumnya mereka menganut Zoroaster.
7.       Bidang Kedokteran
Dari tulisan Ibn Maskawayh, kita mendapatkan sebuah risalah sistematik berbahasa Arab paling tua tentangn optalmologi. Belakangan ini, sebuah buku berjudul Al – ‘ Asyr Maqalat fi Al – ‘Ayn ( Sepuluh Risalah tentang Mata ) yang dianggap sebagai karya muridnya, Hunayn ibn Ishaq, telah diterbitkan dalam bahasa Inggris sebagai buku teks tentang optamologi paling awal yang kita miliki. Minat orang arab terhadap ilmu kedokteran diihami oleh Hadits Nabi yang membagi pengetahuan ke dalam dua kelompok : teologi dan kedokteran. Dengan demikian, seorang dokter sekaligus merupakan seorang teolog.
Ali ibn Al – Abbas ( Haly Abbas, w. 994 ) yang walnya menganut ajaran Zoroaster, sebagaimana terlihat dari namanya, Al – Majusi, dikenal sebagai penulis buku Al – Kitab Al – Maliki ( buku Raja, Liber regius ), yang ia tulis untuk Raja Buwayhi, Adhud Ad – Dawlah Fanna Khusraw, yang memerintahkan antara 949 hingga 983. Karya ini yang disebut juga Kamil Ash Shind’ah Ath – Thibbiyah, sebuah “ kamus penting yang meliputi pengetahuan dan praktik kedokteran “.
Nama paling terkenal dalam catatan kedokteran Arab setelah Ar – Razi adalah Ibn Sina ( Avicenna, yang masuk ke bahasa Latin melalui bahasa Ibrani, Aven Sina, 980 – 1037 ), yang disebut oleh orang Arab sebagai Asy Syaikh Ar – Ra’is, “ pemimpin “ ( orang terpelajar ) dan “ pangeran “ ( para pejabat ). Ar- Razi lebih menguasai kedokteran dari pada Ibn Sina, sedangkan Ibn Sina lebih menguasai filasafat dari pada Ar – Razi. Dalam diri seorang dokter, filosof, penyair inilah , ilmu pengetahuan Arab mencapai titik puncajnya dan berinkranasi.
Di antara karya – karya ilmiahnya, dua buku yang paling unggul adalah Kitab Asy _ Syifa’ ( buku tentang penyembuhan ), sebuah buku ensklopedia filsafat yang didasarkan atas tradisi Aristotelian yang telah dipengaruhi oleh neo – Platonisme dan teologi Islam, serta Al – Qanun fi Ath – Thibb, yang merupakan kodifikasi pemikiran kedokteran Yunani – Arab. Teks berbahasa Arab dari buku Al – Qanun diterbitkan di Roma pada 1593, dan kemudian menjadi salah satu buku berbahasa Arab tertua yang pernah diterbitkan. Diterjemahkan ke bahasa Latin oleh Gerard dari Cremona pada abad ke 12, buku tersebut dengan seluruh kandungan ensklopedisnya, susunannya yang sistematis, dan penuturannya yang filosofis, sehera menempati posisi penting dalam literature kedokteran masa itu, menggantikan karya – karya Galen, Ar – Razi dan Al – Majusi serta menjadi bukuteks pendidikan kedokteran di sekolah – sekolah Eropa.
8.       Pendidikan, Perpustakaan Dan Toko Buku
Lembaga pendidikan Islam pertama untuk pengajaran yang lebih tinggi tingkatannya adalah Bait Al – Hikmah ( Rumah Kebijakan ) yang didirikan oleh Al – Ma’mun ( 830  M ) di Baghdad, ibukota Negara. Selain berfungsi sebagai biro penerjemahan, lembaga ini juga dikenal sebagai pusat kajian akademis dan perpustakaan umum, serta memiliki sebuah observatorium. Pada saat itu, observatorium – observatorium yang banyak bermunculan juga berfungsi sebagai pusat – pusat pembelajaran astronomi.
8
Fungsi lembaga itu persis sama dengan rumah sakit, yang pada awal kemunculannya sekaligus  berfungsi sebagai pusat pendidikan kedokteran. Tetapi, akademi Islam pertama yang menyediakan berbagai kebutuhan fisik untuk mahasiswanya, dan menjadi model bagi pembangunan akademi – akademi lainnya adalah Nizhamiyah yang didirikan pada tahun 10651 – 1067 oleh Nizham Al – Mulk, seorang menteri dari Persia pada kekhalifahan Bani Saljuk, Sultan Alp Arslan, dan Maliksyah, yang juga merupakan penyokong Umar Al – Khayyam. Dinasti Saljuk sebagaimana Dinasti Buwaihiyah dan sultan – sultan non – Arab lainnnya yang mengemban kekuasan besar atas kehidupan umat Islam, bersaing satu sama lain dalam hal pengembangan seni dan pendidikan yang lebih tinggi.
Perpustakaan ( khizanat al – kutub ) dibangun di Syiraz oleh penguasa Buwaihi, Adud Ad – Dawlah ( 977 – 982 ) yang semua buku – bukunya disusun diatas lemari – lemari, didaftarkan dalam catalog, dan diatur dengan baik oleh staf administrator yang berjaga secara bergiliran. Pada abad yang sama, kota Basrah memiliki sebuah perpustakaan yang di dalamnya para sarjana bekerja dan mendapatkan upah dari pendiri perpustakaan. Dan kota Rayy terdapat sebuah tempat yang disebut Rumah Buku. Dikatakan bahwa tempat itu menyimapn ribuan manuskrip yang diangkut oleh lebih dari empat ratus ekor unta. Seluruh naskah itu kemudian didaftrakan dalam sepuluh jilid catalog.
Selain perpustakaan, gambaran tentang budaya baca pada periode ini bias juga dilihat dari banyaknya took buku. Toko – toko itu, yang juga berfungsi sebagai agen pendidikan mulai muncul sejak awal kekhalifahan Abbasiyah. Al – Yaqub meriwayatkan bahwa pada masanya ( sekitar 891 ) ibu kota Negara meramaikan oleh lebih dari  seratus took buku yang berderet di satu ruas jalan yang sama. Sebagian took tersebut, sebagaimana took – took yang muncul di Damskus dan Kairo.

C.   Kemunduran Dinasti Abbasiah
a.    Factor intern
1)    Kemewahan hidup di kalangan penguasa
Perkembangan perdaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Setiapkhlaifah cenderung ingin lebih mewah dari pada pendahulunya. Kondisi ini member peluang pada tentara professional asal Turki untuk mengambil alih kendali pemerintahan.
2)    Perebutan kekuasaan anata keluarga Bani Abbasiyah
Perebutan kekuasaan dimulai sejak masa Al- Ma’mun dengan Al – Amin. Ditambah dengan masuknya unsure Turki dan Parsi. Setelah Al – Mutawwakil wafat, pergantian khalifah terjadi secara tidak wajar. Dari kedua belas khalifah pada periode kedua Dinasti Abbasiyah, hanya empat orang khalifah yang wafat dengan wajar. Selebihnya, para khalifah itu wafat karena dibunuh atau diracun dan diturunkan secara paksa.
3)    Konflik keagamaan
Sejak terjadinya konflik antara Muawiyah dan Khalifah Ali yang berakhir dengan lahirnya tiga kelompok umat; pengikut Muawiyah Syi’ah dan Khawarij, ketiga kelompok ini senantiasa berebut pengaruh. Yang senantiasa berpengaruh pada masa kekhalifahan Muawiyah maupun masa kekhalifahan Abbasiyah adalah kelompok Sunni dan kelompok Syi’ah. Walaupun pada masa – masa tertentu antara kelompok Sunnni dan Syi’ah saling mendukung, misalnya pada masa pemerintahan Buwaihi, antara kedua kelompok tak pernah ada satu kesepakatan.
b.    Factor ekstern
1)    Banyaknya pemberontakan
Banyaknya daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah, akibat kebijakan yang lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam, secara real, daerah – daerah itu berada di bawah kekuasaan gubernur – gubernur yang bersangkutan. Akibatnya, provinsi – provinsi tersebut banyak yang melepaskan diri dari genggaman penguasa Bani Abbas. Adapun cara provinsi – provinsi tersebut melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad adalah ; pertama, seorang pemimpin local memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti Daulah Umayah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko. Kedua, seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat, kemudian melepaskan diri, seperti daulat Aglabiyah di Tunisia dan Thahiriyah di Kurasan.
9
2)    Dominasi bangsa turki
Sejak abad kesembilan, kekuatan militer Abbasiyah mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah memperkerjakan orang – orang professional dibidang kemiliteran, khusunya tentara Turki, kemudian mengangkatnya menjadi panglima – panglima. Pengangkatan anggota militer inilah, dalam perkembangan selanjutnya, yang mengancam kekuasaan khalifah. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan khalifah. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Walaupun khalifah dipegang oleh Bani Abbas, ditangan mereka, khalifah bagaikan boneka yang tidak bias berbuat apa – apa. Bahkan, merekalah yang memilihi dan menjatuhkan khalifah yan sesuai dengan politik mereka.
Khalifah Dinasti Abbasiyah yan berkuasa pada masa kekuasaan Bnagsa Turki I, mulai khalifah ke –m 10, Khalifah Al – Mutawwakil ( tahun 232 H ) hingga Khalifah ke 22, Khalifah Al – Mustaqfi Billah ( Abdullah Sunni Qasim tahun 334 H ) Pada masa kekuasan bangsa Turki II ( Banu Saljuk ) mulai dari khalifah ke – 27, khalifah Muqtadie bin Muhammad ( tahun 467 H ) hingga khalifah ke – 37, Khalifah Musta’shim bin Mustanshir ( tahun 656 H )
3)    Dominasi bangsa Persia
Masa kekuasaan Bangsa Persi ( Banu Buyah ) berjalan lebih dari 150 tahun. Pada masa ini, kekuasaan pusat Baghdad dilucuti dan di berbagai daerah muncul Negara – Negara baru yang berkuasa dan membuat kemajuan dan perkembangan baru.
Pada awal pemerintahan Bani Abbasiyah, keturunan Parsi bekerja sama dalam mengelola pemerintahan dari Dinasti Abbasiyah mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam berbagai bidang. Pada periode kedua, saat kekhalifahan Bani Abbasiyah sedang mengadakan pergantian khalifah, yaitu Khalifah Muttaqi ( khalifah ke 22 ) kepada Khalifah Muthie ( khalifah ke 23 ) tahun 334 H. Banu Buyah ( Parsi ) berhasil merebut kekuasaan.
Pada mulanya, mereka berkhidmat kepada pembesar – pembesar dari para khalifah, sehingga banyak darimereka yan gmenjadi panglima tentara, diantaranya menjadi panglima besar. Setelah mereka memiliki kedudukan yang kuat, para Khalifah Abbasiyah berda di bawah telunjuk mereka dan seluruh pemerintah berada di tangan mereka. Khalifah Abbasiyah hanya tinggal namanya saja, hanya disebut dalm doa – doa diatas mimbar, bertanda tangan di dalam peraturan dan pengumuman resmi dan nama mereka ditulis atas mata uang, dinar, dan dirham.

D.  Sebab-Sebab Kehancuran Dinasti Abbasiah
1.    Factor Intern
a.    Lemahnya semangat patriotism Negara, menyebabkan jiwa jihad yang diajarkan Islam tidak berdaa lagi menahan segala amukan yang dating, baik dari dalam maupun luar.
b.    Hilangnya sifat amanah dalam segala perjanjian yang dibuat, sehingga kerusakan moral dan kerendahan budi menghancurkan sifat – sifat baik yang mendukung Negara selama ini.
c.    Tidak percaya pada kekuatan sendiri. Dalam mengatasi berbagai pemberontakan, khalifah mengundang kekuatan asing. Akibatnya, kekuatan asing tersebut memanfaatkan kelemahan khalifah.
d.    Fanatic madzhab persaingan dan perebutan yang tiada henti antara Abbasiyah dan Alawiyah menyebabkan kekuatan Islam menjadi lemah, bahkan hancur berkeping -  keping.
Perang ideology antara Syi’ah dari Fatimiah melawan Ahlu Sunnah dari Abbasiyah, banyak menimbulkan korban. Aliran Qaramithah yang sangat ekstern dalam tindakan – tindakannya yang dapat menimbulkan bentrokan dimasyarakat. Kelompok Hashshashin yang dipimpin oleh Hasan bin Shabah yang berasal dari Thus di Parsi merupakan aliran Ismailiyah, salah satu sekte Syi’ah adalah kelompok yang sangat dikenal kekejamannya, yang sering melkukan pembunuhan terhadap penguasa Bani Abbasiyah yang beraliran Sunni.
Pada saat terakhir dari hayatnya Abbasiyah, Tentara Tartar yang datang dari luar dibantu dari dalam dan dibukakan jalannya oleh golongan Awaliyin yang dipimpin oleh Alqamiy.
e.    Kemerosotan ekonomi terjadi karena banyaknya biaya yang digunakan untuk anggaran tentara, banyaknya pemberontakan dan kebiasaan para penguasa berfoya – foya, kehidupan para khalifah dan keluarganya serta pejabat – pejabat Negara hidup mewah, jenis pengeluaran yang makin beragam, serta pejabat yang korupsi, dan
10
semakin sempitnya wilayah kekuasaan khalifah karena telah banyak provinsi yang telah memisahkan diri.
2.       Factor Ekstern
Disintegrasi , akibat kebijakan untuk lebih mengutamakan pembinaan perdaban dan kebudayaan Islam daripada politik, provinsi – provinsi tertentu di pinggiran mulai melepaskan dari genggaman penguasa Bani Abbasiyah. Mereka bukan sekedsar memisahkan diri dari kekuasaan khalifah, tetapi memberontak dan berusaha merebut pusat kekuasaan d Baghdad. Hal ini dimanfaatkan oleh pihak luar dan banyak mengorbankan umat, yang berarti juga megnhancurkan Sumber Daya Manusia ( SDM ). ( Provinsi – provinsi yang melepaskan diri dari Dinasty Abbasiyah , dijelaskan selanjutnya). Yang paling membahayakan adalah pemerintahan tandingan Fatimiah di Mesir walaupun pemerintahan lainnya pun cukup menjadi perhitungan para khalifah di Baghdad. Pada akhirnya, pemerintah – pemerintah tandingan ini dapat ditakhlukan atas bnatuan Bani Saljuk atau Buyah.

E.   Karakter Kekhalifahan Abbasiah
Seperti halnya Dinasti Umayah, setelah berdiri Dinasti Abbasiah, terdapat karakter dan ciri khas istimewa, di antaranya adalah:
1.    Pemerintahan orang Abbasiah dinyatakan sebagai Daulah(era baru).
2.    Dengan berdirinya Dinasti Abbasiah, maka berangsur-angsur pengaruh kekuasaan Arab menurun dan dikuasai/dipengaruhi mawali, serta diskriminasi Arab atas Mawali hilang. Dengan demikian,  islam muncul dalam citra internasional. Orang Persia dan Khurasan yang berperan untuk menumbangkan kekuasaan Umayah, mulai menduduki jabatan-jabatan tinggi dan penting dalam pemerintahan, juga corak pemerintahannya diambil dari sistem pemerintahan Persia.
3.    Pemerintahan Abbasiah adalah pemerintahan non Arab, sedangkan jaman umayah adalah Arab murni yang sangat peka terhadap suku Arab (quraisy), sedangkan pada periode Abbasiah disamping orang Quraisy, orang khuraasan dan dari daerah-daerah lain elit tentara sangat menonjol dalam kebijakan pemerintahan. Para khalifah beranggapan, bahwa sebagai pewaris Nabi Muhammad SAW, yang punya hak sakral dan hubungan ini membawa mereka untuk memerintah dan mempengaruhi dunia islam dan merekalah yang mendudukan kembali Islam dalam posisi yang benar (Rahman, 1977:129).
4.    Corak pemerintahan yang mengalami perubahan drastis sejak Khalifah Mansur yang menyandang gelar Khalifah Allah, dari pada “wakil khalifah” dan mereka tidak tergantung sumpah setia dan pengakuan dari rakyat sebagai legitimasi kekuasaan.
5.    Islam tersebar dengan ekspansi sejak sebelum Umayah dengan pesat dan cepat, sedang pada masa Abbasiah satu sisi orang islam (Arab) kehilangan atau menurun dalam hal kehebatan kemiliteran. Di sisi lain, keutuhan kekhalifahan dan persatuan islam terancam dan terkoyak, yakni lepasnya Andarusia (756 M) dari kekuasaan Abbasiah dengan berdirinya kekhalifahan Umayah II di Andalusia (929 M) dan kekhalifahan Fatimiah di Afrika (909 M).










11
BAB III
PENUTUP
    
A.      Kesimpulan
                 Berdasarkan pada pembahasan sebelumnya, maka dapatlah ditarik kesimpulan- kesimpulan sebagai berikut :
1.   Dinasti Abbasiyah melanjutkan kekuasaan Bani Umayyah. Dinamakan  Abbasiyah, karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad saw.. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H. (750 M.) s. d. 656 H. (1258 M.). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
2.   Pada masa pemerintahan  Dinasti Abbasiyah, Umat Islam banyak mengalami kemajuan yang sangat pesat, di antaranya dalam bidang administrasi, agama, sosial, ilmu pengetahuan, dan pemerintah.
3.   Kemunduran Dinasti Abbasiyah disebabkan oleh banyak faktor, baik yang sifatnya internal maupun yang sifatnya eksternal.

B.      Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Karenanya, saran dan kritikan yang sifatnya membangun, sangat penulis harapkan dari semua pihak.



















12

DAFTAR PUSTAKA

Supriyadi Dedi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
M. Abdul Karim. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yokyakarta: Bahaskara,2007.
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: 1993.
Hasan, Ahmad Rifa’i (ED.), Warisan Intelektual Islam Indonesia, Bandung: Mizan, 1990.
Hassan, Hassan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Penerbit kota Kembang, 1989).
























No comments:

Post a Comment