Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ
ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ
صَدَقَةٍ
جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila meninggal
anak Adam, terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah,
ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shalih yang mendoakannya.” (HR.
Muslim no. 1631)
Ibnu Rajab Al Hanbali menjelaskan tentang ilmu yang
bermanfaat. Beliau mengatakan, pokok segala ilmu adalah mengenal Allah
subhanahu wa ta'ala yang akan menumbuhkan rasa takut kepada-Nya, cinta
kepada-Nya, dekat terhadap-Nya, tenang dengan-Nya, dan rindu pada-Nya. Kemudian
setelah itu berilmu tentang hukum-hukum Allah, apa yang dicintai-Nya dan
diridhai-Nya dari perbuatan, perkataan, keadaan, atau keyakinan hamba.
Orang yang mewujudkan dua ilmu ini, maka
ilmunya adalah ilmu yang bermanfaat. Sehingga dengan itu, akan mendapatkan ilmu
yang bermanfaat, hati yang khusyu’, jiwa yang puas, dan do’a yang mustajab.
Sebaliknya yang tidak mewujudkan dua ilmu yang bermanfaat itu, ia akan terjatuh
ke dalam 4 perkara yang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berlindung
darinya. Bahkan ilmunya menjadi bencana buatnya, ia tidak bisa mengambil
manfaat darinya karena hatinya tidak khusyu’ kepada Allah subhanahu wa ta'ala,
jiwanya tidak merasa puas dengan dunia, bahkan semakin berambisi terhadapnya.
Doanyapun tidak didengar oleh Allah karena ia tidak merealisasikan perintah-Nya
serta tidak menjauhi larangan-Nya dan apa yang dibenci-Nya.
Lebih-lebih apabila ilmu tersebut bukan
diambil dari Al Qur’an dan As Sunnah, maka ilmu itu tidak bermanfaat dan
tidak ada manfaatnya sama sekali. Yang terjadi, kejelekannya lebih besar
dari manfaatnya.
Ibnu Rajab juga menjelaskan, ilmu yang bermanfaat dari
semua ilmu adalah mempelajari dengan benar ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam serta memahami maknanya sesuai dengan yang
ditafsirkan para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Lalu
mempelajari apa yang datang dari mereka tentang halal dan haram, zuhud dan
semacamnya, serta berusaha mepelajari mana yang shahih dan mana yang tidak dari
apa yang telah disebutkan.
Kemudian berusaha untuk mengetahui
makna-maknanya dan memahaminya. Apa yang telah disebut tadi sudah cukup bagi
orang yang berakal dan menyibukkan diri dengan ilmu yang bermanfaat. (Fadl Ilm
Salaf Alal Khalaf 41, 45, 46, 52, 53)
Ilmu yang bermanfaat akan nampak pada
seseorang dengan tanda-tandanya, yaitu:
1. Beramal dengannya.
2. Benci disanjung,
dipuji dan takabbur atas orang lain.
3. Semakin bertawadhu’
ketika ilmunya semakin banyak.
4. Menghindar dari
cinta kepemimpinan, ketenaran dan dunia.
5. Menghindar untuk
mengaku berilmu.
6. Bersu’udzan (buruk
sangka) kepada dirinya dan husnudzan (baik sangka) kepada orang lain dalam
rangka menghindari celaan kepada orang lain. (Lihat Fadl Ilm Salaf Hal. 56-57
dan Hilyah Thalib Ilm Hal. 71)
Sebaliknya ilmu
yang tidak bermanfaat juga akan nampak tanda-tandanya pada orang yang
menyandangnya yaitu:
1. Tumbuhnya sifat
sombong, sangat berambisi dalam dunia dan berlomba-lomba padanya, sombong
terhadap ulama, mendebat orang-orang bodoh, dan memalingkan perhatian manusia
kepadanya.
2. Mengaku sebagai
wali Allah subhanahu wa ta'ala. Atau merasa suci diri.
3. Tidak mau
menerima yang hak dan tunduk kepada kebenaran, dan sombong kepada orang yang
mengucapkan kebenaran jika derajatnya di bawahnya dalam pandangan manusia,
serta tetap dalam kebatilan.
4. Menganggap yang
lainnya bodoh dan mencacat mereka dalam rangka menaikkan dirinya di atas
mereka. Bahkan terkadang menilai ulama terdahulu dengan kebodohan, lalai, atau
lupa sehingga hal itu menjadikan ia mencintai kelebihan yang dimilikinya dan
berburuk sangka kepada ulama yang terdahulu. (Lihat Fadl Ilm Safaf: 53, 54, 57,
58)
Ilmu yang disebutkan tentang
keutamaan/kemuliaannya dalam nash-nash, serta pahala yang akan diperoleh karena
mempelajari dan mengamalkannya, begitu pula diangkatnya derajat pemilik ilmu
tersebut dan tergolongnya pemilik ilmu tersebut sebagai pewaris para nabi
adalah ilmu syar’i, baik ilmu tersebut yang bersangkutan dengan
keyakinan (keimanan, aqidah, dan manhaj yang shahih) ataupun amalan (ibadah,
akhlaq, dan muamalah). Inilah ilmu yang karenanya seseorang itu dipuji bila
dapat mencapainya, mempelajari dan mengajarkannya. Sehingga bukanlah yang
dimaksud di sini ilmu-ilmu yang berkaitan dengan dunia seperti ilmu berhitung
dan teknik atau yang serupa dengannya. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 3/491)
Ilmu syar‘i seperti inilah yang
dikatakan lebih utama mempelajarinya daripada mengerjakan ibadah-ibadah sunnah,
baik berupa puasa, shalat dan yang lainnya. Dikatakan demikian karena
kemanfaatan ilmu itu mengenai pemiliknya dan manusia yang lain. Sementara
ibadah sunnah yang dilakukan badan, kemanfaatannya terbatas hanya untuk
pelakunya. Juga karena ilmu tersebut akan membenarkan
(meluruskan) ibadah seseorang, sehingga yang namanya ibadah butuh terhadap ilmu
dan bergantung dengannya. Selain daripada itu, ilmu akan tetap tertinggal
atsarnya (sisa/ pengaruhnya) sepeninggal pemiliknya, sementara ibadah
sunnah akan terputus dengan meninggalnya pelakunya. Sehingga bisa dikatakan,
selama ilmu itu ada syariat ini akan tetap hidup dan terjaga (tetap berkibar)
bendera-bendera agama ini. (Tadzkiratus Sami‘ wal Muta‘allim, hal. 23)
Demikianlah kemuliaan ilmu syar‘i
yang begitu dijunjung keberadaannya di dalam agama Allah Subhanahu wa Ta'ala
ini. Namun apabila kita menengok keberadaaan kita pada hari ini dengan
kebanggaan terhadap ilmu-ilmu dunia maka betapa naif dan jeleknya, di
mana ilmu syar‘i diremehkan dan direndahkan dihadapan kita.
Sehingga bila ada seseorang yang ditanya pada hari ini tentang pendidikannya,
di mana dia sekolah? Di mana dia belajar? Dan kebetulan dia adalah seorang
thalibul ilmi syar‘i (penuntut ilmu agama) di satu pesantren ataupun sekolah
agama maka dengan malu/ minder ia menjawab: “Saya seorang santri,” atau “Saya
di jurusan syariah.” Sebaliknya, bila ternyata seseorang itu belajar di sekolah
umum dan ditanya dengan pertanyaan yang sama maka dengan bangga ia mengatakan,
“Saya di SMU favorit” atau “Saya kuliah di fakultas kedokteran.” Wallahu
Al-Musta‘an
Ilmu-ilmu selain ilmu syar’i seperti
pertambangan, pertanian, perikanan dan seluruh industri yang bermanfaat,
terkadang bisa menjadi wajib bila memang dibutuhkan oleh kaum muslimin, dan
hukumnya fardhu kifayah. Hendaklah pemerintah memerhatikan perkara yang
memberi kemanfaatan kepada kaum muslimin, membantu orang-orang yang menempuh
bidang tersebut untuk memberi kemanfaatan kepada kaum muslimin dan sebagai
persiapan menghadapi musuh-musuh mereka. Amal seorang hamba akan menjadi ibadah
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bila murni/tulus niatnya, ikhlas karena
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun bila tanpa niat, maka terhitung perkara mubah.
Adapun ilmu syar’i, haruslah dituntut
oleh setiap orang (fardhu ‘ain). Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya dan bertakwa pada-Nya.
Sementara, tidak ada jalan untuk beribadah dan bertakwa kecuali dengan ilmu
syar’i, ilmu Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagaimana penjelasan yang telah lewat.
Seharusnya penuntut ilmu tafaqquh (mendalami) agamanya, mempelajari hukum-hukum
Allah, mengenali akidah salafiyyah yang shahihah yang dipegangi oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya, serta orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik. Berupa iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya, iman kepada nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, membiarkannya
sebagaimana datangnya sesuai dengan sisi yang pantas bagi kemuliaan Allah
Subhanahu wa Ta’ala tanpa tahrif, tanpa ta’thil, tanpa takyif dan tanpa
tamtsil2, tidak dikurangi dan tidak ditambah.
No comments:
Post a Comment