MAKALAH
BANI UMAYAH
Mata
Kuliah Sejarah Kebudayaan
Islam
Dosen
pembimbing : Drs. H. A. Burhanudin, M.Pd.I
Disusun
oleh :
Nama : - Anisa Umi (04)
- Itsnaini Nur Laila (19)
- Khidir
Hidayatullah (22)
- Ria Faatihatul
Inayah (32)
- Suparti (49)
- Diana Oktaviani (58)
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Jurusan : Tarbiyah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH
(STAIM ) KLATEN
2013/2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun haturkan kepada Allah SWT, atas
rahmat dan hidayah-NYA. Sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas Sejarah
Kebudayaan Islam (SKI) dengan judul “Memahami Kemajuan dan Kemunduran Bani
Umayah”. Salam dan sholawat semoga tetap tercurah kepada uswatun hasanah
Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan umatnya hingga hari akhir
zaman.
Tugas ini kami susun sebagai bagian
dari tugas mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) dan sebagai bahan diskusi
mahasiswa, untuk memahami kemajuan dan
kemunduran Bani Umayah.
Dalam penyusunan tugas ini banyak kekurangan
dan kami mengharapkan saran dan kritik
dari pembaca untuk pembenaran tugas ini. Dan semoga penyusunan tugas ini dapat
bermanfaat bagi pembaca semuanya. Aamiin.
Klaten, 09 Oktober 2013
Team Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI ...................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................... 6
-
Perluasan
Wilayah ...................................................................... 7
-
Munculnya
Pemberontakan .......................................................... 8
-
Kelemahan–Kelemahan Khalifah Sepeninggal ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz –rahimahullaahu ta’ala-. .............................................. 10
-
Faktor-Faktor Kemunduran Bani Umayyah ................................... 10
BAB III. PENUTUP ...................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
Dalam sejarah agama-agama dunia, Islam
termasuk agama yang sangat prestius dan luar biasa. Agama yang notabene datang dan mampu menjadi
salah satu agama terbesar dunia dengan jumlah penganut milaran orang dan tersebar
di seluruh pelosok dunia. Stephen Sulaiman Schwartz
menyebutkan bahwa Islam datang
sebagai agama monoteistik (yang mempercayai adanya tuhan itu
hanya satu) terbesar ketiga setelah Yahudi dan Kristen.[1]
Sejak kelahirannya pada awal abad ke-7
di Mekkah, Islam terus mengalami perkembangan yang pesat melewati berbagai
tantangan yang sangat berat, sampai akhirnya tersebar ke seluruh dunia.[2]
Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran
Islam yang dilakukan dalam setiap generasi muslim di setiap zaman sangat luar
biasa dan cukup menggeliat. Perjuangan dakwah Islamiyah yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW dan masa setelahnya yaitu Abu Bakar,
Islam telah mencapai seluruh Arabia. Pada masa Umar, Islam telah meluas ke
wilayah-wilayah Byzantium, Palestina, Mesir dan wilayah-wilayah Sasaniyah
Persia dan Irak. Pada masa Ustman dan ‘Ali, upaya perluasan Islam terhenti
akibat konflik internal umat Islam pada saat itu yang tidak dapat dihindarkan.[3]
Kemajuan dan perkembangan Islam
tersebut tentu saja merupakan prestasi pengembangan Islam yang dilakukan oleh
Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali. Mereka menjadi garda depan pengembangan dan
perluasaan Islam, walaupun di tengah-tengah kekuasaan mereka Seringkali muncul
berbagai konflik yang tidak menguntungkan, seperti konflik politik yang terjadi
pada masa Ustman dan Ali.
Demikian pula halnya dengan masa-masa
kekuasaan pada khilafah Bani Umayyah dan Bani Abbas. Kedua
dinasti ini telah menjadi legenda tersendiri dalam sejarah kekuasaan Islam yang
telah melakukan perubahan drastis terhadap sistem kekuasaan Islam.
Dinasti Umayyah yang berpusat Di
Damaskus mulai terbentuk sejak terjadinya peristiwa tahkim pada Perang
Siffin. Perang yang dimaksudkan untuk menuntut balas atas kematian Khalifah
Utsman bin Affan itu, semula akan dimenangkan oleh piahak Ali, tetapi melihat
dari kekalahan itu, Mu’awiyyah segera mengajukan usul kepada pihak Ali untuk
kembali kepada hukum Allah.[4]
Dalam peristiwa tahkim itu, Ali
telah telah terpedaya oleh taktik dan siasat Mu’awiyah yang pada akhirnya ia
meninggal mengalami kekalahan secara politis. Sementara itu, Mu’awiyah mendapat
kesempatan untuk mengangkat dirinya sebagai khalifah sekaligus raja.[5]
Peristiwa ini di masa kemudian menjadi awal munculnya pemahaman yang beragam
dalam masalah teologi.
Betapapun hebatnya
pertikaian yang terjadi di kalangan kaum muslimin, Muawiyah dan dinastinya yang
terdiri dari orang-orang Bani Umayyah ternyata sanggup mengatasinya dengan
berbagai macam cara, termasuk kekerasan dan perang. Kemudian mendirikan
imperium yang amat luas kekuasaannya.[6]
Upaya menjelaskan sejarah tentang dinasti Bani Umayyah,
dapat ditinjau dari tiga fase, yaitu: fase pembentukan, kejayaan, dan fase
kemunduran. Secara khusus, makalah ini akan menjelaskan tentang fase dan kejayaan dan kemunduran Bani Umayyah di Syiria (Damaskus).
BAB II
PEMBAHASAN
Masa Kekhilafahan Bani Umayyah hanya
berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah bin Abi
Sufyan –radhiyallaahu ‘anhu-, dimana pemerintahan yang bersifat Islamiyyah berubah menjadi monarchiheridetis
(kerajaan turun temurun), yaitu setelah Hasan bin ‘Ali –radhiyallaahu ‘anhuma- menyerahkan jabatan
kekhalifahan kepada Mu’awiyah
bin Abu Sufyan –radhiyallaahu ‘anhu-, dalam rangka mendamaikan kaum muslimin, yang pada saat itu sedang
dilanda fitnah akibat terbunuhnya ‘Utsman bin
Affan –radhiyallaahu ‘anhu-, perang Jamal dan
pengkhianatan dari orang-orang Khawarij dan Syi’ah.
Suksesi kepemimpinan secara turun temurun
dimulai ketika Muawiyah bin Abu
Sufyan Radhiallahu ‘anhu mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid bin
Muawiyah. Muawiyah bin Abu Sufyan radhiyallaahu ‘anhu- bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium.
Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah,
namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan
jabatan tersebut. Dia menyebutnya “khalifah Allah” dalam pengertian
“penguasa” yang diangkat oleh Allah Ta’ala.[7]
Para Khalifah Bani Umayyah
Para Khalifah yang cukup berpengaruh dari Bani Umayyah
ini adalah: [8]
- Muawiyah bin Abi Sufyan [Muawiyah I], (661-680 M),
- Yazid bin Muawiyah [Yazid I], (680-683 M),
- Muawiyah bin Yazid [Muawiyah II], (683-684 M),
- Marwan Ibnul Hakam [Marwan I], (684-685 M),
- ‘Abdul Malik bin Marwan (685-705 M),
- Al-Walid bin ‘Abdul Malik [al-Walid I], (705-715 M),
- Sulaiman bin ‘Abdul Malik, (715-717 M),
- ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz [‘Umar II], (717-720M),
- Yazid bin ‘Abdul Malik [Yazid II], (720-724 M),
- Hisyam bin ‘Abdul Malik (724-743 M).
- Walid bin Yazid [al-Walid III], (743-744 M).
- Yazid bin Walid [Yazid III], (744 M).
- Ibrahim bin Walid, (744 M).
- Marwan bin Muhammad [Marwan II al-Himar ~Kesabarannya melebihi keledai dalam menghadapi pemberontak~ dan sebagai Khalifah Bani Umayah terakhir], (745-750 M).
Perluasan Wilayah
Ekspansi yang terhenti pada masa
khalifah ‘Utsman bin
Affan dan ‘Ali bin Abi
Thalib –radhiyallaahu ‘anhum- dilanjutkan kembali oleh daulah ini. Di zaman Muawiyah bin Abu Sufyan –radhiyallaahu
‘anhu-, Tunisia
dapat ditaklukkan. Di sebelah timur, Muawiyah –radhiyallaahu ‘anhu- dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan
sampai ke Kabul.
Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium,
Konstantinopel.
Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan .
Dia berhasil menundukkan Balkh, Bukhara,
Khawarizm, Ferghana dan Samarkand.
Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai
ke Maltan.[9]
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman al-Walid bin ‘Abdul Malik.
Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban.
Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang
lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara
menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah al-Jazair
dan Maroko
dapat ditundukkan, Thariq bin Ziyad –rahimahullah-,
pemimpin pasukan Islam,
dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib)
dengan benua Eropa,
dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar
(Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol
menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol,
Kordova, dengan cepatnya dapat dikuasai.
Setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol
yang baru setelah jatuhnya Kordova. Pasukan Islam memperoleh
kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat setempat yang
sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz,
yang mana disebut sebagai khalifah yang ke lima serangan dilakukan ke Prancis
melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman
bin ‘Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeau, Poitiers.
Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi
terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol.
Disamping itu, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah (Mediterania)
juga jatuh ke tangan Islam
pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke
beberapa daerah, maka kekuasaan Islam semakin luas yang meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, turkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.
Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di
berbagai bidang. Muawiyah –radhiyallaahu ‘anhu- mendirikan dinas pos dan
tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya
di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan
mencetak mata uang. ‘Abdul Malik mengubah mata uang Bizantium
dan Persia
yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Dia mencetak uang tersendiri
pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah ‘Abdul
Malik –rahimahullaahu ta’ala- juga berhasil melakukan
pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi
administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan Khalifah ‘Abdul Malik –rahimahullaahu
ta’ala- diikuti oleh putera al-Walid bin ‘Abdul Malik –rahimahullaahu
ta’ala- (705-715 M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan
melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang cacat. Dia juga
membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah
lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang
megah.
Munculnya
Pemberontakan
Meskipun keberhasilan banyak dicapai daulah ini, namun tidak
berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Karena Muawiyah –radhiyallaahu
‘anhu- dianggap tidak mentaati isi perjanjiannya dengan al-Hasan bin ‘Ali –radhiyallaahu
‘anhuma- ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan
penggantian pemimpin setelah Muawiyah –radhiyallaahu ‘anhu- diserahkan
kepada dewan syura kaum Muslimin dan terserah kepada mereka siapa yang dipilih
untuk mengisi kekosongan jabatan khalifah.[10]
Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid –rahimahullaahu
ta’ala- sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan
oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara
beberapa kali dan berkelanjutan. Ketika Yazid –rahimahullaahu ta’ala- naik tahta,
sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid –rahimahullaahu
ta’ala- kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah,
memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya.
Dengan cara ini, semua orang terpaksa
tunduk, kecuali Husein bin ‘Ali dan ‘Abdullah Bin Zubair Ibnul Awwam–radhiyallaahu
‘anhum-. Bersamaan
dengan itu, kaum Syi’ah
(pengikut ‘Abdullah bin Saba’ al-Yahudi) melakukan penggabungan kekuatan
kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husein bin ‘Ali –radhiyallaahu
‘anhuma-. Pada tahun 680 M, ia berangkat dari Mekkah ke Kufah atas tipu daya
golongan Syi’ah
yang ada di Irak.
Ummat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid . Mereka berusaha menghasut dan
mengangkat Husein –radhiyallaahu ‘anhuma- sebagai khalifah. Dalam
pertempuran yang tidak seimbang di Karballa, sebuah daerah di dekat Kufah, tentara dan seluruh
keluarga Husein –radhiyallaahu ‘anhuma- kalah dan Husein –radhiyallaahu
‘anhuma- sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus,
sedang tubuhnya dikubur di Karballa.
Perlawanan orang-orang Syi’ah
tidak padam dengan sebab terbunuhnya Husein –radhiyallaahu ‘anhuma-.
Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi’ah
terjadi. Yang termashur diantaranya adalah pemberontakan al-Mukhtar
di Kufah
pada tahun 685-687 M. Al-Mukhtar (yang pada akhirnya mengaku sebagai Nabi)
mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali (yaitu umat Islam
bukan Arab,
berasal dari Persia,
Armenia
dan lain-lain) yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas
dua. Al-Mukhtar terbunuh dalam peperangan melawan gerakan oposisi lainnya,
gerakan ‘Abdullah bin Zubair –radhiyallaahu ‘anhuma-. Namun, Ibnu Zubair
–radhiyallaahu ‘anhuma- juga tidak berhasil menghentikan gerakan Syi’ah.
‘Abdullah bin Zubair –radhiyallaahu ‘anhuma- membina
gerakan oposisinya di Mekkah setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid. Akan
tetapi, dia baru menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah
al-Husein bin ‘Ali –radhiyallaahu ‘anhuma- terbunuh.
Tentara Yazid kemudian mengepung Madinah dan Makkah. Dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak
terhindarkan. Namun, peperangan terhenti karena Yazid wafat dan tentara Bani
Umayyah kembali ke Damaskus. Gerakan ‘Abdullah bin Zubair –radhiyallaahu
‘anhuma- baru dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan ‘Abdul Malik bin Marwan.
Tentara Bani Umayyah dipimpin al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi
berangkat menuju Thaif,
kemudian ke Madinah
dan akhirnya meneruskan perjalanan ke Makkah. Ka’bah
diserbu. Keluarga Ibnu Zubair –radhiyallaahu ‘anhuma- dan sahabatnya
melarikan diri, sementara Ibnu Zubair –radhiyallaahu ‘anhuma- sendiri
dengan gigih melakukan perlawanan sampai akhirnya terbunuh pada tahun 73 H/692
M.
Selain gerakan di atas, gerakan-gerakan anarkis yang dilancarkan
kelompok Khawarij
dan Syi’ah
juga dapat diredakan. Keberhasilan memberantas gerakan-gerakan itulah yang
membuat orientasi pemerintahan dinasti ini dapat diarahkan kepada pengamanan
daerah-daerah kekuasaan di wilayah timur (meliputi kota-kota di sekitar Asia Tengah)
dan wilayah Afrika
bagian utara, bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol
(andalus).
Hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan
Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul Aziz –rahimahullaahu
ta’ala- (717-720 M). Ketika dinobatkan sebagai khalifah, dia menyatakan
bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam lebih
baik daripada menambah perluasannya. Ini berarti bahwa prioritas utama adalah
pembangunan dalam negeri. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, dia
berhasil menyadarkan golongan Syi’ah. Dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lain
untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Zakat diperingan.
Kedudukan mawali disejajarkan dengan
muslim Arab.
Kelemahan–Kelemahan
Khalifah Sepeninggal ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz –rahimahullaahu ta’ala-.
Sepeninggal ‘Umar bin ‘Abdul
Aziz –rahimahullaahu ta’ala-, kekuasaan Bani Umayyah berada di bawah khalifah Yazid bin ‘Abdul
Malik –rahimahullaahu ta’ala- (720- 724 M). Namun
sayang, penguasa yang satu ini terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang
memperhatikan kehidupan rakyat. Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam
ketenteraman dan kedamaian, pada zamannya berubah menjadi kacau. Dengan latar
belakang dan kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi
terhadap pemerintahan Yazid bin ‘Abdul Malik.
Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam bin ‘Abdul Malik –rahimahullaahu
ta’ala- (724-743 M). Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru
yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu
berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali
dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan berikutnya
kekuatan baru ini, mampu menggulingkan dinasti Umawiyah dan menggantikannya
dengan dinasti baru, Bani Abbas.
Sepeninggal Hisyam bin
‘Abdul Malik –rahimahullaahu ta’ala-, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi
juga bermoral buruk. Hal
ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya, pada tahun 750 M, Daulah
Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Marwan II bin Muhammad al-Himar
–rahimahullaahu ta’ala-, khalifah terakhir Bani Umayyah, melarikan diri
ke Mesir, ditangkap dan dibunuh di sana.
Faktor-Faktor
Kemunduran Bani Umayyah
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan dinasti Bani Umayyah lemah dan membawanya
kepada kehancuran. Faktor-faktor tersebut antara lain:
- Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru (bid’ah) bagi tradisi Islam yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas, sehingga menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.[11]
- Latar belakang terbentuknya dinasti Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa ‘Ali –radhiyallaahu ‘anhu-. Sisa-sisa Syi’ah dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah.
- Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan.[12] Disamping itu, sebagian besar golongan mawali (non-Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.[13]
- Lemahnya para khalifah, kecenderungan mereka hidup santai, sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan dan keluarnya mereka dari prinsip-prinsip Islam yang menjadi tonggak tegaknya sebuah negara. Disamping itu, para Ulama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
- Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas bin Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.[14]
BAB III
PENUTUP
Bani Umayah merupakan salah satu
penguasa Islam yang cukup masyhur seperti penguasa muslim lainnya. Bahkan pada
masa ini, perubahan demi perubahan dilakukan, setidaknya keberanian Bani Umayah
untuk keluar dari tradisi Arab dalam masalah pergantian kepemimpinan serta
pemindahan pusat kekuasaan dari Jazirah Arab ke Damaskus (luar jazirah Arab)
menjadi bukti sederhana tentang dinamika yang terjadi pada masa Bani Umayah
berkuasa.
Tulisan di atas – walaupun sangat
singkat – telah memberikan gambaran tentang pergulatan kekuasan Bani Umayah
dengan segala dinamika yang terjadi selama berkuasa kurang lebih 90 tahun
lamanya, di satu sisi telah menorehkan banyak catatan kemajuan bagi Islam,
tetapi pada sisi yang lain tidak jauh beda dengan penguasa-penguasa sebelumnya,
yaitu ketidakmampuan dalam meminimalisir konflik politik, yang seringkali menimbulkan berbagai
tragedi pertempuran di kalangan umat Islam.
Namun demikian, Bani Umayah tetaplah
bagian penting dan menarik dalam sejarah umat Islam, karena tidak semua yang
dilakukan Bani Umayah itu buruk, tetapi juga
memiliki sisi penting yang harus ditiru oleh umat Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Syed Amer, A
Short History of the saracens, (New Delhi, Kitab Bavhan, 1981).
Amin, Ahmad, Dhuha al-islam, Jilid 1, (Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa
al-Nasyr, Tanpa tahun)
Gibb, H.A.R., Islam dalam Lintasan Sedjarah (Jakarta: Yayasan Franklin, 1953)
Hitti,
Philip K., History of the Arabs, (London: Macmilan, 1970).
Imam
As-Suyuthi, Taarikh Khulafa’, cet. th. 1409H/1989M
Nasution, Harun, Islam
ditinjau dari berbagai Aspeknya,
(Jakarta: UI-Press, 1999)
Sulaiman
Schwartz, Stephen, Dua
Wajah Islam : Modernisme vs Fundamentalisme dalam Wacana Global, terj. Hodri Ariv (Jakarta: Balantika,
2007)
Sayyid
al-Wakil,
DR. Muhammad, Wajah Dunia Islam
Syafiq A.
Mughni, Dinamika Intelektual Islam Pada Abad Kegelapan (Surabaya:
LPAM, 2002)
Thohir, Ajid, Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik,
dan Budaya Umat Islam. (Jakarta
PT. RajaGrafindo Persada, 2004)
Watt, W. Montgomery,
Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1990).
Yatim,
Dr. Badri, M. A., Sejarah Kebudayaan Islam, cetakan pertama th. 1993.
[1] Stephen Sulaiman Schwartz, Dua Wajah Islam :
Modernisme vs Fundamentalisme dalam Wacana Global, terj. Hodri Ariv
(Jakarta, Balantika, 2007), hal. 19
[4] Ajid Thohir, Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik,
dan Budaya Umat Islam. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 34.
[6] Ahmad Amin,
“Yaumul Islam”, Abu Laila dan M.Tohir (Penerj.), Islam dari Masa ke Masa, PT.
Remajarosda Karya, Bandung, 1993, hal. 99.
[9]
Harun
Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, jilid 1, (Jakarta: UI Press,
1985 , cetakan kelima), hal 61
[12] Syed Amer
Ali, A Short History of the saracens, (New Delhi, Kitab Bavhan, 1981),
hlm.169-170.
[13] W.
Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990), hlm. 23
No comments:
Post a Comment