Friday, July 27, 2018
Poster "Ar-Rifq"
Sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk
berhias dengan sifat yang sangat mulia tersebut, karena ia merupakan bagian dari
sifat-sifat yang dicintai oleh Allah subhanahu wa
ta’ala. Dengannya pula merupakan sebab seseorang dapat
meraih berbagai kunci kebaikan dan keutamaan. Sebaliknya, orang yang tidak
memiliki sifat lemah lembut, maka ia tidak akan bisa meraih berbagai kebaikan
dan keutamaan.
Dikisahkan dalam sebuah hadits bahwa suatu ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk-duduk bersama para shahabat radhiyallahu ‘anhum di dalam masjid.
Tiba-tiba muncul seorang ‘Arab badui (kampung) masuk ke dalam masjid, kemudian
kencing di dalamnya. Maka, dengan serta merta, bangkitlah para shahabat yang ada
di dalam masjid, menghampirinya seraya menghardiknya dengan ucapan yang keras.
Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang mereka untuk menghardiknya dan
memerintahkan untuk membiarkannya sampai orang tersebut menyelesaikan hajatnya.
Kemudian setelah selesai, beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam meminta untuk diambilkan setimba air untuk
dituangkan pada air kencing tersebut. (HR. Al
Bukhari)
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil
‘Arab badui tersebut dalam keadaan tidak marah ataupun mencela. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menasehatinya dengan lemah lembut: “Sesungguhnya masjid
ini tidak pantas untuk membuang benda najis (seperti kencing, pen) atau kotor.
Hanya saja masjid itu dibangun sebagai tempat untuk dzikir kepada Allah, shalat,
dan membaca Al Qur’an.” (HR.
Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ
مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ
شَانَهُ
“Sesungguhnya sifat
lemah lembut tidaklah berada pada sesuatu kecuali akan membuat indah sesuatu
tersebut dan tidaklah sifat lemah lembut dicabut dari sesuatu kecuali akan
membuat sesuatu tersebut menjadi buruk.” (HR. Muslim)
Poster "Bahaya Ghibah"
Tahukah anda apa itu ghibah? Sesungguhnya kata ini tidak
asing lagi bagi kita. Ghibah ini erat kaitannya dengan perbuatan lisan, sehingga
sering terjadi dan terkadang diluar kesadaran.
Ghibah adalah menyebutkan, membuka, dan membongkar aib saudaranya dengan maksud jelek. Al Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya dari shahabat Abu Hurairah Ra, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah? Para shahabat berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Kemudian beliau Saw bersabda: “Engkau menyebutkan sesuatu yang ada pada saudaramu yang dia membecinya, jika yang engkau sebutkan tadi benar-benar ada pada saudaramu sungguh engkau telah berbuat ghibah, sedangkan jika itu tidak benar maka engkau telah membuat kedustaan atasnya.”
Ghibah adalah menyebutkan, membuka, dan membongkar aib saudaranya dengan maksud jelek. Al Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya dari shahabat Abu Hurairah Ra, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah? Para shahabat berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Kemudian beliau Saw bersabda: “Engkau menyebutkan sesuatu yang ada pada saudaramu yang dia membecinya, jika yang engkau sebutkan tadi benar-benar ada pada saudaramu sungguh engkau telah berbuat ghibah, sedangkan jika itu tidak benar maka engkau telah membuat kedustaan atasnya.”
Di dalam Al Qur’anul Karim Allah Ta'ala sangat mencela perbuatan
ghibah, sebagaimana firman-Nya (artinya): “Dan
janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kalian
menggunjing (ghibah) kepada sebagian yang lainnya. Apakah kalian suka salah
seorang diantara kalian memakan daging saudaramu yang sudah mati? Maka tentulah
kalian membencinya. Dan bertaqwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat dan Maha Pengasih.” (Al Hujurat: 12)
Mari jaga lisan kita, agar tidak terjatuh dalam perkara Ghibah.
Saturday, July 21, 2018
Friday, July 20, 2018
Menjauhi Sifat Pelit
Bakhil adalah sifat yang tercela karena sifat ini terlahir dari godaan
syaithan. Bakhil dijadikan oleh syaithan sebagai jalan untuk menuju
jalan ke neraka. Definisi bakhil adalah perbuatan seorang hamba untuk
menahan harta yang ada pada kepemilikannya tanpa menunaikan hak dan
kewajiban yang terkait dengan harta tersebut. Dalil yang melarang dari
perbuatan bakhil di antaranya adalah:
“Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,
Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, "Jauhillah
tujuh kehancuran yang dapat menimpa kalian.’ Lalu (shahabat) bertanya,
‘Apakah itu wahai Rasulullah?’ Lalu beliau menjawab, ‘Menyekutukan
Allah, kikir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah, memakan riba, memakan
harta anak yatim, lari dari peperangan, menuduh zina wanita mukminat
yang suci.” (HR. an-Nasa`i)
Sifat bakhil muncul diakibatkan kecintaan yang berlebihan terhadap
dunia, tidak adanya keyakinan tentang kemuliaan yang ada di sisi Allah Ta'ala,
tamak dan kagum kepada diri sendiri serta sebab-sebab lainnya.
Agar kita terhindar dari sifat kikir/pelit, para ulama telah memberikan solusi.
Di antaranya dengan banyak bersedekah dan berinfak, memikirkan tentang
kehinaan dan kerendahan harta di sisi Allah Ta'ala, memikirkan balasan yang
besar di sisi Allah Ta'ala, memahami hakekat keberadaan harta yang ada di
sekitarnya, banyak bergaul dengan orang-orang shaleh dan menjauhi
orang-orang yang mempunyai sifat bakhil.
Wallahu a’lamu bish shawab, Semoga Allah Ta'ala menjauhkan kita dari sifat bakhil/pelit.
Khutbah Jum'at "Hadits yang Membicarakan Dosa yang Dilaknat"
Setiap yang terkena
laknat Allah, maka ia berarti jauh dari rahmat Allah dan berhak mendapatkan
siksa, akhirnya binasa. Yang dilaknat bisa jadi perbuatannya adalah kekafiran.
Ini jelas jauh dari rahmat Allah dan berhak mendapatkan azab Allah.
Bisa pula yang dilaknat
tetap muslim, namun ia melakukan perbuatan yang pantas dapat
laknat seperti orang yang minum minuman keras, orang yang mencaci maki orang
tuanya dan yang semacam itu. Perbuatan yang dilakukan tentu saja termasuk al-kabair
(dosa besar), namun tidak menyebabkan ia kekal di neraka.
Ada 4 hadits yang
kami sampaikan pada kesempatan khutbah Jumat kali ini yang menerangkan
dosa-dosa yang dilaknat sehingga kita semakin takut berbuat maksiat dan
berusaha untuk menghindari dosa-dosa yang nanti disebutkan.
Berikut penjelasan khutbah jum'at ===>>> "Hadits yang Membicarakan Dosa yang Dilaknat"
Ilmu yang Bermanfaat
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ
ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ
صَدَقَةٍ
جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila meninggal
anak Adam, terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah,
ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shalih yang mendoakannya.” (HR.
Muslim no. 1631)
Ibnu Rajab Al Hanbali menjelaskan tentang ilmu yang
bermanfaat. Beliau mengatakan, pokok segala ilmu adalah mengenal Allah
subhanahu wa ta'ala yang akan menumbuhkan rasa takut kepada-Nya, cinta
kepada-Nya, dekat terhadap-Nya, tenang dengan-Nya, dan rindu pada-Nya. Kemudian
setelah itu berilmu tentang hukum-hukum Allah, apa yang dicintai-Nya dan
diridhai-Nya dari perbuatan, perkataan, keadaan, atau keyakinan hamba.
Orang yang mewujudkan dua ilmu ini, maka
ilmunya adalah ilmu yang bermanfaat. Sehingga dengan itu, akan mendapatkan ilmu
yang bermanfaat, hati yang khusyu’, jiwa yang puas, dan do’a yang mustajab.
Sebaliknya yang tidak mewujudkan dua ilmu yang bermanfaat itu, ia akan terjatuh
ke dalam 4 perkara yang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berlindung
darinya. Bahkan ilmunya menjadi bencana buatnya, ia tidak bisa mengambil
manfaat darinya karena hatinya tidak khusyu’ kepada Allah subhanahu wa ta'ala,
jiwanya tidak merasa puas dengan dunia, bahkan semakin berambisi terhadapnya.
Doanyapun tidak didengar oleh Allah karena ia tidak merealisasikan perintah-Nya
serta tidak menjauhi larangan-Nya dan apa yang dibenci-Nya.
Lebih-lebih apabila ilmu tersebut bukan
diambil dari Al Qur’an dan As Sunnah, maka ilmu itu tidak bermanfaat dan
tidak ada manfaatnya sama sekali. Yang terjadi, kejelekannya lebih besar
dari manfaatnya.
Ibnu Rajab juga menjelaskan, ilmu yang bermanfaat dari
semua ilmu adalah mempelajari dengan benar ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam serta memahami maknanya sesuai dengan yang
ditafsirkan para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Lalu
mempelajari apa yang datang dari mereka tentang halal dan haram, zuhud dan
semacamnya, serta berusaha mepelajari mana yang shahih dan mana yang tidak dari
apa yang telah disebutkan.
Kemudian berusaha untuk mengetahui
makna-maknanya dan memahaminya. Apa yang telah disebut tadi sudah cukup bagi
orang yang berakal dan menyibukkan diri dengan ilmu yang bermanfaat. (Fadl Ilm
Salaf Alal Khalaf 41, 45, 46, 52, 53)
Ilmu yang bermanfaat akan nampak pada
seseorang dengan tanda-tandanya, yaitu:
1. Beramal dengannya.
2. Benci disanjung,
dipuji dan takabbur atas orang lain.
3. Semakin bertawadhu’
ketika ilmunya semakin banyak.
4. Menghindar dari
cinta kepemimpinan, ketenaran dan dunia.
5. Menghindar untuk
mengaku berilmu.
6. Bersu’udzan (buruk
sangka) kepada dirinya dan husnudzan (baik sangka) kepada orang lain dalam
rangka menghindari celaan kepada orang lain. (Lihat Fadl Ilm Salaf Hal. 56-57
dan Hilyah Thalib Ilm Hal. 71)
Sebaliknya ilmu
yang tidak bermanfaat juga akan nampak tanda-tandanya pada orang yang
menyandangnya yaitu:
1. Tumbuhnya sifat
sombong, sangat berambisi dalam dunia dan berlomba-lomba padanya, sombong
terhadap ulama, mendebat orang-orang bodoh, dan memalingkan perhatian manusia
kepadanya.
2. Mengaku sebagai
wali Allah subhanahu wa ta'ala. Atau merasa suci diri.
3. Tidak mau
menerima yang hak dan tunduk kepada kebenaran, dan sombong kepada orang yang
mengucapkan kebenaran jika derajatnya di bawahnya dalam pandangan manusia,
serta tetap dalam kebatilan.
4. Menganggap yang
lainnya bodoh dan mencacat mereka dalam rangka menaikkan dirinya di atas
mereka. Bahkan terkadang menilai ulama terdahulu dengan kebodohan, lalai, atau
lupa sehingga hal itu menjadikan ia mencintai kelebihan yang dimilikinya dan
berburuk sangka kepada ulama yang terdahulu. (Lihat Fadl Ilm Safaf: 53, 54, 57,
58)
Ilmu yang disebutkan tentang
keutamaan/kemuliaannya dalam nash-nash, serta pahala yang akan diperoleh karena
mempelajari dan mengamalkannya, begitu pula diangkatnya derajat pemilik ilmu
tersebut dan tergolongnya pemilik ilmu tersebut sebagai pewaris para nabi
adalah ilmu syar’i, baik ilmu tersebut yang bersangkutan dengan
keyakinan (keimanan, aqidah, dan manhaj yang shahih) ataupun amalan (ibadah,
akhlaq, dan muamalah). Inilah ilmu yang karenanya seseorang itu dipuji bila
dapat mencapainya, mempelajari dan mengajarkannya. Sehingga bukanlah yang
dimaksud di sini ilmu-ilmu yang berkaitan dengan dunia seperti ilmu berhitung
dan teknik atau yang serupa dengannya. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 3/491)
Ilmu syar‘i seperti inilah yang
dikatakan lebih utama mempelajarinya daripada mengerjakan ibadah-ibadah sunnah,
baik berupa puasa, shalat dan yang lainnya. Dikatakan demikian karena
kemanfaatan ilmu itu mengenai pemiliknya dan manusia yang lain. Sementara
ibadah sunnah yang dilakukan badan, kemanfaatannya terbatas hanya untuk
pelakunya. Juga karena ilmu tersebut akan membenarkan
(meluruskan) ibadah seseorang, sehingga yang namanya ibadah butuh terhadap ilmu
dan bergantung dengannya. Selain daripada itu, ilmu akan tetap tertinggal
atsarnya (sisa/ pengaruhnya) sepeninggal pemiliknya, sementara ibadah
sunnah akan terputus dengan meninggalnya pelakunya. Sehingga bisa dikatakan,
selama ilmu itu ada syariat ini akan tetap hidup dan terjaga (tetap berkibar)
bendera-bendera agama ini. (Tadzkiratus Sami‘ wal Muta‘allim, hal. 23)
Demikianlah kemuliaan ilmu syar‘i
yang begitu dijunjung keberadaannya di dalam agama Allah Subhanahu wa Ta'ala
ini. Namun apabila kita menengok keberadaaan kita pada hari ini dengan
kebanggaan terhadap ilmu-ilmu dunia maka betapa naif dan jeleknya, di
mana ilmu syar‘i diremehkan dan direndahkan dihadapan kita.
Sehingga bila ada seseorang yang ditanya pada hari ini tentang pendidikannya,
di mana dia sekolah? Di mana dia belajar? Dan kebetulan dia adalah seorang
thalibul ilmi syar‘i (penuntut ilmu agama) di satu pesantren ataupun sekolah
agama maka dengan malu/ minder ia menjawab: “Saya seorang santri,” atau “Saya
di jurusan syariah.” Sebaliknya, bila ternyata seseorang itu belajar di sekolah
umum dan ditanya dengan pertanyaan yang sama maka dengan bangga ia mengatakan,
“Saya di SMU favorit” atau “Saya kuliah di fakultas kedokteran.” Wallahu
Al-Musta‘an
Ilmu-ilmu selain ilmu syar’i seperti
pertambangan, pertanian, perikanan dan seluruh industri yang bermanfaat,
terkadang bisa menjadi wajib bila memang dibutuhkan oleh kaum muslimin, dan
hukumnya fardhu kifayah. Hendaklah pemerintah memerhatikan perkara yang
memberi kemanfaatan kepada kaum muslimin, membantu orang-orang yang menempuh
bidang tersebut untuk memberi kemanfaatan kepada kaum muslimin dan sebagai
persiapan menghadapi musuh-musuh mereka. Amal seorang hamba akan menjadi ibadah
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bila murni/tulus niatnya, ikhlas karena
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun bila tanpa niat, maka terhitung perkara mubah.
Adapun ilmu syar’i, haruslah dituntut
oleh setiap orang (fardhu ‘ain). Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya dan bertakwa pada-Nya.
Sementara, tidak ada jalan untuk beribadah dan bertakwa kecuali dengan ilmu
syar’i, ilmu Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagaimana penjelasan yang telah lewat.
Seharusnya penuntut ilmu tafaqquh (mendalami) agamanya, mempelajari hukum-hukum
Allah, mengenali akidah salafiyyah yang shahihah yang dipegangi oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya, serta orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik. Berupa iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya, iman kepada nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, membiarkannya
sebagaimana datangnya sesuai dengan sisi yang pantas bagi kemuliaan Allah
Subhanahu wa Ta’ala tanpa tahrif, tanpa ta’thil, tanpa takyif dan tanpa
tamtsil2, tidak dikurangi dan tidak ditambah.
Wednesday, July 18, 2018
Memanah | الرمي
Bismillah walhamdulillah, Washsholatuwassalamu'ala rasulillah, 'amma ba'du:
Memanah adalah
salah satu sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka dari itu
sebagai seorang muslim, kita mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam. Mendengar kata panahan, sebagian orang merasa takut dan khawatir
karena mengganggap bahwa panahan adalah jenis olahraga berbahaya, tidak cocok
untuk setiap orang. Sebagian orang juga menganggap bahwa panahan adalah
olahraga yang kurang terkenal dan mahal, karena jarang yang tertarik dan harus
membeli peralatan yang diketahuinya harganya yang sangat mahal.
Sebenarnya
olahraga panahan cukup aman dan tingkat keamanannya relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan olahraga lainnya, asalkan mengikuti instruksi
keselamatan. Selain itu olahraga panahan bukanlah olahraga baru, karena
usianya sudah ribuan tahun, mungkin termasuk olahraga yang paling tua bahkan
lebih tua daripada atletik dan olahraga lainnya. Masalah peralatan yang mahal,
hal ini sangat relatif. Banyak peralatan panahan standar yang harganya murah
yang ditujukan untuk pemula. Bagi pemula yang terpenting bukanlah harga
peralatannya, namun teknik memanahnya
Berikut beberapa riwayat tentang "Memanah"
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir
Al-Juhani (semoga Allah Ta’ala ridho kepadanya): Saya mendengar
Rasulullah (shallalaahu ‘alayhi wa sallama) dari atas mimbar bersabda; “Bersiaplah
menghadapi mereka sebesar kekuatanmu. Sesungguhnya, kekuatan ada pada memanah,
kekuatan ada pada memanah, kekuatan ada pada memanah.”
Darinya (‘Uqbah bin ‘Amir
Al-Juhani (semoga Allah Ta’ala ridho padanya)): Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam bersabda; “Barangsiapa telah diajarkan memanah dan
kemudian meninggalkannya maka dia telah bermaksiat (terhadap Rasulullah
shallalahu ‘alayhi wa sallama)”
Dari Abu Hurairah radhiyaallahu’anhu, Dari Nabi
shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda; “Tidak ada lomba kecuali pada
memanah, balapan unta dan balap kuda”
.
Berikut kami sajikan Buku Panduan Teknik Memanah ==> Download
Subscribe to:
Posts (Atom)