BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tarikh
Tasyri’ merupakan salah satu kajian penting yang membahas sejarah legislasi
pembentukan hukum syari’at Islam, asas tasyri’ dalam Al-Quran, penetapan dan
sumber hukum pada Rasulullah Saw, para sahabat dan fuqaha dalam generasi
pertama. Tumbuhnya embrio golongan politik dan pengaruhnya atas perkembangan
hukum islam masa berikutnya. Sehingga munculah istilah-istilah fiqh dan
tokoh-tokoh mujtahid, serta pembaruan pemikiran hukum pada masa pasca kejumudan
dan reaktualisasi hukum Islam di dunia Islam.
Oleh karena itu,
untuk membuka jalan menuju destinasi serta mengetahui urgensinya, maka perlu
sebuah kajian dan pembahasan dalam memahami fiqh Islam dengan bentuk kajian
ilmiah sesuai dengan metodologi penyelidikan tentang definisi syari’at, fiqh,
periodisasi perkembangan hukum Islam, sumber-sumber hukum Islam serta
madzhab-madzhab fiqh. Namun dalam pembahasan makalah ini akan lebih di fokuskan
pada pembahasan “Periode Mendirikan dan Menguatkan Madzhab, Tersiarnya
Diskusi dan Perdebatan”.
B. TUJUAN
PENYUSUNAN
Makalah ini kami
susun yang bertujuan untuk :
1. Memenuhi
tugas dari mata kuliah Tarikh Tasyri’.
2. Untuk
memberikan sedikit uraian tentang bagaimana memahami tentang Periode
Mendirikan dan Menguatkan Madzhab, Tersiarnya Diskusi dan Perdebatan.
C. RUMUSAN MASALAH
Untuk memudahkan
pembahasannya maka akan dibahas sub masalah yang berkenaan dengan Periode
Mendirikan dan Menguatkan Madzhab, Tersiarnya Diskusi dan Perdebatan.
Penyusunan makalah ini diperoleh dengan menggunakan metode kepustakaan,
yaitu metode dengan menggunakan referensi dari buku - buku yang bersangkutan
untuk menjadi bahan materi pembuatan makalah. Dan metode obyektif yang
diperoleh dari informasi di internet.
BAB
II
PEMBAHASAN
Periode Mendirikan dan Menguatkan
Madzhab, Tersiarnya Diskusi dan Perdebatan
Pada periode ini bermula
dari permulaan abad ke-4 sampai runtuhnya Daulah Abbasiyyah. Periode taklid
tejadi sejak runtuhnya Baghdad ditangan Holako sampai sekarang. Unsur Turki
atau Thurani adalah suatu unsur yang besar sekali yang terdiri dari beberapa
kabilah yang berbeda-beda, setelah menyiapkan sarana-sarana berkelana ia
jelajahi negeri-negeri Islam untuk menguasainya sebagai tambahan atas negeri
asalnya.
A. RUH TAKLID
Taklid adalah menerima hukum-hukum dari imam
tertentu dan menganggap pendapat-pendapatnya seolah-olah nash dari syar’i yang
wajib diikuti oleh orang yang bertaqlid (Muqallid).
Disetiap periode dari periode-periode yang telah
lampau terdapat Mujtahid dan Muqallid. Para Mujtahid adalah para fuqoha’
yang mempelajari al-Qur’an dan as-Sunnah
dan mempunyai kemampuan untuk
mengistimbathkan hukum yang dhahir nash atau dari yang tersirat padanya. Para
Muqallid adalah orang umum yang tidak menyibukkan diri untuk mempelajari
al-Qur’an dan as-Sunnah hingga menjadikan mereka ahli untuk beristimbath,
apabila mereka mendapatkan suatu peristiwa, mereka bersegera kepada seorang
faqih di negeri mereka untuk meminta fatwa.
Sebab hilangnya Ruh Taqlid, diantaranya: [1]
1.
Murid-murid
yang mulia
Terpengaruhnya murid terhadap guru yang mengajak
mereka untuk mengaguminya, membukukannya dan mempertahankannya. Mereka
membukukan hukum-hukum yang mereka terima dari guru mereka dan mereka
mempelajari dan menyiarkan diantara orang-orang yang mengikutinya.
2.
Pengadilan
Pada masa lampau, para khalifah memilih hakim dari
seorang laki-laki yang memiliki pengetahuan tentang Kitabullah, Sunnah Rasul
dan mampu mengistimbathkan hukum-hukum dari keduanya.
3.
Pembukuan
Mazhab
Setiap mahzab mempunyai orang-orang yang
membukukannya. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan: “Al-Laits itu lebih
pandai dari pada Malik, hanya saja teman-temannya tidak melaksanakan (mereka
tidak mau membukukan pendapat-pendapatnya dan menyiarkannya dikalangan jumhur,
sebagaimana mereka membukukan pendapat-pendapat Malik)”.
B. TERSIARNYA DISKUSI DAN PERDEBATAN[2]
Imam Asy-Syafi’i
menceritakan sebagian diskusinya dengan Muhammad bin Hasan (seorang faqih irak)
hanya saja hal itu tidak tersiar dikalangan para ulama. Menurut zhahirnya,
tujuan diskusinya hanyalah menyampaikan kepada pengistimbatan yang benar. Dalam
diskusi itu tidak ada yang menghalangi mereka untuk merubah pendapat mereka,
apabila nampak kebenaran, karena mereka merdeka berpendapat dan salah seorang
dari mereka tidak terikat dengan suatu mazhab dan tidak pula dengan suatu
pendapat.
Majelis itu
diselenggarakan dihadapan para menteri dan pembesar serta dihadiri oleh banyak ahli ilmu dan
dimajelis ta’ziyah (periksalah Thobaqot Asy Syafi’yah fitarjamati Asy Syaikh
Abu Ishaq Asy Syairazi). Abdul Walid Al Baji berkata : “Adat kebiasaan di
Baghdad adalah orang yang kena musibah dengan meninggalnya salah seorang yang
dimuliakan maka ia duduk beberapa hari dimasjid jama’ahnya, tetangga- tetangga
dan saudara-saudaranya duduk-duduk disitu. Apabila lewat beberapa hari mereka
melawat dengan maksud menghibur kemudian kembali kepada
kebiasaan pekerjaannya. Di waktu mereka pada melawat banyak waktu yang digunakan
untuk membaca Al Qur’an dan diskusi dalam berbagai masalah.
Sebagian Amir cenderung untuk
mendiskusikan fiqh dan menerangkan mana yang lebih sempurna antara madzhab Syafi’I dan Abu Hanifah. dan mereka
menganggap ringan menyelisishi Malik, Sufyan, Ahmad dan lain-lain. Adapun yang
mendorong mereka berbuat demikian adalah menyenangkan para amir , meskipun
mereka menipu diri mereka dengan dalih bertujuan mengistimbathkan detail-detail syariat,
menetapkan illat-illat mazdhab dan sebagai pendahuluan pokok-pokok fatwa.
Al Ghazali berkata : “Sesungguhnya kaum-kaum itu membingungkan diri
mereka dengan mengatakan bahwa tolong menolong dalam mencari kebenaran adalah
termasuk agama”. Sesungguhnya hal itu
mempunyai delapan syarat:
- Janganlah menyibukkan diri terhadap fardhu kifayah bagi orang yag belum menyelesaikan fardhu-fardhu ‘ain. Barangsiapa yang mempunyai kewajiban fardhu ‘ain lalu menyibukkan diri dengan menduga bahwa tujuannya itu benar maka sebenarnya dia berdusta.dengan fardhu kifayahOrang yang sibuk dengan berdiskusi mereka melalaikan urusan-urusan fardhu ‘ain dengan persetujuan.
- Tidaklah ia berpendapat bahwa fardhu kifayah itu lebih penting daripada diskusi, jika ia melihat sesuatu yang lebih penting namun melakukan lainnya maka ia durhaka karenaa perbuatan itu.
- Orang yang berdiskusi itu hendaklah seorang mujtahid yang berfatwa dengan pendapatnya, tidak dengan madzhab Asy Syafi’i, Abu Hanifah dan lainnya.
- Hendaknya jangan mendiskusikan kecuali maslah-masalah yang terjadi atau biasanya hampir terjadi.
- Diskusi di tempat yang sepi adalah lebih disukai dan lebih penting dari pada di perayaan-perayaan dan didepan para pembesar dan raja-raja, karean sungguh tempat yang sunyi itu lebih mengumpulkan kepahaman dan lebih layak untuk menjernihkan hati dan fikiran serta mendapatkan kebenaran.
- Dalam mencari kebenaran itu agar seperti orang mencari barang yang hilang, tidak membedakan antara barang yang hilang itu ditemukan oleh tangannya atau tangan orang yang menolongnya, dan ia memandangnya sebagai teman yang menolong bukan lawan bertengkar dan ia berterima kasih keapdanya apabila ia menunjukkan kesalahannya dan menampakkan kebenaran kepadanya.
- Janganlah seorang itu menghalangi penolongnya dalam berdiskusi untuk pindah dari satu dail ke dalil yang lain , dari sutu kesulitan kesulitan yang lain.
- Hendaklah mendikusikan kepada orang yang dapat diambil faedahnya yaitu orang yang sibuk dengan ilmu.
Kemudian Al Ghazali
menambahkan sebuah fasal yang menerangkan bahaya-bahaya diskusi :
- Dengki
- Sombong dan meninggi atas manusia, sehingga mereka bertengkar di majlis-majlis, berlomba-lomba dalam meninggikan dan merendahkan, mendekatkan terhadap sandaran dan menjauhinya, dan dulu-duluan masuk ketika jalan itu sempit
- Dendam, orang yang berdiskusi hampir tidak lepas dari padanya.
- Mengumpat
- Mengintai-ngintai dan mengikuti aurat manusia
- Senang kepada keburukan-keburukan manusia dan gundah terhadap kesenngan mereka
- Nifak
- Menyombongkan diri dan benci terhadap kebenaran
- Riya’
MADZHAB ISMA’ILI[3]
Madzhab ini adalah salah
satu madzhab Syi’ah yang mengangkat Isma’il bin ja’far yang terkenal dengan Al
Kahzim.dengan demikian dalam dunia Islam ada tiga madzhab yaitu Zaidiyah, Imamiyah dua belas dan
Isma’iliyah. Sebagian madzhab ini bertentangan dengan sebagian yang lain hanya
saja mereka seluruhnya terhimpun oleh keturunan. Dalam hal warisan ada
perbedaan jumlur. Menurut mereka ada 2 tingkat permasalahan yang tingkat
pertama adalah kedua orang tua dan anak-anak, dan tingkat yang kedua yaitu
kakak dan saudara laki-laki dan saudara perempuan.
Dengan adanya aturan
pengadilan di Mesir atas madzhab ini maka para ulama mengajarkannya di
Universitas Al Azhar. Abu Ahmad bin Al Afdhal menteri al Muntashir memutuskan
dan menentukan warisan dengan madzhab nya yaitu hakim Isma’ili, hakim Imami, hakim Maliki, dan hakim Syafi’i.
Dan ketika Shalaludin menjabat sebagai
menteri sosial di Kairo ia memerangi Madzhab Isma’ili di Mesir sehingga madzhab
ini tidak berpengaruh luas dikalangan masyarakat dan putuslah hubungan antara
dengan kaum itu sehingga hampir tidak melihat kitab baik fiqih maupun yang
lain. Pengadilan berjalan dengan menggunakan madzhab Syafi’i sampai datangnya
Azh Zhahir birebes dimana ia mengulangi adanya pengadilan yang bermacam-macam
hanya saja terbatas pada madzhab jumlur saja yaitu ; Syafi’i, maliki, Hanafi, dan Hambali.
C. MULAI TERJADINYA KEFANATIKAN MAZHAB
Fanatisme
mazhab (at Ta’ashshub al Mazhabi)
adalah istilah yang diberikan kepada sikap yang hanya mengakui mazhabnya
sebagai landasan dalam beragama dan menolak pendapat lain walaupun didukung
oleh dalil yang kuat.
Di
dalam kitab suci al-Qur’an, Allah Ta’ala memerintahkan orang beriman untuk
menjadikan ajaran ajaran-Nya dan Rasul-Nya sebagai sumber hukum dan rujukan
utama atas setiap perkara mereka.
“Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, dengan sesat
yang nyata”*. (QS. Al-Ahzab: 36)
*Menurut
ath-Thabari yakni apabila Allah Ta’ala telah menetapkan keputusan terhadap
mereka, maka tidak pantas sebagai seorang mukmin untuk mencari pilihan yang
lain selain apa yang sudah diputuskan itu.
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS.
An-Nisa’: 59)
Dengan demikian jelas, bahwa pedoman dan rujukan utama
yang harus dipegang oleh seorang muslim adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.
Ibnul Qoyyim
meriwayatkan tentang ‘Umar bin Khottob, dalam salah satu suratnya kepada Syuraih
(salah satu seorang qadhi’ disalah satu wilayah kekuasaan islam), beliau
menulis:
“Jika engkau menemukan sesuatu dalam Kitabullah,
maka berhukumlah dengannya, jangan menoleh kepada selainnya sedikitpun. Jika
datang kepadamu permasalahan yang tidak terdapat dalam Kitabullah maka
hukumilah dengan sunnah Rasulullah saw, jika datang kepadamu masalah yang tidak
terdapat pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw, maka tetapkanlah keputusan
berdasarkan ijma’, dan jika tidak ada yang membicarakannya sebelummu, maka jika
kamu mau berijtihad lakukanlah, jika kamu menundanya, tundalah dan saya melihat
menunda itu lebih baik”.[4]
Sikap para imam mazhab itu sendiri, diantaranya:[5]
Imam Abu Hanifah berkata:
“Tidak boleh seseorang berkata dengan perkataan kami
(berpendapat dengan pendapat kami) sebelum dia tahu darimana sumber pendapat
kami”.
Imam Malik berkata:
“Sesungguhnya saya hanyalah seorang manusia, bisa
benar dan bisa salah, maka perhatikanlah pendapat saya; apabila sesuai dengan al-Qur’an
dan as-Sunnah, maka ambillah, dan apabila bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah
maka tinggalkanlah”.
Imam Syafi’i berkata:
“Jika kalian mendapatkan dalam kitabku apa yang
bertentangan dengan Sunnah Rasulullah saw, maka ambillah pendapat sesuai Sunnah
Rasulullah saw dan tinggalkan apa yang aku ucapkan”.
“Perumpamaan orang yang menuntut ilmu tanpa dalil,
bagaikan pencari kayu bakar di malam hari, dia membawa seikat kayu bakar,
padahal didalamnya terdapat ular yang akan mematuknya, sedang ia tidak tahu”.
Imam Ahmad berkata:
“Jangan engkau taklid kepadaku, jangan juga
bertaklid kepada Malik, ats Tsauri dan al Auzai, ambillah dari tempat mereka
mengambil”
“Merupakan tanda minimnya pamahaman seseorang
(terhadap agamanya), jika kehidupan agamanya tergantung pada orang perorang”.
Dari sejumlah dalil yang telah disebutkan diatas dan
sikap para sahabat dan para imam mujtahid, nyatalah bahwa tidak ada satu
dalilpun yang menguatkan untuk berpedoman pada satu mazhab tertentu dalam
beribadah. Yang ada adalah perintah untuk menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai pedoman utama.
Pendapat ini bahkan dikuatkan oleh para imam mazhab
itu sendiri yang menyatakan ketidaksetujuan dengan adanya taklid dan fanatisme
mazhab.
Disamping itu, fanatisme mazhab merupakan
penyimpangan sejarah yang perlu diluruskan, karena berpedoman pada mazhab
tertentu dan tidak merujuk pada al-Qur’an
dan as-Sunnah bukan merupakan metode
atau cara yang dilakukan oleh Salafushsholeh yaitu Generasi Sahabat,
Tabi’in dan Tabi’tabi’in. Hal tersebut muncul setelah abad ketiga.
Imam Nawawi berkata:
“Dalil yang ada menunjukkan bahwa seseorang tidak
diwajibkan bermazhab dengan mazhab tertentu, akan tetapi dia boleh meminta
fatwa kepada siapa yang dia kehendaki, dengan syarat tidak mencari yang ringan”.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Taqlid
adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dari mana asal hujjahnya.
Sedangkan orang yang bertaqlid disebut muqallid. Taqlid muncul ketika kekuasaan
Islam sudah di ambang pintu kehancuran, yaitu pada masa kemunduran. Kemunduran
Islam dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya politik, tertutupnya
ijtihad dan sebagainya.
Pada
dasarnya para ulama jumhur sangat melarang perbuatan taqlid karena hal itu
dapat menyebabkan orang tidak mau berfikir tentang masalah agamanya. Sehingga
umat Islam hanya mencukupkan tentang perkara agamanya itu dengan kitab-kitab
karangan para imam ijtihad. Tapi dalam kalangam umat Islam sendiri tidak ada
keharmonisan, hal ini disebabkan karena masing-masing pengikut mahzab mengklaim
bahwa mahzabnya yang paling benar.
Orang
yang berpendidikan tinggi dan dianggap mampu untuk berijtihad sendiri dilarang
untuk bertaqlid. Taqlid boleh dilakukan oleh orang awam tapi dengan syarat
bahwa ia harus selalu berusaha mencari dasar-dasar dalilnya. Dan jika ia telah
menemukan dasarnya ia harus kembali pada dalil tersebut, yaitu Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi Muhammad SAW.
DAFTAR PUSTAKA
Saefullah FM, Asep. 2000. “I’lamul Muwaqqi’in
Panduan Hukum Islam”. Jakarta: Pustaka Azam
Zuhri, Muhammad. 1980. “Tarjamah Tarikh
Al-tasyri’ Al-Islami”. Semarang: Darul Ikhya
TARIKH TASYRI’
“Periode
Mendirikan dan Menguatkan Madzhab, Tersiarnya Diskusi dan Perdebatan”
Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah tarikh tasyri’
Dosen pembimbing
: Drs. H. A.Burhanudin, M.Pd.I
Disusun
oleh :
1.
Bahtiar
Yusuf (09)
2.
Khidir
Hidayatullah (22)
3.
Mulyono (26)
4.
Sholikin (37)
5.
Tri Yuliyanto (48)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
MUHAMMADIYAH
(STAIM ) KLATEN
2014
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penyusun haturkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-NYA.
Sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Periode
Mendirikan dan Menguatkan Madzhab, Tersiarnya Diskusi dan Perdebatan”.
Salam dan sholawat semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi
wasallam beserta keluarga, sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman.
Makalah ini kami susun sebagai
bagian dari tugas mata kuliah Tarikh Tasyri’ dan sebagai bahan diskusi
mahasiswa agar memahami tentang Periode Mendirikan dan Menguatkan Madzhab,
Tersiarnya Diskusi dan Perdebatan.
Dalam penyusunan makalah ini banyak
kekurangan, kami mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca untuk kesempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca semuanya. Aamiin.
Klaten,
07 Desember 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL
KATA
PENGANTAR ------------------------------------------------------------- i
DAFTAR
ISI ----------------------------------------------------------------------- ii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
----------------------------------------------------------- 1
B. Tujuan Penyusunan
------------------------------------------------------ 1
C. Rumusan Masalah
-------------------------------------------------------- 1
D. Metode Penyusunan
----------------------------------------------------- 1
BAB
II PEMBAHASAN
A. Ruh Taklid----------------------------------------------------------------
2
B. Tersiarnya Diskusi dan Perdebatan---------------------------------------
3
C. Mulai Terjadinya Kefanatikan Madzhab---------------------------------- 6
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan --------------------------------------------------------------- 10
DAFTAR
PUSTAKA
|
No comments:
Post a Comment