PENGERTIAN
HAID, NIFAS, DAN ISTIHADHAH
A.
HAID
Haidh
atau haid (dalam ejaan bahasa Indonesia) adalah darah yang keluar dari rahim
seorang wanita pada waktu-waktu tertentu yang bukan karena disebabkan oleh
suatu penyakit atau karena adanya proses persalinan, dimana keluarnya darah itu
merupakan sunnatullah yang telah ditetapkan oleh Allah kepada seorang wanita.
Sifat darah ini berwarna merah kehitaman yang kental, keluar dalam jangka waktu
tertentu, bersifat panas, dan memiliki bau yang khas atau tidak sedap.
Haid
adalah sesuatu yang normal terjadi pada seorang wanita, dan pada setiap wanita
kebiasaannya pun berbeda-beda. Ada yang ketika keluar haid ini disertai dengan
rasa sakit pada bagian pinggul, namun ada yang tidak merasakan sakit. Ada yang
lama haidnya 3 hari, ada pula yang lebih dari 10 hari. Ada yang ketika keluar
didahului dengan lendir kuning kecoklatan, ada pula yang langsung berupa darah
merah yang kental. Dan pada setiap kondisi inilah yang harus dikenali oleh
setiap wanita, karena dengan mengenali masa dan karakteristik darah haid inilah
akar dimana seorang wanita dapat membedakannya dengan darah-darah lain yang
keluar kemudian.
Wanita
yang haid tidak dibolehkan untuk shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan lain
sebagainya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى
فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang (darah) haid. Katakanlah, “Dia itu adalah suatu
kotoran (najis)”. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita
di tempat haidnya (kemaluan). Dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum
mereka suci (dari haid). Apabila mereka telah bersuci (mandi bersih), maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Dari
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا
نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Kami
dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan
tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (HR. Al-Bukhari No. 321 dan
Muslim No. 335)
Batasan
Haid :
- Menurut Ulama Syafi’iyyah batas minimal masa haid adalah sehari semalam, dan batas maksimalnya adalah 15 hari. Jika lebih dari 15 hari maka darah itu darah Istihadhah dan wajib bagi wanita tersebut untuk mandi dan shalat.
- Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa mengatakan bahwa tidak ada batasan yang pasti mengenai minimal dan maksimal masa haid itu. Dan pendapat inilah yang paling kuat dan paling masuk akal, dan disepakati oleh sebagian besar ulama, termasuk juga Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga mengambil pendapat ini. Dalil tidak adanya batasan minimal dan maksimal masa haid.
Firman Allah Ta’ala:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ
قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ
حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “Haid itu adalah suatu kotoran”.
Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan
janganlah kamu mendekatkan mereka, sebelum mereka suci…” [QS. Al-Baqarah : 222]
Ayat
ini menunjukkan bahwa Allah memberikan petunjuk tentang masa haid itu berakhir
setelah suci, yakni setelah kering dan terhentinya darah tersebut. Bukan
tergantung pada jumlah hari tertentu. Sehingga yang dijadikan dasar hukum atau
patokannya adalah keberadaan darah haid itu sendiri. Jika ada darah dan
sifatnya dalah darah haid, maka berlaku hukum haid. Namun jika tidak dijumpai
darah, atau sifatnya bukanlah darah haid, maka tidak berlaku hukum haid
padanya. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menambahkan bahwa
sekiranya memang ada batasan hari tertentu dalam masa haid, tentulah ada nash
syar’i dari Al-Qur’an dan Sunnah yang menjelaskan tentang hal ini.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan : “Pada prinsipnya,
setiap darah yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang
menunjukkan bahwa darah itu istihadhah.”
Berhentinya
haid :
Indikator
selesainya masa haid adalah dengan adanya gumpalan atau lendir putih (seperti
keputihan) yang keluar dari jalan rahim. Namun, bila tidak menjumpai adanya lendir
putih ini, maka bisa dengan mengeceknya menggunakan kapas putih yang dimasukkan
ke dalam vagina. Jika kapas itu tidak terdapat bercak sedikit pun, dan
benar-benar bersih, maka wajib mandi dan shalat.
Sebagaimana
disebutkan bahwa dahulu para wanita mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha
dengan menunjukkan kapas yang terdapat cairan kuning, dan kemudian Aisyah
mengatakan :
لاَ تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ القَصَّةَ البَيْضَاءَ
“Janganlah
kalian terburu-buru sampai kalian melihat gumpalan putih.” (Atsar ini terdapat dalam Shahih
Bukhari).
B.
NIFAS
Nifas
adalah darah yang keluar dari rahim wanita setelah seorang wanita melahirkan.
Darah ini tentu saja paling mudah untuk dikenali, karena penyebabnya sudah
pasti, yaitu karena adanya proses persalinan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
mengatakan bahwa darah nifas itu adalah darah yang keluar karena persalinan,
baik itu bersamaan dengan proses persalinan ataupun sebelum dan sesudah
persalinan tersebut yang umumnya disertai rasa sakit. Pendapat ini senada
dengan pendapat Imam Ibnu Taimiyah yang mengemukakan bahwa darah yang keluar
dengan rasa sakit dan disertai oleh proses persalinan adalah darah nifas,
sedangkan bila tidak ada proses persalinan, maka itu bukan nifas.
Batasan
nifas :
Tidak ada
batas minimal masa nifas, jika kurang dari 40 hari darah tersebut berhenti maka
seorang wanita wajib mandi dan bersuci, kemudian shalat dan dihalalkan atasnya
apa-apa yang dihalalkan bagi wanita yang suci. Adapun batasan maksimalnya,
para ulama berbeda pendapat tentangnya.
- Ulama Syafi’iyyah mayoritas berpendapat bahwa umumnya masa nifas adalah 40 hari sesuai dengan kebiasaan wanita pada umumnya, namun batas maksimalnya adalah 60 hari.
- Mayoritas Sahabat seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Aisyah, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhum dan para Ulama seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, At-Tirmizi, Ibnu Taimiyah rahimahumullah bersepakat bahwa batas maksimal keluarnya darah nifas adalah 40 hari, berdasarkan hadits Ummu Salamah dia berkata, “Para wanita yang nifas di zaman Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, mereka duduk (tidak shalat) setelah nifas mereka selama 40 hari atau 40 malam.” (HR. Abu Daud no. 307, At-Tirmizi no. 139 dan Ibnu Majah no. 648). Hadits ini diperselisihkan derajat kehasanannya. Namun, Syaikh Albani rahimahullah menilai hadits ini Hasan Shahih. Wallahu a’lam.
- Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batasan maksimal masa nifas, bahkan jika lebih dari 50 atau 60 hari pun masih dihukumi nifas. Namun, pendapat ini tidak masyhur dan tidak didasari oleh dalil yang shahih dan jelas.
Wanita
yang nifas juga tidak boleh melakukan hal-hal yang dilakukan oleh wanita haid,
yaitu tidak boleh shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan berhubungan
intim dengan suaminya pada kemaluannya. Namun ia juga diperbolehkan
membaca Al-Qur’an dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan pembatas
atau dengan menggunakan media elektronik seperti komputer, ponsel, ipad, dll),
berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada
kemaluannya.
Tidak
banyak catatan yang membahas perbedaan sifat darah nifas dengan darah haid.
Namun, berdasarkan pengalaman dan pengakuan beberapa responden, umumnya darah
nifas ini lebih banyak dan lebih deras keluarnya daripada darah haid, warnanya
tidak terlalu hitam, kekentalan hampir sama dengan darah haid, namun baunya
lebih kuat daripada darah haid.
C.
ISTIHADHAH
Istihadhah
adalah darah yang keluar di luar kebiasaan, yaitu tidak pada masa haid dan
bukan pula karena melahirkan, dan umumnya darah ini keluar ketika sakit,
sehingga sering disebut sebagai darah penyakit. Imam Nawawi rahimahullah
dalam Syarah Muslim mengatakan bahwa istihadhah adalah darah yang mengalir dari
kemaluan wanita yang bukan pada waktunya dan keluarnya dari urat.
Sifat
darah istihadhah ini umumnya berwarna merah segar seperti darah pada umumnya,
encer, dan tidak berbau. Darah ini tidak diketahui batasannya, dan ia hanya
akan berhenti setelah keadaan normal atau darahnya mengering.
Wanita
yang mengalami istihadhah ini dihukumi sama seperti wanita suci, sehingga ia
tetap harus shalat, puasa, dan boleh berhubungan intim dengan suami.
Imam Bukhari
dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha :
جَاءَتَ فاَطِمَةُ بِنْتُ اَبِى
حُبَيْشٍ اِلَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَلَتْ ياَرَسُوْلُ
اللهِ اِنِّى امْرَاَةٌ اُسْتَحَاضُ فَلاَ اَطْهُرُ، اَفَاَدَعُ الصَّلاَةَ؟
فَقَالَ ياَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ، اِنَّمَا ذَلِكَ
عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ فَاِذَااَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَاتْرُكِى
الصَّلاَةَ، فَاِذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا فاَغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى
Fatimah
binti Abi Hubaisy telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wania yang
mengalami istihadhah, sehingga aku tidak bisa suci. Haruskah aku meninggalkan
shalat?” Maka jawab Rasulullah SAW: “Tidak, sesungguhnya itu
(berasal dari) sebuah otot, dan bukan haid. Jadi, apabila haid itu datang,
maka tinggalkanlah shalat. Lalu apabila ukuran waktunya telah habis, maka
cucilah darah dari tubuhmu lalu shalatlah.”
Wallahu
a’lam.
Sumber / Maraji’
:
- Fiqhus Sunnah lin Nisaa’ – Kamal bin As-Sayyid Salim
- Fatawa Al-Mar’ah Muslimah
- Majmu’ Fatawa Arkanil Islam – Syaikh Ibnu Utsaimin
- Ahkamuth Thaharah ‘inda An-Nisaa’ ‘ala Madzhab Imam Asy-Syafi’i – Munir bin Husain
No comments:
Post a Comment