Tuesday, May 26, 2015
Dinasti Abbasiah
KATA PENGANTAR
Puji syukur bagi Allah, Tuhan yang
tak sesuatu pun mampu melemahkan-Nya. Shalawat dan salam yang tak terhingga,
semoga senantiasa dilimpahkan kepada Rasulullah Saw., keluarga, dan para sahabat
beliau, serta seluruh kaum muslimin hingga hari kebangkitan.
Tidak ada sejarah yang lengkap.
Begitulah fakta dunia manapun. Kita hanya dapat mengalami sesuatu kejadian dari
sebagian totalitas kejadian itu. Karena itu, tidak salah apabila ada yang mengatakan,
sejarah berulang dan kita perlu belajar sejarah. Dalam hal ini,
penulis mencoba untuk belajar mengenai sejarah islam yang berawal dari mata
kuliah SKI di Sekolah Tingggi Agama Islam Muhammadiyah (STAIM) Klaten. Dengan
mata kuliah ini, penulis mendapat tugas untuk menyusun sebuah makalah dengan
pembahasan “Bani Abbasiah”.
Penulis harap, dengan proses belajar
pembuatan makalah dan pembahasan mengenai kekhalifahan Bani Abbasiah ini dapat
memberi secercah ilmu untuk penulis. Tentu saja, dalam penyusunan makalah ini
banyak terdapat kekurangan dan kesalahan. Maka dari itu, penulis mengharapkan
saran dan kritik dari pembaca untuk menyempurnakan makalah yang penulis buat.
Semoga dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Aamiin.
Klaten, 27 Oktober 2013
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
................................................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................
ii
DAFTAR ISI
..........................................................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN
.......................................................................................................................
1
A.
LATAR
BELAKANG
..........................................................................................................
1
B.
RUMUSAN
MASALAH
.....................................................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN
........................................................................................................................
2
A.
BERDIRINYA
DINASTI ABBASIAH
................................................................................
2
B.
KEMAJUAN
DINASTI ABBASIAH
..................................................................................
3
C.
KEMUNDURAN
DINASTI ABBASIAH
........................................................................... 9
D.
SEBAB-SEBAB
KEHANCURAN DINASTI ABBASIAH .............................................. 10
E.
KARAKTER
KEKHALIFAHAN ABBASIAH .................................................................
11
BAB III PENUTUP
...............................................................................................................................
12
A.
KESIMPULAN
...................................................................................................................
12
B.
SARAN
...............................................................................................................................
12
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................................
13
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Nabi Muhammad saw., setelah resmi diangkat menjadi
Rasulullah, menyebarkan ajaran Agama Islam di Jazirah Arab dengan cara
sembunyi-sembunyi, setelah pengikut Agama Islam telah banyak dari keluarga
terdekat Nabi dan sahabat, maka turun perintah Allah untuk menyebarkan Islam
secara terang-terangan. Namun dalam penyebarannya tidak berjalan mulus, Rasulullah dalam menyebarkan
Islam mendapatkan tantangan dari suku Quraisy . Islam disebarkan dan
dipertahankan dengan harta dan jiwa oleh para penganutnya yang setia membela
Islam meski harus dengan pertumpahan darah dalam peperangan, sehingga Islam
dapat berkembang dalam waktu yang relatif singkat.
Sepeninggal
Rasulullah saw., kepemimpinan Islam dipegang oleh Khulafā’ al-Rāsyidīn. Pada masa ini Islam mengalami kemajuan yang
sangat pesat, bahkan telah meluas ke
seluruh Wilayah Arab. Meskipun Islam telah
berkembang pada masa ini, namun juga
banyak mendapat tantangan dari luar dan dalam Islam sendiri. Seperti pada masa
khalifah Ali bin Abi Thalib banyak terjadi pemberontakan di daerah hingga
terjadi perang saudara. Salah satu perang dimasa Ali bin Abi Thalib ialah
peperangan antara Muawiyah dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang menghasilkan
abitrase, sehingga Muawiyah menggantikan posisi Ali bin Abi Thalib. Dampak yang
ditimbulkan dari abitrase ini adalah pengikut
Ali bin Abi Thalib bersepakat untuk membunuh Ali bin Abi Thalib dan
Muawiyah karena dianggap telah kafir dan halal dibunuh. Dalam rencana
pembunuhan ini, hanya Ali bin Abi Thalib yang berhasil dibunuh.
Berakhirlah masa Khulafā’
al-Rāsyidīn dan digantikan oleh pemerintahan Dinasti Umayyah dibawah
pimpinan Muawiyah bin Abi Sofyan. Pada masa
pemerintahan Dinasti Umayyah, Islam semakin berkembang dalam segala aspek
hingga perluasan daerah kekuasaan.
Setelah pemerintahan
Dinasti Umayyah berakhir, maka pemerintahan Islam digantikan oleh pemerintahan
Dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti kedua dalam sejarah
pemerintahan Umat Islam. Abbasiyah dinisbatkan kepada al-Abbas paman Nabi
Muhammad saw. Dinasti ini berdiri sebagai bentuk dukungan terhadap pandangan
yang diserukan oleh Bani Hasyim setelah wafat
Rasulullah saw., yaitu menyandarkan khilāfah
kepada keluarga Rasulullah dan kerabatnya.
B. RUMUSAN MASALAH
- Bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah ?
- Seperti apa kemajuan masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah ?
- Apa faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah ?
- Hal-hal apa sajakah yang menyebabkan kehancuran Dinasti Abbasiah ?
- Bagaimana karakter kekhalifahan Bani Abbasiyah ?
1
BAB II
KEKHALIFAHAN ABBASIAH
A.
Berdirinya Dinasti Abbasiah
Nama Dinasti
Abbasiah diambil dari nama salah seorang dari paman Nabi Muhammad SAW yang
bernama al-Abbas ibn Abd al-Muttalib ibn Hasyim. Orang Abbasiah
merasa lebih berhak dari pada Bani Umayah atas Kekhalifahan Islam, sebab
mereka adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih
dekat dengan Nabi. Menurut mereka, orang Umayah secara paksa menguasai khilafah
malalui tragedi perang Siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti
Abbasiah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa melakukan pemberontakan
terhadap Dinasti Umayah.
Telah
dijelaskan, bahwa saat Kekhilafahan Umayah dipegang Umar II, gerakan bahwa
tanah yang merupakan rival politiknya menyusun kekuatan. Salah satu kekuatan
politik model Umayah adalah para pengikut Nabi dari keturunan
Bani Abbas. Akan tetapi, sebagai sarana propaganda, mereka tidak menyebutkan diri sebagai keluarga Abbas,
namun menggunakan jargon dan simbol Bani Hasyim. Dengan demikian mereka dapat
merangkul baik kelompok Syi’ahtu Ali
maupun Syi’ahtu Abbas. Kedua kelompok inilah yang pada akhirnya melandasi
berdirinya Kekhalifahan Abbasiah.
Telah disebutkan,
bahwa pertempuran tersebut terjadi pada Februari 750 M. Dalam peperangan di
Dzab II, gerakan Abbasiah mencapai hasil, dengan mengalahkan Khalifah Marwan II
yang melarikan diri ke Mesir. Tahun itu juga, di Masjid Kufah (Irak) Abu
al-‘Abbas al-Saffah mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah pertama
Dinasti Abbasiah. Setelah menjadi
khalifah, Abu al-Abbas bergelar al-Saffah (penumpah darah/peminum darah)
mengeluarkan dekrit kepada para gubernur, supaya tokoh-tokoh Umayah (kecuali
Umar II) dan tulang-tulangnya pun dibakar. Oleh karena itu, rakyat
Damaskus, Harran, Hims, Kinnisirin,
Jeruzalem, dan daerah lainnya memberontak. Api pemberontakan itu dipadamkan
dengan tangan besi oleh rezim Saffah (Brocklmaan,
1949:100-107, dan Karim, 1972:265-267).
Sebelum
Saffah wafat (754 M), ia mengangkat saudaranya, Abu Ja’far, sebagai
penggantinya. Semula ibu kota pemerintahan dipusatkan di Ambar, dengan nama
istana negaranya, al-Hasyimiah. Setelah Mansur memerintah, ia memindahkan ibu
kotanya Baghdad, hal ini dikarenakan Ambar terletak diantara Syam dan Kufah
yang selalu dapat ancaman dari kaum Syi’ah, maka pusat pemerintahan
dipusatkan di daerah yang lebih aman, Baghdad (762 M) dengan nama Dar al-Salam (Ali, 1976:473). Demi keamanan dari lawan politiknya seperti
orang Rawandiah, maka Mansur membangun sebuah kota yang indah dan aman di tepi
sungai Tigris, kemudian dijadikan sebagai ibu kota baru abbasiah hingga akhir
periode dinasti ini.
Baik Saffah
maupun Mansur merupakan khalifah yang dikenal sebagai pembunuh massal, bahkan
keduanya juga menyingkirkan para rival politiknya. Misalnya,
panglima dan pemenang perang di Dzab II, abdullah ditangkap dan setelah tujuh
tahun berada di penjara selanjutnya dibunuh Mansur. Kelompok Syi’ah yang lain
yang telah banyak membantu bagi proses berdirinya dinasti ini di bawah pimpinan
Abu Muslim Khurasani. Ia merupakan sang proklamator pertama Dinasti Abbasiah di
Khurasan (747 M) yang pernah membunuh sekitar 600.000 orang Umayah demi
berdirinya kekuasaan Abbasiah. Akan tetapi, ia dicurigai Mansur sebagai pesaing
politik, di samping itu menurut catatan Hugh Knnedy, The Early Abbasid Caliphate, hlm. 58:sebab Khurasani tidak mau tunduk kepada
khalifah dan tidak mau membagi kekuasaannya dengan Baghdad, maka ia dipanggil
dan dibunuh saat bertemu dengan Mansur. Selain itu Mansyur juga merasa adanya
ancaman dari sekte Syi’ah yang enggan tunduk kepadanya dan rakyat yang kecewa
dengan pemerintahan baru.
Selain kedua
rival itu, pemimpin karismatis sekte Syi’ah, Muhammad ibn Abdullah ibn Hasan ibn
Ali, yang terkenal dengan sebutan Imam Nafs al-Zakiyah telah bersumpah setia
dalam acara pertemuan dengannya dijanjikan oleh Saffah dan Mansur sebagai imam dan kepala negara, kepadanya
sebagai imam dan akan diangkat sebagai khalifah setelah runtuhnya Bani Umayah.
Rakyat Hijaz dan Yaman mengakuinya sebagai khalifah mereka termasuk Imam Abu
Hanifah dan Imam Malik menyatakan “Nafs al-Zakiyah sebagai khalifah yang sah”.
Akan tetapi, justru dibunuh oleh Mansur. Demikian pula nasib saudaranya,
Ibrahim juga tela dibunuh Mansur, di mana kedua saudara yang dihormati banyak
orang baik kalangan Syi’ah maupun bukan Syi’ah (Brocklmaan,1949:107-101). Meskipun
Mansur tidak menghormati Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, mereka disiksa dan
dipenjarakan, namun Mansurlah yang banyak membantu menetapkan secara formal
mazhab Sunni. Di sinilah ia abadi di kalangan ahl al-sunnah wa al-Jama’ah.
Mansur tidak diam disitu saja,
2
setelah kedua saudara itu
disingkirkan dari gelanggang politik, ia juga membunuh di muka umum secara masal
keluarga Ali, Hasan, Husen, simpatisan dan para pengikutnya. Bukan hanya itu,
ia membatalkan keputeramahkotaan ‘Isa, pilihan Saffah dan mengangkat puteranya,
Mahdi sebagai putera mahkota baru.
Pada masa
khalifah Mansur dalam bidang politik, negara cukup stabil dan maju, setelah ia
memadamkan api pemberontakan termasuk gerakan Ustadsis di Herat yang menyatakan
dirinya sebagai nabi, menguasai Khurasan dan Sizistan yang sangat luas. Ia
ditangkap dan dibawa ke Baghdad. Sebuah cerita yang melukiskan, bahwa Harun
al-Rasyid menikahi putri Ustadsis yang melahirkan al-Ma’mun. Di Afrika utara
Berber dan Khawarij yang semula ikut barisan berdirinya Abbasiah untuk
menggulingkan Umayah, karena mereka berfaham demokratis dan menganggap
kekhalifah tidak hanya harus dari golongan tertentu (Quraisy), akan tetapi
boleh saja dari suku dan bangsa mana pun asal memenuhi syarat. Akhirnya kecewa
dengan sikapMansur yang satu persatu menyingkirkan tokoh-tokoh yang berjasa
guna mengembangkan Dinasti Umayah untuk mendirikan Dinasti Abbasiah. Pada
akhirnya, mereka menarik dukungan dan mengganggu kestabilan politik Abbasiah.
Mereka juga kecewa dengan sikap abbasiah terhadap mereka yang berat sebelah
dengan orang persia. Gerakan dan pemberontakan baik Berber maupun Khawarij
dapat dipadamkan di bawah panglima merangkap amir, Yazid ibn Hasan
al-Muhallab (772 M) yang berhasil menguasai Qayrawan, sebagai pusat politik
Islam di Afrika Utara.
Al-Mansur
adalah khalifah terbesar Dinasti Abbasiah. Meskipun bukan orang muslim yang
saleh, dialah sebenarnya, yang benar-benar membangun dinasti baru ini. Seluruh
khilafah yang berjumlah 35 orang berasal dari garis keturunannya.
Dinasti Abbasiah, seperti halnya
dinasti lain dalam sejarah islam, mencapai masa kejayaan politik dan
intelektual mereka segera setelah didirikan. Kekhalifahan Baghdad yang
didirikan oleh As-Saffah dan Al-Mansur mencapai masa keemasannya antara masa
khalifah ketiga, Al Mahdi dan khalifah ke sembilan, Al Wastiq, dan lebih khusus
lagi pada masa Harun Ar Rasyid dan anaknya Al Ma’mun. Karena kehebatan dua
khalifah itulah, Dinasti Abbasiah memiliki kesan baik dalam ingatan publik, dan
menjadi dinasti paling terkenal dalam sejarah islam. Diktum yang dikutip oleh
seorang penulis antologi, Ats Tsa’alabi (w. 1038) bahwa dari para khalifah Abbasiah
“sang pembuka” adalah Al-Mansyur, “sang penengah” adalah Al Ma’mun, dan “sang
penutup” adalah Al-Mu’tadhid (892-902).
B.
Kemajuan Dinasti Abbasiah
Masa
ini adalah masa keemasan atau masa kejayaan umat Islam sebagai pusat dunia
dalam berbagai aspek peradaban. Kemajuan itu hampir mencakup semua aspek
kehidupan :
a.
Administrasi
pemerintahan dengan biro – bironya
b.
System
organisasi militer
c.
Administrasi
wilayah pemerintahan
d.
Pertanian,
perdagangan, dan industry
e.
Islamisasi
pemerintahan
f.
Kajian dalam
bidang kedokteran, astronomi, matematika, geografi, historiografi, filsafat
Islam, teologi, hokum ( fiqh ), dan etika Islam, sastra, seni, dan penerjemahan
g.
Pendidikan,
kesenian, arsitektur, meliputi pendidikan dasar ( kuttab ), menengah, dan
perguruan tinggi ; perpustakaan dan toko buku, edia tulis, seni rupa, seni
music, dan arsitek.
Ciri-ciri yang menonjol Dinasti
Abbasiah yang tidak terdapat di jaman Bani Umayah:
1.
Dengan
berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari
pengaruh Arab. Sedangkan Bani Umayah sangat berorientasi kepada Arab.
2.
Delam
penyelenggaraan negara, pada masa Bani
Abbas ada jabatan Wazir. Jabatan ini tidak ada dalam pemerintahan Bani Umayah.
3.
Ketentaraan
profesional baru terbentuk pada masa pemerintah Bani Abbas, sebelumnya belum
ada tentara khusus yang profesional.
Rincian berbagai kemajuan tersebut,
dapat dilihat dari pertemuan Philip K. Hitti9) sebagai berikut :
1. Biro - Biro
Pemerintahan Abbasiyah
Dalam menjalankan
system teknis pemerintahan, Dinasti Abbasiyah memiliki kantor pengawas ( dewan az- zimani ) yang pertama kali
diperkenalkan oleh Al – Mahdi ; dewan korespondensi atau
3
kantor arsip ( dewan attwqi ) yang menangani semua sura resmi, dokumen politik
serta instruksi dan ketetapan khalifah; dewan penyelidik keluhan; departemen
kepolisian dan pos. dewan penyelidik keluhan ( dewan an- nazhar fi al – mazhalini ) adalah sejenis pengadilan
tingkat banding, atau pengadilan tinggi untuk menangani kasus – kasus yang
diputuskan secara keliru pada departemen administratif dan politik. Cikal bakal
dewan ini dapat dilacak pada masa Dinasty Umayah, karena Al – Mawardi
meriwayatkan bahwa Abd Al – Malik adalah khalifah pertama yang menyediakan satu
hari khusus untuk mendengar secara langsung permohonan dan keluhan rakyatnya.
Umar II meneruskan praktik tersebut. Praktik itu kemudian diperkenalkan oleh Al
– Mahdi ke dalam pemerintahan Dinasty Abbasiyah. Penggantinya, Al – Hadi,
Harun, Al – Ma’mun dan khalifah selanjutnya menerima keluhan itu dalam sebuah
dengar public; Al – Muhtadi ( 869 – 870 ) adalah khalifah terakhir yang
memlihara kebiasaan tersebut. Raja Normandia, Roger II, ( 1130 – 1154 )
memperkenalkan l;embaga tersebut ke Sisilia, yang kemudian mengakar di daratan
Eropa.
2. System Militer
System militer
terorganisasi dengan baik, berdisiplin tinggi, serta mendapat pelatihan dan
pengajaran secara regular. Pasukan pengawal khalifah ( hams ) mungkin merupakan
satu – satunya pasukan tetap yang masing -masing mengepalai sekelompok pasukan.
Selain mereka, ada juga pasukan bayaran dan sukarelawan, serta sejumlah pasukan
dari berbagai suku dan distrik. Pasukan tetap (jund) yang bertugas aktif disebut murtaziqah (pasukan yang dibayar secara berkala oleh pemerintah).
Unit pasukan lainnya disebut muta-thawwi’ah
(sukarelawan), yang hanya menerima gaji ketika bertugas. Kelompok sukarelawan
ini direkrut dari orang badui, para petani dan orang kota. Pasukan pengawal istana
memperoleh bayaran lebih tinggi, bersenjata lengkap, dan berseragam. Pada
masa-masa awal pemerintahan khalifah Dinasti Abbasiyah, rata-rata gaji pasukan
infanteri, di samping gaji dan santunan rutin sekitar 960 dirham per tahun,
pasukan kavaleri menerima dua kali lipat dari itu.
3. Wilayah
Pemerintahan
Pembagian wilayah
kerajaan Umayah ke dalam provinsi yang dipimpin oleh seorang gubernur (tunggal amir atau ‘amil) sama dengan pola pemerintahan pada kekuasaan Bizantium dan
Persia. Pembagian ini tidak mengalami perubahan berarti pada masa Dinasti
Abbasiyah. Provinsi Dinasti Abbasiyah mengalami perubahan dari masa ke masa ke
masa, dan klasifikasi politik juga tidak selalu terkait dengan klasifikasi
geografis, seperti yang terekam dalam karya Al-Ishtharkhri, Ibn Hawqal, Ibn
Al-Faqih, dan karya-karya sejenis. Berikut ini merupakan provinsi-provinsi
utama pada masa awal kekhalifahan Baghdad : 1) Afrika di sebelah barat Gurun
Libya bersama dengan Sisilia; 2) Mesir; 3) Suriah dan Palestina, yang terkadang
dipisahkan; 4) Hijaz dan Yamamah (Arab Tengah); 5) Yaman dan Arab Selatan; 6)
Bahrain dan Oman, dengan Bashrah dan
Irak sebagai ibukotanya; 7) Sawada tau Irak (Mesopotamia bawah), dengan kota
utamanya setelah Baghdad, yaitu Kufah dan Wash; 8) Jazirah (yaitu kawasan
Assyiria Kuno, bukan Semenanjung Arab), dengan ibukota Mosul; 9) Azerbaijan,
dengan kota-kota besarnya, seperti Ardabil, Tibriz dan Maraghah; 10) Jibal
(perbukitan, Media Kuno), kemudian dikenal dengan Irak Ajami (Iraknya orang
Persia), dengan kota utamanya adalah Ramadan.
4. Perdagangan
Dan Industri
Sejak masa khalifah
kedua Abbasiyah, Al-Manshur, sumber Arab paling awal yang menyinggung tentang
hubungan maritim Arab dan Persia dengan India dan Cina berasal dari laporan
perjalanan Sulaiman At-Tajir dan para pedagang muslim lainnya pada abad ke 3
Hijriah. Tulang punggung perdagangan ini adalah sutra, kontribusi terbesar
orang Cina kepada dunia barat. Biasanya, jalur perdagangan yang disebut “jalan
sutra” menyusuri Samarkand dan Turkistan Cina, sebuah wilayah yang
kini tidak banyak dilalui disbanding wilayah-wilayah dunia lainnya yang
sudah dihuni dan berperadaban. Barang-barang dagangan biasanya diangkut secara
estafet, hanya sedikit khalifah yang menempuh sendiri perjalanan sejauh itu.
Akan tetapi, hubungan diplomatik telah dibangun sebelum orang Arab terjun ke
dunia perdagangan. Diriwayatkan bahwa
Sa’d Ibn Abi Waqqash, penakluk Persia menjadi duta yang dikirim
Nabi ke Cina. “Makam” Sa’d masih bisa
ditemukan di Kanton. Tulisan-tulisan tertentu pada monumen Cina lama tentang
agama Islam di Cina jelas merupakan tulisan palsu yang dibuat oleh para tokoh agama. Pada pertengahan
abad ke-8 telah dilakukan pertukaran duta. Dalam catatan Cina abad itu, kata amir al-muminin diucapkan dengna hanmi mo mo ni oleh Abu Al-Abbas,
khalifah Dinasti Abbasiyah pertama, A bo
lo ba; dan Harun, A lun.
5
Pada masa khalifah-khalifah itu
terdapat sejumlah orang Islam yang menetap di Cina. Pada mulanya, orang Islam
itu dikenal dengan sebutan Ta syih
dan kemudian Hui Hui (pengikut
Muhammad).
Di sebelah barat,
para pedagang Islam telah mencapai Maroko dan Spanyol. Seribu tahun
sebelum de Lesseps,
Khalifah Harun mengemukakan gagasan tentang menggali kanal di sepanjang
Ists-mus di Suez. Namun, perdagangan di Mediterania Arab tidak pernah mencapai
kemajuan yang berarti. Laut Hitam juga tidak bisa mendukung perdagangan
maritime, meskipun pada abad ke-10 telah dilakukan perdagangan singkat melalui
darat ke utara dengan orang yang tinggal di kawasan Valda. Namun, karena
jaraknya yang dekat dengan pusat kota Persia dan kota-kota makmur di Samarkand
dan Bukhara, Laut Kaspia menjadi titik pertemuan dagang yang favorit. Para
pedagang muslim membawa kurma, gula, kapas, dan kain wol juga peralatan dari
baja dan gelas.
Pada masa Abbasiyah,
orang-orang justru mampu mengimpor barang dagangan, seperti rempah-rempah,
kapur barus, dan sutra dari kawasan Asia yang lebih jauh, juga mengimpor
gading, kayu eboni dan budak kulit hitam dari Afrika. Gambaran tentang jumlah
keuntungan yang diperoleh Rothschild dan Rockefeller pada abad tersebut mungkin
juga telah diraih oleh seorang penjual permata dari Baghdad, Ibn Al-Jashshash,
yang tetap kaya meskipun Al-Muqtadir telah menyita hartanya sebesar 16 juta
dinar, dan menjadi keluarga pertama yang dikenal sebagai pengusaha permata.
Para pengusaha dari Bashrah yang membawa dagangannya dengan kapal laut ke
berbagai negeri yang jauh, masing-masing membawa muatan bernilai lebih dari
satu juta dirham. Seorang pemilik penggilingan di Bashrah dan Baghdad yang
tidak berpendidikan mampu berderma untuk orang miskin sebesar seratus dinar per
hari, dan kemudian diangkat oleh Al Mu’tashim menjadi wazirnya.
Tingkat aktivitas
perdagangan semacam itu didukung pula oleh pengembangan industri rumah tangga
dan pertanian yang maju. Industri kerajinan tangan menjamur di berbagai pelosok
kerajaan. Daerah Asia Barat menjadi pusat industry karpet, sutra, kapas dan
kain wol, satin dan brokat (dibaj),
sofa (dari bahasa Arab, suffah) dan
kain pembungkus bantal, juga perlengkapan dapur dan rumah tangga lainnya. Mesin
penganyam Persia dan Irak membuat karpet dan kain berkualitas tinggi. Ibu
Al-Musta’in memiliki sehelai karpet yang dipesan khusus seharga 130 juta dirham
dengan corak berbagai jenis burung dari emas yang dihiasi batu rubi dan
batu-batuan indah lainnya. Sebuah pusat industry di Baghdad yang namanya
diambil dari nama seorang pangeran Umayyah, Attab, member merek kain buatannya
dengan ‘attabi yang pertama kali dibuat disana pada abad ke-12. Kain tersebut ditiru
oleh perajin Arab di Spanyol, dan terkenal di Perancis, Italia dan negara Eropa
lainnya dengan nama tabi. Istilah
tersebut kemudian berubah menjadi tabby,
yang merujuk pada seekor kucing yang unik dan berwarna. Kufah memproduksi kain
sutra atau separuh sutra untuk penutup kepala yang masih digunakan hingga
sekarang dengan nama kuftyah. Tawwaj,
Fasa dan kota-kota lainya di Paris memiliki sejumlah pabrik kelas satu yang
membuat barang semacam itu dikenal sebagai thiraz
(dari bahasa Persia) yang memuat nama atau kode sultan.
5. Perkembangan
Bidang Pertanian
Bidang pertanian maju
pesat pada awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah karena pusat pemerintahannya
berada di daerah yang sangat subur, di tepian sungai yang dikenal dengan nama
Sawad. Pertanian merupakan sumber utama pemasukan Negara dan pengolahan tanah
hampir sepenuhnya dikerjakan oleh penduduk asli, yang statusnya mengalami
peningkatan pada masa rezim baru. Lahan-lahan pertanian yang terlantar, dan
desa-desa yang hancur di berbagai wilayah kerajaan diperbaiki dan dibangun
kembali secara bertahap. Daerah rendah di lembah Tigris-Efrat, yang merupakan
daerah terkaya setelah Mesir, dan dipandang sebagai surge Aden, mendapat
perhatian khusus dari sungai Efrat, dan membuat saluran irigasi baru sehingga
membentuk sebuah “jaringan yang sempurna”. Ada 113 Kanal besar pertama, yang
disebut Nahr ‘Isa setelah digali
kembali oleh keluarga Al-Manshur, menghubungkan aliran sungai Efrat di Anbar
sebelah barat laut dengan sungai Tigris di Baghdad. Salah satu cabang utama Nahr
‘Isa adalah Sharah. Kanal terbesar kedua adalah Nahr Sharshar, yang bertemu
dengan sungai Tigris di daerah Madain. Kanal ketiga adalah Nahr Al-Malik
(“sungai raja”) yang tersambung ke sungai Tigris di bawah Madain. Di bawah dua
sungai itu terdapat Nahr Kutsa dan Sharah Besar, yang mengairi sejumlah
saluran. Kanal lainnya, Dujayl (sungai yang lebih kecil dari Diljah, Tigris),
yang awalnya menghubungkan Tigris dan Efrat, semakin dangkal pada abad ke-10,
dan nama itu kemudian menjadi nama kanal baru berbentuk oval, yang merupakan
cabang dari sungai Tigris di bawah Kadisiyah dengan membuat beberapa cabang
lain sebelum akhirnya bertemu kembali dengan sungai Tigris.
7
Kanal lainnya yang
kurang penting adalah Nahr Ash-Shilah
yang digali di Wash oleh Al-Mahdi. Para
ahli geografi Arab menyebutkan beberapa khalifah yang “menggali” atau “membuka”
“saluran” yang dalam kebanyakan kasus, sebenarnya ada sebelumnya sejak masa
Babilonia. Di Irak dan Mesir, yang dilakukan adalah mengaktifkan kembali jaringan
kanal lama. Bahkan, sebelum Perang Dunia Pertama, Sir William Willcock yang
ditugaskan oleh pemerintahan Utsmani untuk mengkaji persoalan irigasi di Irak,
merekomendasikan untuk membuka lagi aliran sungai yang lama, daripada membangun
kanal – kanal baru.
Tanaman asli Irak
terdiri atas gandum, padi, kurma, wijen, kapas, dan rami. Daerah yang sangat
subur berada di bantaran tepian sungai ke selatan, Sawad, yang menumbuhkan
berbagai jenis buah dan sayuran, yang tumbuh di daerah panas maupun dingin. Kacangn
, jeruk, terong, tebu, dan beragam bunga, seperti bunga mawar dan violat juga
tumbuh subur.
6. Islamisasi
Masyarakat
Sebanyak 5.000 orang
Kristen Banu Tanukh di dekat Alleppo mengikuti perintah Khlifah Al – Mahdi
untuk masuk Islam. Proses konversi secara normal berjalan lebih gradual, damai,
bersifat pasti. Kebanyakan konversi yang dilakukan oleh penduduk taklukan
didorong oleh motif kepentingan individu, agar terhindar dari pajak dan
sejumlah aturan lain yang membatasi, agar mendapat prestise social dan pengaryh
politik, serta menikmati kebebasan dan keamanan yang lebih besar. Penduduk
Persia baru beralih ke agama Islam. Sebelumnya mereka menganut Zoroaster.
7. Bidang
Kedokteran
Dari tulisan Ibn
Maskawayh, kita mendapatkan sebuah risalah sistematik berbahasa Arab paling tua
tentangn optalmologi. Belakangan ini, sebuah buku berjudul Al – ‘ Asyr Maqalat
fi Al – ‘Ayn ( Sepuluh Risalah tentang Mata ) yang dianggap sebagai karya
muridnya, Hunayn ibn Ishaq, telah diterbitkan dalam bahasa Inggris sebagai buku
teks tentang optamologi paling awal yang kita miliki. Minat orang arab terhadap
ilmu kedokteran diihami oleh Hadits Nabi yang membagi pengetahuan ke dalam dua
kelompok : teologi dan kedokteran. Dengan demikian, seorang dokter sekaligus
merupakan seorang teolog.
Ali ibn Al – Abbas (
Haly Abbas, w. 994 ) yang walnya menganut ajaran Zoroaster, sebagaimana
terlihat dari namanya, Al – Majusi, dikenal sebagai penulis buku Al – Kitab Al
– Maliki ( buku Raja, Liber regius ), yang ia tulis untuk Raja Buwayhi, Adhud
Ad – Dawlah Fanna Khusraw, yang memerintahkan antara 949 hingga 983. Karya ini
yang disebut juga Kamil Ash Shind’ah Ath – Thibbiyah, sebuah “ kamus penting
yang meliputi pengetahuan dan praktik kedokteran “.
Nama paling terkenal
dalam catatan kedokteran Arab setelah Ar – Razi adalah Ibn Sina ( Avicenna,
yang masuk ke bahasa Latin melalui bahasa Ibrani, Aven Sina, 980 – 1037 ), yang
disebut oleh orang Arab sebagai Asy Syaikh Ar – Ra’is, “ pemimpin “ ( orang
terpelajar ) dan “ pangeran “ ( para pejabat ). Ar- Razi lebih menguasai
kedokteran dari pada Ibn Sina, sedangkan Ibn Sina lebih menguasai filasafat
dari pada Ar – Razi. Dalam diri seorang dokter, filosof, penyair inilah , ilmu
pengetahuan Arab mencapai titik puncajnya dan berinkranasi.
Di antara karya –
karya ilmiahnya, dua buku yang paling unggul adalah Kitab Asy _ Syifa’ ( buku
tentang penyembuhan ), sebuah buku ensklopedia filsafat yang didasarkan atas
tradisi Aristotelian yang telah dipengaruhi oleh neo – Platonisme dan teologi
Islam, serta Al – Qanun fi Ath – Thibb, yang merupakan kodifikasi pemikiran
kedokteran Yunani – Arab. Teks berbahasa Arab dari buku Al – Qanun diterbitkan
di Roma pada 1593, dan kemudian menjadi salah satu buku berbahasa Arab tertua
yang pernah diterbitkan. Diterjemahkan ke bahasa Latin oleh Gerard dari Cremona
pada abad ke 12, buku tersebut dengan seluruh kandungan ensklopedisnya,
susunannya yang sistematis, dan penuturannya yang filosofis, sehera menempati
posisi penting dalam literature kedokteran masa itu, menggantikan karya – karya
Galen, Ar – Razi dan Al – Majusi serta menjadi bukuteks pendidikan kedokteran
di sekolah – sekolah Eropa.
8. Pendidikan,
Perpustakaan Dan Toko Buku
Lembaga pendidikan
Islam pertama untuk pengajaran yang lebih tinggi tingkatannya adalah Bait Al –
Hikmah ( Rumah Kebijakan ) yang didirikan oleh Al – Ma’mun ( 830 M ) di Baghdad, ibukota Negara. Selain
berfungsi sebagai biro penerjemahan, lembaga ini juga dikenal sebagai pusat
kajian akademis dan perpustakaan umum, serta memiliki sebuah observatorium.
Pada saat itu, observatorium – observatorium yang banyak bermunculan juga
berfungsi sebagai pusat – pusat pembelajaran astronomi.
8
Fungsi lembaga itu
persis sama dengan rumah sakit, yang pada awal kemunculannya sekaligus berfungsi sebagai pusat pendidikan kedokteran.
Tetapi, akademi Islam pertama yang menyediakan berbagai kebutuhan fisik untuk
mahasiswanya, dan menjadi model bagi pembangunan akademi – akademi lainnya
adalah Nizhamiyah yang didirikan pada tahun 10651 – 1067 oleh Nizham Al – Mulk,
seorang menteri dari Persia pada kekhalifahan Bani Saljuk, Sultan Alp Arslan,
dan Maliksyah, yang juga merupakan penyokong Umar Al – Khayyam. Dinasti Saljuk
sebagaimana Dinasti Buwaihiyah dan sultan – sultan non – Arab lainnnya yang
mengemban kekuasan besar atas kehidupan umat Islam, bersaing satu sama lain
dalam hal pengembangan seni dan pendidikan yang lebih tinggi.
Perpustakaan (
khizanat al – kutub ) dibangun di Syiraz oleh penguasa Buwaihi, Adud Ad –
Dawlah ( 977 – 982 ) yang semua buku – bukunya disusun diatas lemari – lemari,
didaftarkan dalam catalog, dan diatur dengan baik oleh staf administrator yang
berjaga secara bergiliran. Pada abad yang sama, kota Basrah memiliki sebuah
perpustakaan yang di dalamnya para sarjana bekerja dan mendapatkan upah dari
pendiri perpustakaan. Dan kota Rayy terdapat sebuah tempat yang disebut Rumah
Buku. Dikatakan bahwa tempat itu menyimapn ribuan manuskrip yang diangkut oleh
lebih dari empat ratus ekor unta. Seluruh naskah itu kemudian didaftrakan dalam
sepuluh jilid catalog.
Selain perpustakaan,
gambaran tentang budaya baca pada periode ini bias juga dilihat dari banyaknya
took buku. Toko – toko itu, yang juga berfungsi sebagai agen pendidikan mulai
muncul sejak awal kekhalifahan Abbasiyah. Al – Yaqub meriwayatkan bahwa pada
masanya ( sekitar 891 ) ibu kota Negara meramaikan oleh lebih dari seratus took buku yang berderet di satu ruas
jalan yang sama. Sebagian took tersebut, sebagaimana took – took yang muncul di
Damskus dan Kairo.
C.
Kemunduran Dinasti Abbasiah
a. Factor intern
1)
Kemewahan hidup
di kalangan penguasa
Perkembangan perdaban
dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode
pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung
mencolok. Setiapkhlaifah cenderung ingin lebih mewah dari pada pendahulunya.
Kondisi ini member peluang pada tentara professional asal Turki untuk mengambil
alih kendali pemerintahan.
2)
Perebutan
kekuasaan anata keluarga Bani Abbasiyah
Perebutan kekuasaan
dimulai sejak masa Al- Ma’mun dengan Al – Amin. Ditambah dengan masuknya unsure
Turki dan Parsi. Setelah Al – Mutawwakil wafat, pergantian khalifah terjadi
secara tidak wajar. Dari kedua belas khalifah pada periode kedua Dinasti
Abbasiyah, hanya empat orang khalifah yang wafat dengan wajar. Selebihnya, para
khalifah itu wafat karena dibunuh atau diracun dan diturunkan secara paksa.
3)
Konflik
keagamaan
Sejak terjadinya
konflik antara Muawiyah dan Khalifah Ali yang berakhir dengan lahirnya tiga
kelompok umat; pengikut Muawiyah Syi’ah dan Khawarij, ketiga kelompok ini
senantiasa berebut pengaruh. Yang senantiasa berpengaruh pada masa kekhalifahan
Muawiyah maupun masa kekhalifahan Abbasiyah adalah kelompok Sunni dan kelompok
Syi’ah. Walaupun pada masa – masa tertentu antara kelompok Sunnni dan Syi’ah
saling mendukung, misalnya pada masa pemerintahan Buwaihi, antara kedua
kelompok tak pernah ada satu kesepakatan.
b. Factor ekstern
1)
Banyaknya
pemberontakan
Banyaknya daerah yang
tidak dikuasai oleh khalifah, akibat kebijakan yang lebih menekankan pada
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam, secara real, daerah – daerah itu
berada di bawah kekuasaan gubernur – gubernur yang bersangkutan. Akibatnya,
provinsi – provinsi tersebut banyak yang melepaskan diri dari genggaman
penguasa Bani Abbas. Adapun cara provinsi – provinsi tersebut melepaskan diri
dari kekuasaan Baghdad adalah ; pertama, seorang pemimpin local memimpin suatu
pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti Daulah Umayah
di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko. Kedua, seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur
oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat, kemudian melepaskan diri,
seperti daulat Aglabiyah di Tunisia dan Thahiriyah di Kurasan.
9
2)
Dominasi
bangsa turki
Sejak abad
kesembilan, kekuatan militer Abbasiyah mulai mengalami kemunduran. Sebagai
gantinya, para penguasa Abbasiyah memperkerjakan orang – orang professional
dibidang kemiliteran, khusunya tentara Turki, kemudian mengangkatnya menjadi
panglima – panglima. Pengangkatan anggota militer inilah, dalam perkembangan
selanjutnya, yang mengancam kekuasaan khalifah. Tentara Turki berhasil merebut
kekuasaan khalifah. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Walaupun
khalifah dipegang oleh Bani Abbas, ditangan mereka, khalifah bagaikan boneka
yang tidak bias berbuat apa – apa. Bahkan, merekalah yang memilihi dan
menjatuhkan khalifah yan sesuai dengan politik mereka.
Khalifah Dinasti
Abbasiyah yan berkuasa pada masa kekuasaan Bnagsa Turki I, mulai khalifah ke –m
10, Khalifah Al – Mutawwakil ( tahun 232 H ) hingga Khalifah ke 22, Khalifah Al
– Mustaqfi Billah ( Abdullah Sunni Qasim tahun 334 H ) Pada masa kekuasan
bangsa Turki II ( Banu Saljuk ) mulai dari khalifah ke – 27, khalifah Muqtadie
bin Muhammad ( tahun 467 H ) hingga khalifah ke – 37, Khalifah Musta’shim bin
Mustanshir ( tahun 656 H )
3)
Dominasi
bangsa Persia
Masa kekuasaan Bangsa
Persi ( Banu Buyah ) berjalan lebih dari 150 tahun. Pada masa ini, kekuasaan
pusat Baghdad dilucuti dan di berbagai daerah muncul Negara – Negara baru yang
berkuasa dan membuat kemajuan dan perkembangan baru.
Pada awal
pemerintahan Bani Abbasiyah, keturunan Parsi bekerja sama dalam mengelola
pemerintahan dari Dinasti Abbasiyah mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam
berbagai bidang. Pada periode kedua, saat kekhalifahan Bani Abbasiyah sedang
mengadakan pergantian khalifah, yaitu Khalifah Muttaqi ( khalifah ke 22 )
kepada Khalifah Muthie ( khalifah ke 23 ) tahun 334 H. Banu Buyah ( Parsi )
berhasil merebut kekuasaan.
Pada mulanya, mereka
berkhidmat kepada pembesar – pembesar dari para khalifah, sehingga banyak
darimereka yan gmenjadi panglima tentara, diantaranya menjadi panglima besar.
Setelah mereka memiliki kedudukan yang kuat, para Khalifah Abbasiyah berda di
bawah telunjuk mereka dan seluruh pemerintah berada di tangan mereka. Khalifah
Abbasiyah hanya tinggal namanya saja, hanya disebut dalm doa – doa diatas
mimbar, bertanda tangan di dalam peraturan dan pengumuman resmi dan nama mereka
ditulis atas mata uang, dinar, dan dirham.
D. Sebab-Sebab Kehancuran Dinasti
Abbasiah
1. Factor Intern
a.
Lemahnya
semangat patriotism Negara, menyebabkan jiwa jihad yang diajarkan Islam tidak
berdaa lagi menahan segala amukan yang dating, baik dari dalam maupun luar.
b.
Hilangnya
sifat amanah dalam segala perjanjian yang dibuat, sehingga kerusakan moral dan
kerendahan budi menghancurkan sifat – sifat baik yang mendukung Negara selama
ini.
c.
Tidak percaya
pada kekuatan sendiri. Dalam mengatasi berbagai pemberontakan, khalifah
mengundang kekuatan asing. Akibatnya, kekuatan asing tersebut memanfaatkan
kelemahan khalifah.
d.
Fanatic madzhab
persaingan dan perebutan yang tiada henti antara Abbasiyah dan Alawiyah
menyebabkan kekuatan Islam menjadi lemah, bahkan hancur berkeping - keping.
Perang ideology
antara Syi’ah dari Fatimiah melawan Ahlu Sunnah dari Abbasiyah, banyak
menimbulkan korban. Aliran Qaramithah yang sangat ekstern dalam tindakan –
tindakannya yang dapat menimbulkan bentrokan dimasyarakat. Kelompok Hashshashin
yang dipimpin oleh Hasan bin Shabah yang berasal dari Thus di Parsi merupakan
aliran Ismailiyah, salah satu sekte Syi’ah adalah kelompok yang sangat dikenal
kekejamannya, yang sering melkukan pembunuhan terhadap penguasa Bani Abbasiyah
yang beraliran Sunni.
Pada saat terakhir
dari hayatnya Abbasiyah, Tentara Tartar yang datang dari luar dibantu dari
dalam dan dibukakan jalannya oleh golongan Awaliyin yang dipimpin oleh Alqamiy.
e.
Kemerosotan
ekonomi terjadi karena banyaknya biaya yang digunakan untuk anggaran tentara,
banyaknya pemberontakan dan kebiasaan para penguasa berfoya – foya, kehidupan
para khalifah dan keluarganya serta pejabat – pejabat Negara hidup mewah, jenis
pengeluaran yang makin beragam, serta pejabat yang korupsi, dan
10
semakin sempitnya wilayah kekuasaan
khalifah karena telah banyak provinsi yang telah memisahkan diri.
2. Factor Ekstern
Disintegrasi
, akibat kebijakan untuk lebih mengutamakan pembinaan perdaban dan kebudayaan
Islam daripada politik, provinsi – provinsi tertentu di pinggiran mulai
melepaskan dari genggaman penguasa Bani Abbasiyah. Mereka bukan sekedsar
memisahkan diri dari kekuasaan khalifah, tetapi memberontak dan berusaha
merebut pusat kekuasaan d Baghdad. Hal ini dimanfaatkan oleh pihak luar dan
banyak mengorbankan umat, yang berarti juga megnhancurkan Sumber Daya Manusia (
SDM ). ( Provinsi – provinsi yang melepaskan diri dari Dinasty Abbasiyah ,
dijelaskan selanjutnya). Yang paling membahayakan adalah pemerintahan tandingan
Fatimiah di Mesir walaupun pemerintahan lainnya pun cukup menjadi perhitungan
para khalifah di Baghdad. Pada akhirnya, pemerintah – pemerintah tandingan ini
dapat ditakhlukan atas bnatuan Bani Saljuk atau Buyah.
E.
Karakter Kekhalifahan Abbasiah
Seperti
halnya Dinasti Umayah, setelah berdiri Dinasti Abbasiah, terdapat karakter dan
ciri khas istimewa, di antaranya adalah:
1.
Pemerintahan
orang Abbasiah dinyatakan sebagai Daulah(era baru).
2.
Dengan
berdirinya Dinasti Abbasiah, maka berangsur-angsur pengaruh kekuasaan Arab
menurun dan dikuasai/dipengaruhi mawali, serta diskriminasi Arab atas Mawali
hilang. Dengan demikian, islam muncul
dalam citra internasional. Orang Persia dan Khurasan yang berperan untuk
menumbangkan kekuasaan Umayah, mulai menduduki jabatan-jabatan tinggi dan
penting dalam pemerintahan, juga corak pemerintahannya diambil dari sistem
pemerintahan Persia.
3.
Pemerintahan
Abbasiah adalah pemerintahan non Arab, sedangkan jaman umayah adalah Arab murni
yang sangat peka terhadap suku Arab (quraisy), sedangkan pada periode Abbasiah
disamping orang Quraisy, orang khuraasan dan dari daerah-daerah lain elit
tentara sangat menonjol dalam kebijakan pemerintahan. Para khalifah
beranggapan, bahwa sebagai pewaris Nabi Muhammad SAW, yang punya hak sakral dan
hubungan ini membawa mereka untuk memerintah dan mempengaruhi dunia islam dan
merekalah yang mendudukan kembali Islam dalam posisi yang benar (Rahman,
1977:129).
4.
Corak
pemerintahan yang mengalami perubahan drastis sejak Khalifah Mansur yang
menyandang gelar Khalifah Allah, dari pada “wakil khalifah” dan mereka tidak
tergantung sumpah setia dan pengakuan dari rakyat sebagai legitimasi kekuasaan.
5.
Islam
tersebar dengan ekspansi sejak sebelum Umayah dengan pesat dan cepat, sedang
pada masa Abbasiah satu sisi orang islam (Arab) kehilangan atau menurun dalam
hal kehebatan kemiliteran. Di sisi lain, keutuhan kekhalifahan dan persatuan
islam terancam dan terkoyak, yakni lepasnya Andarusia (756 M) dari kekuasaan
Abbasiah dengan berdirinya kekhalifahan Umayah II di Andalusia (929 M) dan
kekhalifahan Fatimiah di Afrika (909 M).
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan sebelumnya, maka dapatlah ditarik kesimpulan- kesimpulan sebagai berikut :
1. Dinasti Abbasiyah melanjutkan kekuasaan Bani Umayyah. Dinamakan Abbasiyah, karena para pendiri dan penguasa
dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad saw.. Dinasti
Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah
ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari
tahun 132 H. (750 M.) s. d. 656 H. (1258 M.). Selama dinasti ini berkuasa, pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, dan budaya.
2. Pada masa pemerintahan Dinasti
Abbasiyah, Umat Islam banyak mengalami kemajuan yang sangat pesat, di antaranya
dalam bidang administrasi, agama, sosial, ilmu pengetahuan, dan pemerintah.
3. Kemunduran Dinasti Abbasiyah disebabkan oleh banyak faktor, baik yang
sifatnya internal maupun yang sifatnya eksternal.
B. Saran
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Karenanya,
saran dan kritikan yang sifatnya membangun, sangat penulis harapkan dari semua pihak.
12
DAFTAR PUSTAKA
Supriyadi Dedi. Sejarah
Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
M. Abdul Karim. Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam. Yokyakarta: Bahaskara,2007.
Badri Yatim. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: 1993.
Hasan, Ahmad Rifa’i (ED.), Warisan
Intelektual Islam Indonesia, Bandung: Mizan, 1990.
Hassan, Hassan Ibrahim, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Penerbit kota Kembang, 1989).
Subscribe to:
Posts (Atom)