Ashabul ukhdud adalah kaum yang
dilaknat oleh Allah 'Azza wa jalla. Dengan api inilah mereka memaksa orang-orang yang
beriman untuk kembali kepada agama mereka semula, agama yang menjadikan
makhluk sebagai sesembahan selain Allah SWT. Setiap orang yang beriman
kepada Allah SWT dan mengingkari peribadahan kepada selain-Nya, mereka
lemparkan kedalam api, sebagaimana Allah 'Azza wa jalla kisahkan dalam ayat-Nya,
“Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang
berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di
sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap
orang-orang yang beriman. dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin
itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah yang
Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” [Q.S. Al Buruj:4-9].
Tiba giliran seorang ibu yang sedang menggendong bayi mungil. Wanita
itu dipaksa untuk memilih antara dua pilihan. Ia masuk kedalam api
tersebut dalam keadaan beriman kepada Allah ataukah jiwanya selamat
namun dia harus kembali kepada kekafiran. Demi melihat kobaran api yang
menyala, timbul dari dalam dirinya keraguan dan rasa takut untuk tetap
berada dalam keimanan. Ia tidak tega melihat keadaan anaknya yang dalam
gendongannya. Apakah jiwa yang masih suci ini harus mati bersamanya.
Allah SWT pun memberikan kemampuan kepada bayi tersebut untuk berbicara.
Bayi itupun berkata, ”wahai ibuku! Bersabarlah, sesungguhnya engkau
berada di atas kebenaran”. Tatkala mendengar perkataan bayi tersebut,
bulatlah tekadnya untuk masuk ke dalam kobaran api mempertahankan
keimanannya.
Memang, telah menjadi ketetapan Allah SWT, bahwa sebagian manusia akan
menjadi musuh bagi sebagian lainnya. Tatkala ada yang membela kebenaran,
ada pula orang yang menjadi pembela kebatilan. Demikian pula ketika
Allah SWT mengutus para Rasul dan para Nabi, dengan hikmah dan keadilan-Nya,
Ia ciptakan musuh-musuh yang gigih menentang mereka. Ketetapan Allah SWT
ini akan berlaku pula kepada para pengikut mereka, supaya jelas siapakah
yang jujur dan siapakah yang dusta dalam pengakuan keimanannya. Allah SWT
berfirman yang artinya, “Alif lam mim. Apakah manusia
menyangka bahwa mereka akan dibiarkan mengaku ‘kami beriman’ sedang
mereka tidak diuji. Sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum
mereka sehingga Allah benar-benar mengetahui siapakah orang-orang yang
jujur dan siapakah yang berdusta.” [Q.S. Al Ankabut:1-3].
Kisah kekejian yang luar biasa ini bermula dari seorang pemuda yang
diutus oleh raja untuk belajar ilmu sihir kepada tukang sihir istana. Ia
diharapkan akan dapat menggantikan tugas tukang sihir tersebut setelah
kematiannya. Pemuda tersebut tinggal pada suatu kampung yang berbeda
dengan tempat tukang sihir tersebut berada. Di tengah perjalanan antara
kampung dan tempat tukang sihir berada, tinggallah seorang Rahib yang
beriman kepada Allah SWT. Ia hidup mengasingkan diri dari masyarakat yang
telah rusak agamanya karena menjadikan raja mereka sebagai sesembahan.
Singkat kata setiap kali pemuda tersebut melewati tempat rahib ini,
ia tertarik mendengar ajaran-ajaran yang dianut rahib tersebut. Mulailah
ia singgah untuk menimba ilmu yang dibawa oleh sang Rahib. Tiap kali
berangkat dan pulang dari belajar sihir, ia menyempatkan diri untuk
belajar kepada rahib. Ia pun mempelajari dua ilmu yang tidak akan
bersatu, ilmu sihir dan ilmu agama.
Suatu ketika, pemuda tersebut melihat binatang besar yang menghalangi
perjalanan manusia. Maka timbullah keinginan dalam pikiran pemuda
tersebut untuk menguji manakah ajaran yang lebih utama, ajaran rahib
ataukah tukang sihir. Berdoalah ia kepada Allah, “Ya Allah, jika engkau
lebih mencintai apa yang dibawa oleh rahib dari pada apa yang dibawa
oleh tukang sihir, maka bunuhlah binatang ini, supaya manusia bisa bebas
dari gangguannya.” Ia pun melempar binatang tersebut dengan batu yang
mengakibatkan binatang itu mati seketika. Yakinlah si pemuda tentang
keutamaan dan kebenaran ajaran sang rahib.
Waktu terus berlalu, si pemuda menjadi terkenal sebagai orang yang
mahir mengobati orang yang buta, sakit belang, dan penyakit lainnya.
Suatu ketika datanglah seorang pejabat dekat raja. Dengan membawa hadiah
yang banyak ia datang untuk minta disembuhkan dari kebutaan yang
dideritanya. Pejabat itu mengatakan, “Hadiah-hadiah yang aku bawa ini
kuberikan kepadamu jika engkau dapat menyembuhkanku.”Si Pemuda menjawab,
“Aku tidak bisa menyembuhkan seorang pun, Allahlah yang menyembuhkan,
apabila engkau beriman kepada Allah SWT aku akan berdoa kepada-Nya agar
menyembuhkanmu.” Maka pejabat itu pun beriman kepada Allah SWT, kemudian
Allah SWT menyembuhkan sakitnya.
Pulanglah sang pejabat kerumahnya dan kembali duduk bermajelis
bersama raja. Demi melihat kesembuhan pejabat tersebut, heranlah raja.
Ia bertanya, “Siapakah yang menyembuhkan penglihatanmu?” Sang Pejabat
berkata, “Rabbku.” Mendengar jawaban tersebut murkalah sang raja, dengan
marah ia mengatakan, “Apakah kamu mempunyai Rabb selain aku?” Sang
pejabat menjawab, “Rabbku dan Rabbmu adalah Allah SWT.” Seketika itu pula ia
disiksa dan terus disiksa sampai akhirnya ia menunjukkan keberadaan si
pemuda.
Dicarilah si pemuda tersebut, kemudian ditangkap dan dihadapkan
kepada Raja. Raja mulai bertanya kepada si pemuda, ia tahu bahwa pemuda
inilah orang yang ia utus untuk belajar kepada tukang sihir. Dengan nada
lembut ia bertanya, “wahai anakku, sungguh sihirmu itu telah mencapai
tingkatan untuk dapat menyembuhkan kebutaan, sakit belang dan lainnya.”
Si pemuda menjawab, “Aku tidak bisa menyembuhkan seorang pun, Allahlah
yang menyembuhkan.” Maka pemuda inipun disiksa sebagaimana sang pejabat
sampai akhirnya si pemuda menunjukkan keberadaan sang rahib.
Ditangkaplah sang rahib dan dipaksa untuk kembali kepada agama sang
raja. Maka sang rahib ini menolak dan memilih tetap berada di atas agama
Allah SWT. Ia enggan untuk menjadikan makhluk sebagai tandingan bagi Allah SWT.
maka sang raja membunuh sang rahib yang beriman ini dengan cara yang
keji. Dengan angkara murka sang raja menggergajinya sehingga terbelah
menjadi dua bagian. Tidak berbeda pula nasib sang pejabat, ia pun
dibunuh dengan digergaji menjadi dua bagian, semoga Allah SWT membalasi
keteguhan iman mereka dengan surga.
Adapun nasib si pemuda, berbeda dengan dua orang yang terdahulu. Sang
raja menginginkan agar pemuda tersebut dibunuh dengan cara yang
berbeda. Ia dibawa ke suatu gunung kemudian dilemparkan dari puncaknya.
Akan tetapi, Allah menyelamatkannya dari percobaan pembunuhan ini. Usaha
ini dilakukan beberapa kali dengan cara yang berbada. Setiap mereka
ingin membunuhnya, si pemuda selalu berdoa kepada Allah, “Ya Allah
selamatkanlah aku dari mereka dengan cara yang Engkau kehendaki.” Maka
Allah SWT pun menyelamatkannya sehingga terbebas dari makar pembunuhan itu
dan kembali kepada raja dalam keadaan selamat. Raja pun merasa bingung
mencari cara menghabisi si pemuda tersebut.
Dengan penuh pertimbangan, akhirnya si pemuda memberitahukan kepada
raja cara membunuh dirinya, ia berkata kepada raja, “Engkau tidak akan
bisa membunuhku sampai engkau melakukan apa yang aku perintahkan.
Kumpulkan manusia dalam satu tempat yang luas, saliblah aku pada batang
pohon, lalu ambillah anak panah dari tempat anak panahku, kemudian
katakanlah ‘Dengan menyebut Nama Allah, Rabb anak ini’ dan
panahlah aku dengannya.” Sang raja pun melakukan perintah si pemuda. Ia
menginginkan untuk segera menghabisinya. Pemuda itu ibarat duri dalam
daging, penghalang yang harus segera dimusnahkan. Raja tidak mengetahui
rencana Allah SWT yang Maha Mengetahui. Dikumpulkanlah manusia pada suatu
tempat, ia ambil anak panah dari tempat anak panah si pemuda, kemudian
ia panah si pemuda sembari mengatakan, “Dengan menyebut Nama Allah, Rabb anak ini.” Anak panah melesat tepat mengenai pelipis si pemuda. Dengan izin Allah matilah pemuda itu di tangan raja.
Namun tanpa diduga oleh raja, rakyat yang menyaksikan peristiwa ini
pun serta merta beriman kepada Allah. Mereka mengatakan, “Kami beriman
dengan Rabb anak ini, kami beriman dengan Rabb anak ini.”
Telah datang waktunya kebenaran menyusup ke dalam relung hati rakyat.
Tatkala keimanan telah menancap kokoh dalam hati, ia laksana batu
karang yang tidak hancur diterpa gelombang. Demi melihat peristiwa ini,
murkalah sang raja. Ia perintahkan pengikutnya untuk membuat parit-parit
di setiap ujung jalan. Kemudian dinyalakan api di dalamnya. Sang raja
memerintahkan pengikutnya untuk membunuh siapa saja yang tetap berada
dalam keimanan kepada Allah SWT. Satu persatu mereka digiring dan dibawa ke
parit tersebut, menemui ajal dengan mendapatkan keridhaan Allah.
Demikian sepenggal kisah dari orang-orang terdahulu yang beriman
kepada Allah SWT. Dalam kitab-Nya yang mulia, Allah SWT banyak mengisahkan
perjalanan hidup hamba-hamba-Nya. Sebagian mereka menentang, adapula
yang tunduk dan patuh kepada perintah Allah SWT. Allah SWT menjadikan
kisah-kisah ini sebagai pelajaran bagi kita untuk senantiasa mengikuti
kebenaran walaupun beresiko harus mendapatkan penentangan manusia. Allah
berfirman, “Sungguh dalam kisah mereka ada pelajaran bagi
orang-orang yang berakal, bukanlah (Al Qur’an ini) sebagai ucapan yang
diada-adakanakan, tetapi ia membenarkan (kitab-kitab) yang terdahulu dan
sebagai penjelas atas segala sesuatu petunjuk serta rahmat bagi kaum
yang beriman.” [Q.S. Yusuf:111]. Allahu a’lam. [Hammam].
Maraji’:
Tafsir AlQur’an Al ‘Adzim
Sumber: http://tashfiyah.net/2011/12/kisah-ashabul-ukhdud/
No comments:
Post a Comment