Para ulama adalah orang-orang yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wata’ala karena ilmu mereka, yaitu ilmu tentang kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Subhanahu wata’ala
memuliakan mereka di kehidupan dunia yang fana ini dan kelak di
akhirat. Mereka adalah orang-orang yang paling beruntung karena menjadi
pewaris para nabi. Hal ini sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِنَّ
الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ
يُوَرِّثُوا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ
فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya para ulama itu pewaris para nabi. Para nabi tidaklah
mewariskan dinar dan dirham (harta), tetapi mewariskan ilmu. Barang
siapa berhasil mengambilnya berarti dia telah berhasil mendapatkan
keuntungan yang banyak.” (HR . Abu Dawud dan at- Tirmidzi dari Abu ad-Darda radhiyallahu ‘anhu)
Sebagaimana telah diketahui, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah mewariskan selain apa yang telah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan kepada umatnya selama hidupnya, yaitu kitabullah al-Qur’an al-Karim dan sunnah-Nya yang suci. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
هُوَ
الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ
آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن
كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di
antara mereka, yang membacakan ayatayat- Nya kepada mereka, menyucikan
mereka, serta mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (as-Sunnah).
Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang
nyata.” (al-Jumu’ah: 2)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِي
“ Aku telah meninggalkan (mewariskan) dua hal bagi kalian. Apabila
berpegang teguh dengan keduanya, niscaya kalian tidak akan tersesat
selamalamanya sepeninggalku. (Dua hal itu) adalah kitabullah dan
sunnahku.”
Di antara hal-hal termulia yang diwariskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para ulama adalah akhlak dan kepribadian yang terpuji. Allah Subhanahu wata’ala memuji Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam karena sifat tersebut dalam firman-Nya,
ن
ۚ وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ {} مَا أَنتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ
بِمَجْنُونٍ {} وَإِنَّ لَكَ لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍ {} وَإِنَّكَ
لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benarbenar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 1—4)
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha menjelaskan bahwa
akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an, sebagaimana disebutkan oleh sebuah
hadits sahih yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullah di dalam Shahih-nya. Al-Imam al-‘Allamah asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan,
“Apa yang dikatakan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha ini adalah sebuah kalimat yang agung. Beliau membimbing kita untuk berakhlak seperti akhlak beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam,
yaitu mengikuti al-Qur’an, istiqamah di atas (ajaran) al-Qur’an pada
seluruh urusan yang diperintahkan dan yang dilarang. Di samping itu,
menjauhi seluruh akhlak jelek yang dicela oleh al-Qur’an dan dicela pula
pemiliknya. Ini adalah akhlak yang dipuji dan disanjung oleh al-Qur’an.
Orang-orang berilmu, seperti para dai, pendidik, dan penuntut ilmu,
seyogianya benar-benar memerhatikan kitabullah dan menerimanya dengan
sepenuh hati. Dengan demikian, mereka akan berhasil mengambil
akhlak-akhlak yang dicintai oleh Allah l dari al-Qur’an itu. Setelah
itu, mereka beristiqamah di atasnya. Akhirnya, mereka menjadi
orang-orang yang memiliki akhlak dan manhaj (metodologi) di atasnya (al-
Qur’an) di mana pun berada.” (Akhlaqu Ahlil ‘Ilmi, hlm. 1)
Kesabaran dan Kesungguh-Sungguhan dalam Menuntut Ilmu
Asy-Syaikh Abdul Mushin al-‘Abbad berkata, “Beliau, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah,
dilahirkan di kota Riyadh pada 12 Dzulhijjah1330 H. Beliau dibesarkan
di dalam lingkungan keluarga yang mulia. Di dalamnya ada orang-orang
yang berilmu dan mulia. Sejak kecil beliau memiliki cita-cita yang
tinggi, rajin, dan bersemangat mendapatkan ilmu. Bahkan, beliau telah
hafal al-Qur’an sebelum baligh. Beliau dahulu memiliki penglihatan yang
sempurna. Sakit yang beliau derita pada umur 16 tahun mengakibatkan
penglihatan beliau melemah. Indra penglihatan beliau bertambah lemah
sampai tidak mampu melihat sama sekali pada umur 20 tahun. Akan tetapi,
Allah Subhanahu wata’ala mengaruniai beliau pandangan, cahaya,
dan iman di dalam hatinya sehingga beliau tumbuh di atas ilmu,
keutamaan, semangat, dan kesungguhsungguhan untuk mencari ilmu.
Mengamalkan Ilmu
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad melanjutkan, “Beliau adalah alim
yang besar. Hal ini diketahui oleh orang-orang khusus dan orang-orang
umum. Beliau adalah seorang yang alim lagi pendidik. Al-Hafizh Ibnu
Hajar rahimahullah menulis di dalam kitabnya, Fathul Bari, dari Ibnu A’rabi rahimahullah bahwa dia berkata, ‘Seorang alim tidak disebut sebagai rabbani
(pendidik) hingga dia mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya.’ Sungguh,
asy-Syaikh Abdul Aziz adalah orang yang seperti itu. Beliau berilmu,
beramal, dan mengajarkan ilmunya sekaligus mengajak kepada mentauhidkan
Allah Subhanahu wata’ala dengan bashirah (ilmu dan keyakinan).”
Khasyah (Rasa Takut) dan Ibadah
Asy-Syaikh Abdul Muhsin berkata, “Asy-Syaikh Ibnu Baz adalah seorang
yang senantiasa mengamalkan ilmunya karena buah ilmu adalah amal. Beliau
sering berzikir, berdoa, dan senantiasa berusaha untuk menunaikan
ibadah haji hingga 47 kali. Saya (asy-Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad)
mengetahui hal itu tatkala beliau berkunjung ke daerah al-Bahah pada
Sya’ban 1400 H. Ketika itu beliau ditanya tentang hal tersebut. Di
antara jawabannya, beliau menyebutkan bahwa umurnya saat itu 70 tahun
dan telah menunaikan haji 28 kali. Salah seorang hadirin mengabarkan hal
itu kepada saya.
Setelah itu beliau setiap tahun menunaikan ibadah haji hingga
terhenti pada 1418 H. Jadi, beliau berhaji 28 kali ditambah 19 kali,
jumlahnya 47 kali. Termasuk bukti perhatian beliau yang sangat besar
terhadap ibadah dan menyibukkan diri dengannya adalah sebuah peristiwa
pada 1397 H akhir bulan Dzul Qa’dah. Ketika itu, saya pergi dari Madinah
ke Makkah karena sebuah urusan yang terkait dengan pekerjaan saya. Saat
itu saya menjadi wakil beliau (beliau menjabat rektor, -red.) di
Universitas Islam Madinah. Saya bermalam di rumah beliau. Di rumah
beliau ada sebuah tempat yang luas. Di tempat itu beliau berjamjam
mondar-mandir sambil membaca al-Qur’an. Beliau ingin menggerakkan badan
(sambil membaca al-Qur’an).
Saya juga mengingat sebuah kejadian pada saat beliau masih memimpin
Universitas Islam Madinah. Saya bersama beliau masuk ke Masjid Nabawi
setelah azan zuhur. Saya berada di samping beliau. Beliau lantas shalat
empat rakaat, sedangkan saya shalat dua rakaat. Sudah dimaklumi jumlah
shalat rawatib ada 10 rakaat menurut sebuah riwayat, dan menurut riwayat
lainnya 12 rakaat. Namun, yang lebih utama dan sempurna adalah 12
rakaat. Tatkala selesai shalat, beliau menoleh kepada saya sambil
berkata, ‘Engkau tidak shalat selain dua rakaat saja.’ Saya menjawab,
‘Ya.’ Beliau berkata, ‘Sesungguhnya yang dua belas rakaat itu lebih
utama dan lebih sempurna.’ Beliau senantiasa memilih yang lebih utama
dan lebih sempurna. Beliau senantiasa memberi peringatan, bimbingan, dan
arahan untuk meraih yang paling mulia dan paling sempurna.”
Ketegaran dan Keberanian Berdakwah
Beliau senantiasa berusaha memberi manfaat kepada umat baik dengan
ilmu maupun nasihatnya, baik dengan amar ma’ruf maupun nahi munkar,
dengan ajakan maupun dakwah ke jalan yang baik, serta membantu mereka
dengan harta dan kedudukan beliau. Beliau berdakwah dengan hikmah dan
nasihat yang baik, melalui ceramah, nasihat, dan tulisan. Ketika beliau
mendapatkan kesalahan-kesalahan yang terdapat di koran atau majalah,
beliau akan memperingatkannya. Peringatan beliau itu disebarkan melalui
koran-koran ataupun risalah-risalah yang ditulis dan dicetak oleh beliau
sendiri.
Ketawadhuan dan Kepedulian
Rumah beliau senantiasa didatangi oleh orang-orang fakir dan
orang-orang yang punya berbagai keperluan. Ada yang datang meminta
fatwa, ada pula yang meminta bantuan. Mereka semua makan siang atau
makan malam bersama beliau. Beliau telah menyiapkan makanan setiap hari
dengan jumlah yang cukup bagi tamunya. Musim haji tahun 1419 H. Beliau
berhalangan menunaikan ibadah haji karena sakit yang menyebabkan beliau
meninggal. Para dokter menyarankan beliau untuk tidak pergi haji. Karena
itu, beliau menugaskan beberapa orang untuk membuka pintu rumahnya di
Makkah dan tempat kemahnya di Mina. Beliau perintahkan pula untuk
membuatkan jamuan guna diberikan kepada orang-orang yang biasa datang
untuk mendapatkan faedah dari ilmu beliau dan makan bersama beliau.
Beliau pun senantiasa menelepon orang-orang yang diberi tugas tersebut
supaya tenang.
Beliau sangat bersemangat membantu orang-orang yang membutuhkan dan
membangun masjid-masjid, baik di dalam maupun di luar negeri. Di atas
meja khusus beliau di rumahnya, tertumpuk daftar orang-orang dan
proposal-proposal yang mengharapkan bantuan, baik orang-orang yang fakir
maupun para dai, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Bukan hanya
ini usaha beliau untuk memberi manfaat kepada umat dan semangat beliau
membantu mereka. Beliau menulis surat kepada seorang syaikh besar pada
tanggal 8-3-1418 H. Beliau tuliskan di dalam surat itu, “Saya senang
memberi kabar kepadamu yang sudah sekian tahun saya berusaha banyak
membantu orang-orang berhajat, baik di dalam maupun di luar Kerajaan
Saudi, membangun masjid-masjid baik di dalam maupun di luar Kerajaan
Saudi, menunjuk para dai di luar Kerajaan Saudi, yang itu semua dengan
biaya Raja Saudi, para pembantunya, beberapa pejabat, orang-orang yang
dermawan, dan pengusaha.” Beliau lalu berkata, “Kekekalan itu hanya
milik Allah Subhanahu wata’ala…. Jika saya meninggal, saya
berharap engkaulah yang akan menggantikan saya mengurusi tugas-tugas ini
dan hendaknya engkau mengharap pahalanya di sisi Allah Subhanahu wata’ala.”
Kasih Sayang terhadap Umat
Beliau sangat penyayang, dermawan, dan menghormati tamu. Tatkala
datang kepada beliau tamu yang berasal dari berbagai daerah atau negara,
beliau segera mengundangnya untuk makan siang atau makan malam. Beliau
juga akan bertanya tentang kabarnya dan kabar ayah ibunya, bertanya
tentang sebagian kerabatnya, serta tentang orang-orang yang dikenal
sebagai ulama di negeri asal sang tamu. Asy-Syaikh Abdul Muhsin
al-‘Abbad hafizhahullah mengisahkan kunjungannya kepada gurunya, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah,
“Pada tahun terakhir sebelum beliau meninggal, saya pergi ke Makkah,
dua hari sebelum pergi ke Thaif bertepatan dengan hari Kamis, 29
Dzulhijah. Saya dan beberapa anak saya pergi untuk mengunjungi beliau
secara khusus. Tatkala kami sampai dan mengucapkan salam, sebagaimana
biasanya beliau rahimahullah segera bertanya kepada kami tentang
kabar kami dan kabar kedua orang tua kami, sekaligus mengundang makan
siang. Saya katakan kepada beliau, ‘Sesungguhnya kami datang dari
Madinah dengan tujuan khusus untuk mengunjungi Anda dan makan siang
bersama Anda. Setelah itu, kami kembali ke Madinah.” Beliau menjawab,
‘Allah Subhanahu wata’ala berfirman dalam hadits qudsi,
وَجَبَتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِيْنَ وَالْمُتَزَاوِرِينَ فِيَّ
‘Kecintaan-Ku wajib didapatkan oleh orang-orang yang saling mencintai dan mengunjungi karena Aku’.”
Adab Terhadap Para Ulama
“Beliau rahimahullah sangat memerhatikan permasalahan fikih.
Beliau sendiri adalah rujukan dalam hal fatwa, baik di dalam maupun di
luar Kerajaan Saudi. Beliau adalah seorang mufti (ahli fatwa) dunia.
Sebagaimana yang telah saya sebutkan, umat manusia atau kaum muslimin
bahkan merujuk kepada beliau dalam berbagai masalah yang
diperselisihkan. Beliau rahimahullah sangat teliti menyebutkan
sebuah pendapat atau hukum dengan disertai dalilnya dan menjelaskan sisi
pendalilannya, baik dalil-dalil wahyu maupun dalil secara logika.
Ketika mengkritisi sebuah pendapat yang menurut keyakinan beliau
menyelisihi kebenaran, beliau sangat beradab terhadap para ulama rahimahumullah.
Beliau berkata, ‘Pendapat ini perlu diteliti, dan yang benar adalah
demikian dan demikian.’ Barang siapa menelaah catatan kaki beliau dalam
kitab Fathul Bari jilid ketiga, niscaya dia akan mendapatkan hal itu dengan jelas dan terang.
Tatkala beliau mengkritisi al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
atau para ulama yang beliau nukil pendapatnya, beliau mengawali
kritikannya dengan ucapan, ‘Pendapat ini butuh diteliti, dan yang benar
adalah demikian dan demikian,’ sambil menyebutkan dalilnya. Adapun
pendapat yang jelas-jelas salah atau batil yang menyelisihi alhaq
dan dalil, beliau akan berkata, ‘Pendapat ini sangat jelas
kebatilannya’, ‘Pendapat ini tidak benar’, atau ‘Ini adalah pendapat
yang batil’, atau ungkapan yang semisalnya.” Demikianlah sedikit
gambaran yang menakjubkan tentang akhlak dan kepribadian sebuah pribadi
yang menjadi suri teladan. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wata’ala
senantiasa melimpahkan hidayah dan taufik kepada kita semua untuk
terus-menerus berusaha memperbaiki akhlak dan kepribadian kita sehingga
termasuk golongan para hamba-Nya yang beruntung dengan mendapatkan
bagian warisan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Amin ya Rabbal-alamin.
No comments:
Post a Comment