PENDAHULUAN
Sangiran
mewakili salah satu situs fosil hominid tertua di Indonesia, digali pada akhir
tahun 1930, dan dilanjutkan setelah perang dunia kedua oleh G.H.R. von
Koenigswald, hasilnya lebih dari 40 fosil hominid ditemukan disana. Von
Koenigswald mengikuti seniornya, Eugene Dubois dalam menamakan hominid dengan
nama Pithecanthropus erectus yang sebenarnya masuk dalam spesies Homo
erectus (Eprilurahman, R. dan B. A. Suripto;2005).
Homo
erectus hidup kurang lebih 1,8 juta sampai 300.000 tahun yang lalu dan dikenal
sebagai spesies yang mampu menyebar ke seluruh penjuru dunia dan berkembang
biak serta survive dengan baik di muka bumi ini. Manusia pertama muncul di
benua afrika dan hanya hidup di benua tersebut selama beberapa juta tahun saja.
Spesies manusia awal diketahui telah menyebar dalam jumlah yang besar keluar
afrika adalah Homo erectus yang
ditemukan di Asia Tenggara. Pada tahun 1891 ilmuwan yang berasal dari Belanda,
Eugene Dubois menemukan cranium
(tengkorak genap) dari spesies manusia awal di Pulau Jawa. Eugene Dubois
menamakannya Pithecanthropus erectus
yang berarti manusia yang berjalan tegak. Temuan tersebut didapatkannya di
Trinil, Nganjuk. Penemuan fosil mereka tersebar di seluruh bagian dunia,
afrika, China, Malaysia, Indonesia dsb. para ilmuwan sampai sekarang masih
memperdebatkan apakah Homo erectus
nenek moyang langsung dari manusia modern (homo
sapiens) mengingat fosil Homo erectus
yang ditemukan di bengawan solo berumur sekitar 53.000 sampai 27.000 tahun yang
lalu, di waktu yang sama populasi dari Homo
sapiens juga mulai muncul, namun bukan modern Homo sapiens akan tetapi lebih ke archaic Homo sapiens. Wilayah Sangiran adalah sebuah kubah geologis raksasa
yang terdapat di kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Ratusan tahun yang lalu daerah
ini dihuni oleh hampir 50% populasi homo erectus di dunia dan Sangiran
mengalami masa hunian paling lama dibandingkan dengan situs-situs lain yang ada
di Indonesia, diperkirakan daerah ini dihuni oleh manusia purba kurang lebih
selama satu juta tahun. Bagaimana homo erectus mampu bertahan hidup lama di
muka bumi dimanapun mereka tinggal. Tentunya ini berhubungan dengan daya
survival mereka yang sangat tinggi dengan alam sekitarnya. Daya survival ini
mungkin berhubungan dengan perkembangan dari otak mereka, yang membuat mereka
lebih kreatif dan inovatif dalam menghadapi tantangan alam, sehingga
menciptakan karakteristik tersendiri baik dari budaya fisik maupun kognitif
(Darundiyo Pandupitoyo, 2010).
ISI
Fosil terbentuk
dari proses dari proses penghancuran peninggalan organisme yang pernah hidup.
Hal ini sering terjadi ketika tumbuhan atau hewan terkubur dalam kondisi
lingkungan yang bebas oksigen. Fosil yang ada jarang terawetkan dalam bentuknya
yang asli. Dalam beberapa kasus, kandungan mineralnya berubah secara kimiawi
atau sisa-sisanya terlarut semua sehingga digantikan dengan cetakan. Nilai
Penting fosil di sangiran sangat penting untuk memahami sejarah batuan sedimen
bumi didalam mempelajari studi paleo-history. Dimana fosil akan menunjukan
Subdivisi dari waktu geologi dan kecocokannya dengan lapisan batuan terhadap
organism yang pernah hidup lapisan tersebut. Organisme berubah sesuai dengan
berjalannya waktu dan perubahan ini digunakan untuk menandai periode waktu.
Sebagai contoh, batuan yang mengandung fosil graptolit harus diberi tanggal
dari era paleozoikum. Persebaran geografi fosil memungkinkan para ahli geologi
untuk mencocokan susunan batuan yang berada di kawasan sangiran. Dimana setiap
lapisan bumi pernah di huni organisme yang berbeda berdasarkan zaman yang
memungkinkan organisme yang pernah hidup dan berkembangbiak dengan baik.
Keberadaan fosil di sangiran menunjukan bahwa sangiran dahulu adalah laut
karena banyak ditemukan fosil moluska yang berada di berbagai lapisan
stratifikasi tanah.
Berikut
merupakan keragaman makhluk hidup beserta koleksi museum Sangiran sebagai
berikut: Fosil manusia, antara lain Australopithecus
africanus , Pithecanthropus
mojokertensis (Pithecantropus
robustus ), Meganthropus
palaeojavanicus , Pithecanthropus erectus , Homo soloensis , Homo neanderthal
Eropa, Homo neanderthal Asia, dan Homo sapiens . Fosil binatang bertulang
belakang, antara lain Elephas namadicus
(gajah), Stegodon trigonocephalus
(gajah), Mastodon sp (gajah), Bubalus palaeokarabau (kerbau), Felis palaeojavanica (harimau), Sus sp (babi), Rhinocerus sondaicus (badak), Bovidae
(sapi, banteng), dan Cervus sp
(rusa dan domba). Fosil binatang air, antara lain Crocodillus sp (buaya), ikan dan kepiting, gigi ikan hiu, Hippopotamus sp (kuda nil), Mollusca (kelas Pelecypoda dan
Gastropoda ), Chelonia sp
(kura-kura), dan foraminifera
(Anonim, 2012).
Banyak
temuan, simpulan, dan teori yang ternyata menjadi dasar atau perhatian bagi
munculnya teori evolusi. Perhatikan pokok-pokok pikiran dari teori tentang
makhluk hidup berikut ini: Carolus
Linnaeus (1707-1778), membuat sebuah ketentuan cara mencari keteraturan
posisi antarmakhluk hidup dengan mencari persamaan sifat, dan mengelompokkan
yang mirip ke dalam satu kelompok. Pengelompokan dilakukan secara berjenjang
(diistilahkan dengan takson), mulai dari jenjang yang paling rendah (takson
spesies) sampai jenjang yang paling tinggi (takson kingdom). Jenjang ditentukan
dari pengelompokan dengan kemiripan sifat-sifat khusus, menempati takson
terendah, sampai pada jenjang untuk pengelompokan makhluk hidup dengan kategori
sifat-sifat umum pada takson yang paling tinggi. Georges Cuvier (1769-1832), seorang ahli anatomi, tetapi sangat
perhatian terhadap paleontologi (ilmu mengenai fosil). Cuvier mendukung teori
Katastropi (catastrophism) yang menyatakan bahwa makhluk hidup setiap strata
tidak ada hubungan kekerabatan karena setiap strata terbentuk akibat terjadinya
bencana alam, seperti gempa, banjir, atau kemarau yang panjang. Jika strata
lenyap oleh bencana, muncul strata baru lengkap dengan makhluk hidup baru, yang
berpindah dari daerah lain. Dari temuan fosil di lembah Paris, Cuvier
menyimpulkan bahwa batuan yang membentuk bumi ini tersusun berupa
lapisan-lapisan (strata). Setiap strata dihuni oleh berbagai makhluk hidup yang
unik, berbeda strukturnya dengan makhluk penghuni strata lainnya. Cuvier yakin
bahwa makhluk modern di lapisan bumi paling atas sangat berbeda dengan makhluk
di strata tua di lapisan bawah. James
Hutton (1726-1797), mengemukakan teori gradualisme, yang menyebutkan bahwa
bentuk bumi dan lapisan-lapisannya merupakan hasil perubahan yang berlangsung
secara bertahap, terus-menerus, dan lambat (dalam waktu lama). Charles Lyell (1797-1875), mengemukakan
teori Uniformitarianisme (keseragaman). Menurut Lyell, proses perubahan lapisan
batuan dan bentuk permukaan bumi dari zaman ke zaman selalu sama atau tidak
berubah. Charles Darwin, terinspirasi oleh teori Hutton dan Lyell dengan
membuat sebuah pemikiran bahwa perubahan bumi secara lambat menunjukkan bumi
sudah tua. Kemudian proses yang lambat, tetapi terus-menerus dalam waktu lama
pasti menghasilkan perubahan yang cukup besar. Jean Baptiste Lamarck (1744-1829), melihat adanya kecenderungan
makhluk sederhana berubah menjadi makhluk yang lebih kompleks dengan prinsip
adanya proses perubahan menuju kesempurnaan. Perubahan menjadi sempurna ini
menurut Lamarck karena harus beradaptasi pada lingkungannya. Proses adaptasi
ini dijelaskan Lamarck melalui dua hal. Pertama, adanya proses use
(menggunakan) dan disuse (tidak menggunakan) dari bagian-bagian tubuh
organisme, bergantung pada kebutuhannya. Charles
Darwin (1809-1882), menjelaskan bahwa evolusi menghasilkan keanekaragaman
hayati. Makhluk hidup mengalami evolusi melalui mekanisme seleksi alam.
Organisme yang kuatlah yang akan melestarikan jenisnya. Darwin, mengemukakan
pula adanya kemampuan adaptasi organisme agar mampu melewati seleksi alam.
Darwin menggambarkan fenomena ketiga hal ini melalui contoh yang terkenal,
yaitu gambar perkembangan leher jerapah. Alfred
Russel Wallace (1923-1913), mengembangkan teori yang serupa dengan teori
Darwin. Dasar teori wallace adalah penelitian Biologi perbandingan di Brasilia
dan Hindia Belanda (sekarang Indonesia), dan Malaya. Buku penelitiannya
berjudul “On the tendency of varieties to depart indefinitely from the original
type”. Teorinya sama dengan yang dikembangkan Darwin. August Weissman, menumbangkan teori Lamarck. Weismann memotong ekor
tikus beberapa generasi. Menurut teori Lamarck, hal tersebut akan menyebabkan
timbulnya jenis tikus yang tidak berekor. Namun, hasil percobaan Weismann
menunjukkan bahwa sampai generasi terakhir ekor tikus tetap sama panjangnya
(Supratman,2007).
KESIMPULAN
1.
Fosil
merupakan adalah sisa-sisa atau bekas-bekas makhluk hidup
yang menjadi batu
atau mineral
melalui proses fosilisasi. Nilai penting
fosil di sangiran terhadap studi Paleo-history
adalah fosil akan menunjukan sejarah pembentukan stratifikasi batuan
dimana selalu di sertai dengan perubahan dan perbedaan organisme yang pernah
hidup tiap lapisan tanah atau batuan yang berbeda. Dimana kawasan sangiran
banyak terdapat fosil moluska sehingga kawasan sangiran merupakan kubah yang
dahulunya berupa laut.
2.
keragaman
makhluk hidup beserta koleksi museum Sangiran sebagai berikut: Fosil manusia,
antara lain Australopithecus africanus
, Pithecanthropus mojokertensis (Pithecantropus robustus ), Meganthropus palaeojavanicus ,
Pithecanthropus erectus , Homo soloensis , Homo neanderthal Eropa, Homo neanderthal Asia, dan Homo sapiens . Fosil binatang bertulang
belakang, antara lain Elephas namadicus
(gajah), Stegodon trigonocephalus
(gajah), Mastodon sp (gajah), Bubalus palaeokarabau (kerbau), Felis palaeojavanica (harimau), Sus sp (babi), Rhinocerus sondaicus (badak), Bovidae
(sapi, banteng), dan Cervus sp
(rusa dan domba). Fosil binatang air, antara lain Crocodillus sp (buaya), ikan dan kepiting, gigi ikan hiu, Hippopotamus sp (kuda nil), Mollusca (kelas Pelecypoda dan
Gastropoda ), Chelonia sp
(kura-kura), dan foraminifera .
3.
Tokoh
pemapar hipotesis evolusi antara lain: Carolus Linnaeus (1707-1778), . Georges
Cuvier (1769-1832), James Hutton (1726-1797), Charles Lyell (1797-1875), Jean
Baptiste Lamarck (1744-1829), Charles Darwin (1809-1882), Alfred Russel Wallace
(1923-1913) dan August Weissman.
REFERENSI
Anonim. 2012. Sangiran/Wikipedia. Diakses 3 juni
2012.pukul 12.30 WIB.
Darundiyo Pandupitoyo. 2010. Bentuk Survival Homo Erectus di Lingkungan
Sangiran.Surabaya: Kanisius
Eprilurahman,
R. dan B. A. Suripto. 2005. Morfologi dan
Ukuran Fosil Anggota Familia Bovidae (Mammalia) Dari Jawa.
Kumpulan
Makalah Seminar Nasional Masyarakat Taksonomi Fauna Indonesia (MTFI)
Yogyakarta.
Supratman.2007. Evolusi dan Pemikir Konsep Evolusi.Surabaya:
Erlangga
No comments:
Post a Comment