Al-Qur’an adalah kitabullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk segenap manusia. Di dalamnya Allah
menyapa akal dan perasaan manusia, mengajarkan tauhid kepada manusia,
menyucikan manusia dengan berbagai ibadah, menunjukkan manusia kepada hal-hal
yang dapat membawa kebaikan serta kemaslahatan dalam kehidupan individual dan
sosial manusia, membimbing manusia kepada agama yang luhur agar mewujudkan
diri, mengembangkan kepribadian manusia, serta meningkatkan diri manusia ke
taraf kesempurnaan insani. Sehingga, manusia dapat mewujudkan kebahagiaan di
dunia dan akhirat.
Al-Qur’an juga mendorong manusia untuk merenungkan
perihal dirinya, keajaiban penciptaannya, serta keakuratan pembentukannya.
Sebab, pengenalan manusia terhadap dirinya dapat mengantarkannya pada ma’rifatullah,
sebagaimana tersirat dalam Surah at-Taariq [86] ayat 5-7.
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ . خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ .
يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ .
Maka, hendaklah manusia merenungkan, dari apa ia
diciptakan. Ia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara
tulang sulbi dan tulang dada. (Q.S. at-Taariq [86]: 5-7)
Berkaitan dengan hal ini, terdapat sebuah atsar
yang menyebutkan bahwa “Barang siapa mengenal dirinya, niscaya ia mengenal
Tuhan-nya.”
Di samping itu, Al-Qur’an juga memuat petunjuk
mengenai manusia, sifat-sifat dan keadaan psikologisnya yang berkaitan dengan
pembentukan gambaran yang benar tentang kepribadian manusia, motivasi utama
yang menggerakkan perilaku manusia, serta faktor-faktor yang mendasari
keselarasan dan kesempurnaan kepribadian manusia dan terwujudnya kesehatan jiwa
manusia.
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba melihat
sejauh mana hakikat manusia menurut perspektif Al-Qur’an. Di awal pembahasan,
penulis akan memaparkan secara sekilas definisi manusia dan asal-usul
penciptaannya. Semoga tulisan sederhana ini bisa menambah inspirasi untuk
memantapkan kembali eksistensi kita sebagai manusia.
Definisi Manusia
Ketika berbicara tentang manusia, Al-Qur’an
menggunakan tiga istilah pokok. Pertama, menggunakan kata yang terdiri
atas huruf alif, nun, dan sin, seperti kata insan,
ins, naas, dan unaas. Kedua, menggunakan kata basyar.
Ketiga, menggunakan kata Bani Adam dan dzurriyat Adam.
Menurut M. Quraish Shihab, kata basyar
terambil dari akar kata yang bermakna penampakan sesuatu dengan baik dan
indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit.
Al-Qur’an menggunakan kata basyar sebanyak 36 kali dalam bentuk
tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna untuk menunjuk manusia dari
sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Dengan
demikian, kata basyar dalam Al-Qur’an menunjuk pada dimensi material
manusia yang suka makan, minum, tidur, dan jalan-jalan. Dari makna ini lantas
lahir makna-makna lain yang lebih memperkaya definisi manusia. Dari akar kata
basyar lahir makna bahwa proses penciptaan manusia terjadi secara bertahap
sehingga mencapai tahap kedewasaan.
Allah swt. berfirman:
َ وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ
خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia
menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang
berkembang biak. (Q.S. ar-Rum [30]: 20)
Selain itu, kata basyar juga dikaitkan
dengan kedewasaan manusia yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab.
Akibat kemampuan mengemban tanggung jawab inilah, maka pantas tugas
kekhalifahan dibebankan kepada manusia. Hal ini sebagaimana firman Allah
berikut ini.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي
خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ . فَإِذَا سَوَّيْتُهُ
وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada
para malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah
liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka, apabila
Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh
(ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (Q.S. al-Hijr
[15]: 28-29):
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي
جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا
وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ
إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ .
(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang
yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan
berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S.
al-Baqarah [2]: 30)
Sementara itu, kata insan terambil dari
kata ins yang berarti jinak, harmonis, dan tampak.
Musa Asy’arie menambahkan bahwa kata insan berasal dari tiga kata: anasa
yang berarti melihat, meminta izin, dan mengetahui; nasiya yang
berarti lupa; dan al-uns yang berarti jinak. Menurut M. Quraish
Shihab, makna jinak, harmonis, dan tampak lebih
tepat daripada pendapat yang mengatakan bahwa kata insan terambil dari
kata nasiya (lupa) dan kata naasa-yanuusu (berguncang). Dalam
Al-Qur’an, kata insaan disebut sebanyak 65 kali. Kata insaan
digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya,
jiwa dan raga. Bahkan, lebih jauh Bintusy Syathi’ menegaskan bahwa makna kata insaan
inilah yang membawa manusia sampai pada derajat yang membuatnya pantas menjadi
khalifah di muka bumi, menerima beban takliif dan amanat kekuasaan.
Dua kata ini, yakni basyar dan insaan,
sudah cukup menggambarkan hakikat manusia dalam Al-Qur’an. Dari dua kata ini,
kami menyimpulkan bahwa definisi manusia adalah makhluk Allah yang paling
sempurna, yang diciptakan secara bertahap, yang terdiri atas dimensi jiwa dan
raga, jasmani dan rohani, sehingga memungkinkannya untuk menjadi wakil Allah di
muka bumi (khaliifah Allah fii al-ardl).
Asal-Usul Penciptaan Manusia
Al-Qur’an telah memberikan informasi kepada kita mengenai
proses penciptaan manusia melalui beberapa fase: dari tanah menjadi lumpur,
menjadi tanah liat yang dibentuk, menjadi tanah kering, kemudian Allah swt.
meniupkan ruh kepadanya, lalu terciptalah Adam a.s. Hal ini diisyaratkan Allah
dalam Surah Shaad [38] ayat 71-72.
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ
. فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ .
(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka, apabila
telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)-Ku, maka
hendaklah kamu menyungkur dengan bersujud kepadanya.” (Q.S. Shaad [38]: 71-72.)
Perhatikan juga firman Allah dalam Surah al-H{ijr
[15] ayat 28-29.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ
صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ . فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ
رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ .
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada
para malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah
liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka, apabila
Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh
(ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (Q.S. al-Hijr
[15]: 28-29)
Dalam Al-Qur’an, kata ruh (ar-ruh)
mempunyai beberapa arti. Pengertian ruh yang disebutkan dalam ayat-ayat yang
menjelaskan penciptaan Adam a.s. adalah ruh dari Allah swt. yang menjadikan
manusia memiliki kecenderungan pada sifat-sifat luhur dan mengikuti kebenaran.
Hal ini yang kemudian menjadikan manusia lebih unggul dibanding seluruh makhluk
yang lain. Karakteristik ruh yang berasal dari Allah ini menjadikan manusia
cenderung untuk mengenal Allah swt. dan beribadah kepada-Nya, memperoleh ilmu
pengetahuan dan menggunakannya untuk kemakmuran bumi, serta berpegang pada
nilai-nilai luhur dalam perilakunya, baik secara individual maupun sosial, yang
dapat mengangkat derajatnya ke taraf kesempurnaan insaniah yang tinggi. Oleh
sebab itu, manusia layak menjadi khalifah Allah swt.
Ruh dan materi yang terdapat pada manusia itu
tercipta dalam satu kesatuan yang saling melengkapi dan harmonis. Dari
perpaduan keduanya ini terbentuklah diri manusia dan kepribadiannya. Dengan
memperhatikan esensi manusia dengan sempurna dari perpaduan dua unsur tersebut,
ruh dan materi, kita akan dapat memahami kepribadian manusia secara akurat.
Kemudian, dalam ayat lain juga disebutkan
mengenai permulaan penciptaan manusia yang berasal dari tanah.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ
فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ
ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ
وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ
طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّى وَمِنْكُمْ
مَنْ يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِنْ بَعْدِ عِلْمٍ
شَيْئًا وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ
اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ .
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang
kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya kami telah menjadikan
kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah,
kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak
sempurna, agar kami jelaskan kepada kamu dan kami tetapkan dalam rahim, apa
yang kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian kami keluarkan
kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada
kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara
kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi
sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan, kamu lihat bumi ini kering,
kemudian apabila telah kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan
suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. (Q.S.
al-Hajj [22]: 5)
ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ . ثُمَّ خَلَقْنَا
النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ
عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آَخَرَ
فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ .
Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan
segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang-belulang itu kami
bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain.
Maka, Mahasuci-lah Allah, Pencipta yang paling baik. (Q.S. al-Mu’minuun [23]:
13-14)
Itulah di antara sekian banyak ayat Al-Qur’an
yang menjelaskan tentang asal-usul penciptaan manusia. Penciptaan manusia yang
bermula dari tanah ini tidak berarti bahwa manusia dicetak dengan memakai bahan
tanah seperti orang membuat patung dari tanah. Akan tetapi, penciptaan manusia
dari tanah tersebut bermakna simbolik, yaitu saripati yang merupakan faktor
utama dalam pembentukan jasad manusia. Penegasan Al-Qur’an yang menyatakan
bahwa manusia diciptakan dari tanah ini merujuk pada pengertian jasadnya. Oleh
karena itu, Al-Qur’an menyatakan bahwa kelak ketika ajal kematian manusia telah
sampai, maka jasad itu akan kembali pula ke asalnya, yaitu tanah.
Secara komprehensif, Umar Shihab memaparkan bahwa
proses penciptaan manusia terbagi ke dalam beberapa fase kehidupan sebagai
berikut. Pertama, fase awal kehidupan manusia yang berupa tanah.
Manusia berasal dari tanah disebabkan oleh dua hal: (1) manusia adalah
keturunan Nabi Adam a.s. yang diciptakan dari tanah; (2) sperma atau ovum yang
menjadi cikal bakal manusia bersumber dari saripati makanan yang berasal dari
tanah. Kedua, saripati makanan yang berasal dari tanah tersebut
menjadi sperma atau ovum, yang disebut oleh Al-Qur’an dengan istilah nutfah.
Ketiga, kemudian sperma dan ovum tersebut menyatu dan menetap di rahim
sehingga berubah menjadi embrio (‘alaqah). Keempat, proses
selanjutnya, embrio tersebut berubah menjadi segumpal daging (mudlghah).
Kelima, proses ini merupakan kelanjutan dari mudlghah. Dalam
hal ini, bentuk embrio sudah mengeras dan menguat sampai berubah menjadi tulang
belulang (‘idzaam). Keenam, proses penciptaan manusia
selanjutnya adalah menjadi daging (lahmah). Ketujuh, proses
peniupan ruh. Pada fase ini, embrio sudah berubah menjadi bayi dan mulai
bergerak. Kedelapan, setelah sempurna kejadiannya, akhirnya lahirlah
bayi tersebut ke atas dunia.