MAKALAH
Hubungan
Politik dan Keagamaan Antar Kerajaan Islam
Di
Indonesia serta Pembentukan Budaya
Mata Kuliah Sejarah Kebudayaan Islam II
Dosen
pembimbing : Drs. H. A. Burhanudin, M.Pd.I
Disusun oleh :
Nama : - Fatimah Khairul U (16)
- Kesi Puspita A
R (21)
- Khidir
Hidayatullah (22)
- Siti Nur Hayati (40)
- Sri Karyani (42)
- Sri Mulyono (43)
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Jurusan : Tarbiyah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH
(STAIM ) KLATEN
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun haturkan kepada Allah SWT, atas
rahmat dan hidayah-NYA. Sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas Sejarah
Kebudayaan Islam II dengan judul “Hubungan Politik dan Keagamaan antar
Kerajaan Islam di Indonesia serta Pembentukan Budaya”. Salam dan sholawat
semoga tetap tercurah kepada uswatun hasanah Nabi Muhammad SAW beserta
keluarga, sahabat, dan umatnya hingga hari akhir zaman.
Tugas ini kami susun sebagai bagian
dari tugas mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam II dan sebagai bahan diskusi mahasiswa,
untuk memahami bagaimana hubungan
politik dan keagamaan antar kerajaan islam di indonesia.
Dalam penyusunan tugas ini banyak
kekurangan dan kami mengharapkan saran
dari pembaca untuk pembenaran tugas ini. Dan semoga penyusunan tugas ini
bermanfaat bagi pembaca semuanya. Aamiin.
Klaten, 19 Maret 2014
Team Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ ...... 1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 2
A. Pengertian Politik dan Keagamaan...............................................................
2
B. Hubungan Politik dan Keagamaan antar kerajaan Islam di
Nusantara ........ 3
C.
Pembentukan
Budaya ........................................................................ ..... 4
1.
Pola Samudera
Pasai ....................................................................... ..... 4
2.
Pola Sulawesi
Selatan .................................................................... ..... 5
3.
Pola Jawa
..................................................................................
..... 5
BAB III PENUTUP ................................................................................... ..... 9
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara kepulauan yang merdeka sejak
tahun 1945. Sebelum Negara ini merdeka, di Indonesia terdapat beberapa kerajaan
yang berdiri di dalamnya. Kerajaan-kerajaan itu pada mulanya menganut ajaran
agama hindu-budha, karena agama itulah yang pertama di
indonesia. Kemudian terbentuklah
kerajaan-kerajaan islam karena adanya pengaruh dari pedagang-pedagang dari
jazirah arab yang datang untuk berdagang dan menyebarkan agama islam yang
terjadi pada abad ke-7 Masehi dan baru pada abad ke-13 berdirilah kerajaan
islam diberbagai penjuru nusantara yang merupakan kebangkitan kekuatan politik umat islam.
Ada beberapa kerajaan-kerajaan islam
yang berdiri di nusantara,
baik di pulau jawa atau di luar jawa sebelum penjajahan belanda.
Kerajaan-kerajan tersebut membawa pengaruh yang sangat besar dalam corak budaya
dan perkembangan Negara..
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian
Politik dan keagamaan
Politik diambil dari kata “Polis” yang artinya dalam bahasa Yunani
kuno “Kota atau City”. Dan “kota” dalam bahasa itu adalah Negara yang berkuasa,
menurut istilah sekarang.[1]
Sedangkan menurut bahasa Inggris, kata politik berasal dari kata politic
adalah yang menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan. Secara leksikal, kata
asal tersebut berarti acting or judging wisely, well judged, prudent.[2]
Kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti,[3]
yaitu Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dan sebagainya)
mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat
atau kelicikan, dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin
pengetahuan, yaitu Ilmu Politik.
Sedangkan menurut Istilah, Deliar Noer
mengatakan bahwa politik adalah segala aktivitas atau sikap yang berhubungan
dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah
atau mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat.[4]
Miriam Budiardjo mengatakan pada umumnya politik itu merupakan bermacam-macam
kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses
menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.[5]
Agama merupakan keyakinan atau kepercayaan. Keagamaan di Indonesia lebih sering
dikatakan dengan Islam. Karena mayoritas agama di Indonesia adalah Islam. Di
dalam Islam, agama merupakan pegangan atau pedoman yang dijadikan setiap orang
sebagai landasan dalam kehidupan sehari-hari.
- Hubungan
Politik dan Keagamaan antara kerajaan Islam di Nusantara
Hubungan antara satu kerajaan Islam dengan kerajaan Islam lainnya pertama-tama
memang terjalin karena persamaan agama. Hubungan itu pada mulanya, mengambil
bentuk kegiatan dakwah, kemudian berlanjut setelah kerajaan-kerajaan Islam
berdiri. Demikianlah misalnya antara Giri dengan daerah-daerah Islam di
Indonesia bagian Timur, terutama Maluku. Adalah dalam rangka penyebaran Islam
itu pula, Fadhilah Khan dari Pasai datang ke Demak, untuk memperluas
wilayah kekuasaan ke Sunda Kelapa.
Dalam bidang politik, agama pada mulanya dipergunakan untuk memperkuat diri
dalam menghadapi pihak-pihak atau kerajaan-kerajaan yang bukan Islam, terutama
yang mengancam kehidupan politik maupun ekonomi. Persekutuan antara Demak
dengan Cirebon dalam menaklukkan Banten dan Sunda Kelapa dapat diambil sebagai
contoh. Contoh lainnya adalah persekutuan kerajaan-kerajaan Islam dalam
menghadapi Portugis dan Kompeni Belanda yang berusaha memonopoli pelayaran dan
perdagangan.
Meskipun demikian, kalau kepentingan politik dan ekonomi antar
kerajaan-kerajaan Islam itu sendiri terancam, persamaan agama tidak menjamin
bahwa permusuhan tidak ada. Peperangan di kalangan kerajaan-kerajaan Islam
sendiri sering terjadi. Misalnya, antara Pajang dan Demak, Ternate dan Tidore,
Gowa-Tallo dan Bone. Oleh karena kepentingan yang berbeda di antara
kerajaan-kerajaan itu pula, sering satu kerajaan Islam meminta bantuan pada
pihak lain, terutama Kompeni Belanda, untuk mengalahkan kerajaan Islam yang
lain.
Hubungan antar kerajaan-kerajaan Islam lebih banyak terletak dalam bidang
budaya dan keagamaan. Samudera Pasai dan kemudian Aceh yang dikenal dengan Serambi
Makkah menjadi pusat pendidikan dan pengajaran Islam. Dari sini
ajaran-ajaran Islam tersebar keseluruh pelosok Nusantara melalui karya-karya
ulama dan murid-muridnya yang menuntut ilmu ke sana. Demikian pula halnya
dengan Giri di Jawa Timur terhadap daerah-daerah di Indonesia bagian timur.
Karya-karya sastra dan keagamaan dengan segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam.
Tema dan isi-isi karya itu sering kali mirip antara satu dengan yang lain.
Kerajaan Islam itu telah merintis terwujudnya idiom kultural yang sama,
yaitu Islam. Hal ini menjadi pendorong terjadinya interaksi budaya yang makin
erat.[6]
- Pembentukan Budaya
Dalam rentang waktu sejak akhir abad
ke-13, ketika samudera pasai berdiri, sampai abad ke-17, di saat istana
Gowa-Tallo resmi menganut islam, menurut Taufik Abdullah, setidaknya
tiga pola pembentukan budaya, yang memperlihatkan bentuknya dalam proses pembentukan
negara telah terjadi.[7]
ketiga pola itu ialah:
- Pola
Samudera Pasai
Lahirnya
kerajaan Samudera Pasai berlangsung melalui perubahan dari negara yang segmenter
ke negara yang terpusat. Sejak awal perkembangannya, samudera pasai menunjukkan
banyak pertanda dari pembentukan suatu negara baru. Kerajaan ini tidak saja
berhadapan dengan golongan-golongan yang belum ditundukkan dan diislamkan dari
wilayah pedalaman, tetapi juga harus menyelesaikan pertentangan politik serta
pertentangan keluarga yang berkepanjanga. Dalam proses perkembangannya menjadi
negara terpusat, samudera pasai juga menjadi pusat pengajaran agama.
Reputasinya sebagai pusat agama terus berlanjut walaupun kemudian kedudukan
ekonomi dan politiknya menyusut.
Dengan pola
tersebut, samudera pasai memiliki “kebebasan budaya” untuk memformulasikan struktur dan sistem
kekuasaan, yang mencerminkan gambaran dengan dirinya. Pola yang sama dapat pula disaksikan
pada proses terbentuknya kerajaan Aceh Darussalam.
- Pola
Sulawesi Selatan
Pola ini
adalah pola islamisasi melalui konversi keraton atau pusat kekuasaan. Dalam
sejarah islam di asia tenggara, pola ini didahului oleh berdirinya kerajaan
islam malaka. Proses islamisasi berlangsung dalam suatu struktur negara yang
telah memiliki basis legitimasi geneologis. Konversi agama menunjukkan
kemampuan raja. Penguasa terhindar dari penghinaan rakyatnya dalam masalaah
kenegaraan.
Pola
islamisasi melalui konversi keraton atau pusat kekuasaan seperti itu, di
indonesia terjadi juga di sulawesi selatan, maluku dan banjarmasin.
Tidak seperti samudera pasai, islamisasi di gowa-tallo, ternate, banjarmasin, dan sebagainya yang
mempunyai pola yang sama, tidak memberi landasan bagi pembentukan negara. Islam
tidak mengubah desa menjadi suatu bentuk baru dari organisasi kekuasaan,
seperti yang terjadi di samudera pasai. Konversi agama dijalankan, tetapi
pusat kekuasaan telah ada lebih dahulu.
- Pola
Jawa
Di jawa,
islam mendapatkan suatu sistem politik dan struktur kekuasaan yang telah lama
mapan, berpusat dikeraton pusat majapahit. Sebenarnya komunitas pedagang muslim
mendapat tempaat dalam pusat-pusat politik pada abad ke-11. Komunitas itu makin
membesar pada abad ke-14. Ketika posisi raja melemah, para saudagar kaya
diberbagai kadipaten di wilayah pesisir mendapat peluang besar untuk menjauhkan
diri dari kekuasaan raja. Mereka kemudian tidak hanya masuk islam tetapi juga
membangun pusat-pusat politik yang independent. Setelah kraton pusat menjadi
goyah, karaton-kraton kecil mulai bersaing untuk menggantikan kedudukannya.
Demak akhirnya berhasil menggantikan majapahit. Dengan posisi baru ini, demak
tidak saja menjadi pemegang hegemoni politik, tetapi juga menjadi “jembatan
penyeberangan” islam yang paling penting di jawa.
Walaupun
mencapai keberhasilan politik dengan cepat, demak tidak saja harus menghadapi
masalah legitimasi politik, tetapi juga panggilan kultural untuk kontunuitas.
Dilema kultural dari dominasi politik islam di dalam suasana tradisi siswa-budhistik
telah jauh menukik kedalam kesadaran. Hal itu akan jelas ketika kraton dipindahkan oleh jaka
tingkir ke pajang dipedalaman dan semakin jelas ketika mataram berhasil
menggantikan kedudukan pajang tahun 1588 M.
Tidak
seperti pola samudera pasai, islam mendorong pembentukan negara yang supraa-desa,
juga tidak seperti gowa-tallo, karaton yang diislamkan. Di jawa islam tampil
sebagai penantang, untuk kemudian mengambil alih kekuasaan yang ada. Jadi, yang
tampil adalah suatu dilema kultural dari orang baru di dalam bangunan politik
yang lama.
Menurut Taufik
Abdullah, pola samudera pasai dan pola sulawesi selatan
menunjukkan cara yang berbeda, suatu kecenderungan ke arah pembentukan tradisi
yang bercorak integratif. Inilah tradisi, di mana islam mengalami proses
pempribumian secara konseptual dan stuktural. Islam menjadi bagian intrinsik dari sistem kebudayaan secara
keseluruhan. Islam dipandang sebagai landasan masyarakat budaya dan kehidupan
pribadi. Dikerajaan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda,
di samping membangun masjid Baitur Rahman dan beberapa masjid di daerah lain,
juga memerintahkan rakyat sembahyang lima waktu, puasa ramadhaan, dan puasa
sunnah, serta menjauhkan diri dari minum arak dan bermain judi. Aceh di zaman sultan iskandar muda
mengkonsolidasikan dirinya sebagai “serambi mekkah”. Pada masa itu pula,
dirumuskannya “hukum dan adat adalah ibarat kuku dan daging”. Ulama’
adalah sejarah aceh menjadi perumus realitas dan pengesah kekuasaan.
Dikerajaan
bone, kerajaan bugis paling besar yang masuk islam tahun 1610 M, rajanya ke-13 la Maddaremmeng (1631-1644M),
menggabungkan hukum islam ke dalam lembaga tradisional bone. Ia juga
mencanangkan “gerakan pembaharuan keagamaan” dengan memerintahkan kaulanya
untuk mematuhi ajaran islam secara total. Dikerajaan gowa-tallo, kalau sebelum
islam hanay terdapat empat unsur yang mengawasi negara, yaitu ade, yang
mengawasi rakyat, rappang, yang memperkuat negara, wari, yang
memperkuat ikatan keluarga, dan bicara, yang mengawasi perbuatan
sewenang-wenang, setelah islam, unsur itu ditambah satu lagi yaitu sara’,
yaitu kewajiban agama. Untuk itu dibentuk lembaga yang dinamakan dengan parewa
sara’, pejabat agama, sebagai pendamping parewa ade, pejabat adat.
Hal itu dimaksudkan untuk menciptakan aturan-aturan sosial yang tidak boleh
bertentangan dengan ajaran agama yang diajukan oleh parewa sara’.
Dalam
tradisi integrasi ini, tidak semua budaya pra-islam otomatis ditinggalkan.
Sisa-sisa pra-islam masih terdapat dalam kehidupan masyarakat, tetapi sudah
dijadikaan sebagai bagian dari apa yang dianggap _ dalam tahap perkembangan
sejarah _ sebagai bagian “dunia islam”. Makna dan signifikansi unsur-unsur itu,
bila bukan substansinya, mengalami proses “islamisasi”. Pencarian kearah bentuk
ortodoksi yang sesuai adalah salah satu corak dinamika tradisi integrasi ini.
Di jawa, demak tidak saja harus mengalami masalah
legitimasi politik,tetapi juga ,panggilan kultural untuk kontinuitas.Tanpa
itu,ia tidak akan pernahdi akui sebagaisesuat yang jatuh padaorang
terpilih,harus tetap berlaku. Konsep
ini memberi dasar yang sah bagi penguasa keratonyang baru dan menjadi dasar
idiologis bagimonopoli kekuasaan. Dengan ini raja menjadi pusat alam semestadan
sumber kekuasaan. Atas dasar itulah ,raja jawa juga bergelar susuhunan,gelar
yang biasanya di gunakan oleh para pemimpin agama dan panatagama.
: pelindung dan pengatur agama. Tradisi jawa ini memperlihatkan wujutnya
setelah hegomoni politik jawa begeser dari pesisir ke pedalaman.
Perpindahan keraton itu menyebabkan tiga lembaga utama
keraton sebagai pusat kekuasaan,pasar dan pesantren sebagai pusat keagamaan
terpisah. Untuk memantapkan diri sebagai pemegang hegemoni politik,pasar dan
pesantren di perangi. Akan tetapi,pesantren tidak lenyap,bahkan ia berkembang
menjadi saingan keraton,karena ia juga beroeran sebagai perumus realitas .
Sebagai pesaing,pesantren menjadi tempat pesaing bagi krabat raja yang tidak di
sukai dan tempat berlindung bagi para bangsawan yang kecewa. Dalam proses
itu,muncul suatu tipe tradisi tertentu , “tradisi dialok ‘. Tradisi ini adalah
arena tempat pengertian kontinuitas dan dorongan kearah prubahan sosial budaya
yang harus menemukan lapangan bersama. Dalam perspektif politik dialog ini
merupakan suatu suasana yang salah suatu kelompok pesantren dan kraton
menganggap yang lain sebagai penantang dan susunan dialog antara kebudayaan.
Secara antropologis,tradisi dialog itu merupakan ranah tempat unsur abangan
harus menghadapi penetrasi trus menerus dari pemikiran yangyang di ajukan oleh
unsur santri. Dinamika tradisi ini terletak pada bagaimana menciptakan keakuran
dunia pesantren dan dunia keraton. Ada saat antara tradisi pesantren dan
tradisi kraton itu “bertengkar”,tetapi ada pula saatnya mereka “mesra”. Tugas
raja adalah menciptakan keserasian , bukan menyebarkan agama. Karena itu, kalau di Aceh, sultan
membangun masjud, di jawa mesjid Demak di bagun oleh wali songo.[8]
BAB III
PENUTUP
Kepentingan politik
dan ekonomi antar kerajaan-kerajaan Islam itu sendiri terancam, persamaan agama
tidak menjamin bahwa permusuhan tidak ada. Peperangan di kalangan kerajaan-kerajaan
Islam sendiri sering terjadi.
Ada tiga pola yang ditemukan dalam pembentukan
budaya, yakni antara lain:
1. Pola samudera pasai
2. Pola sulawesi selatan.
3.
Pola jawa.
Lahirnya kerajaan samudera pasai berlangsung
melalui perubahan dari negara segmenter ke negara terpusat. Pola sulawesi
selatan adalah pola islamisasi melalui konversi keraton atau pusat kekuasaan.
Hal ini di indonesia terjadi juga di sulawesi selatan, maluku, dan
banjarmasin.di jawa islam tampil sebagai penantang, untuk kemudian mengambil
alih kekuasaan yang ada. Tidak seperti pola samudera pasai, islam mendorong
pembentukan negara yang supra desa, juga tidak seperti gowa-tallo, keraton yang
diislamkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Muin
Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Islam, Jakarta : Rajawali
Pers, 1995.
Afan Gaffar. “ Politik
Akomodasi: Islam dan Negara dan Indonesia" dalam M. Imam Aziz, dkk., Agama,
Demokrasi dan Keadilan. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama. 1993.
Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Bahtiar
Effendy, Islam dan Negara, Jakarta : Paramadina, 1998.
Deliar Noer, Pengantar
ke Pemikiran Politik, Jakarta : Rajawali, 1983.
Fuad Mohd.
Fachruddin, Pemikiran Politik Islam, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya,
1986.
Hassan, Hassan Ibrahim. Sejarah dan kebudayaan
islam. Yogyakarta: Kota
Kembang.
1989
Miriam
Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia, 1982.
Poerwadarminta,
Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1983.
Tebba,
Sudirman, “Islam di Indonesia : Dari Minoritas Politik Menuju Mayoritas
Budaya”, Jurnal Ilmu Politik, No. 4, 1989.
Yatim, Badri. Sejarah peradaban
islam.Jakarta: Rajawali Pers. 2010
[2] Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan
Politik dalam Islam, Jakarta, Rajawali Pers, 1995.
hlm. 35.
(Jakarta:
LP3ES, 1989, Cetakan Pertama).
Wah ini artikel yang saya cari tentang Makalah Keagamaan di Indonesia buat ngerjain tugas neh... Makasih ya...
ReplyDeleteYa.. Sama-sama, semoga bermanfaat!!
Delete