Allah Ta’ala berfirman:
“Dan
mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: ‘Ruh itu termasuk urusan
Rabbku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (Al-Isra: 85)
Sebab
Turunnya Ayat
Diriwayatkan
oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya dari hadits ‘Alqamah
dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu 'anhu berkata:
Ketika
aku berjalan bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di sebuah daerah
pertanian dalam keadaan beliau bertumpuan pada sebuah tongkat dari pelepah
korma, tiba-tiba lewat beberapa orang Yahudi. Sebagian mereka berkata kepada
sebagian lainnya: “Tanyakan pada dia tentang ruh.” Sebagian dari
mereka berkata: “(Jangan tanya dia). Jangan sampai dia mendatangkan
sesuatu yang kalian benci.” Berkata lagi (sebagiannya): Tanyalah
dia.” Mereka pun bertanya tentang ruh, maka Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam diam dan tidak menjawab sedikitpun. Aku tahu
wahyu sedang diturunkan kepada beliau, maka akupun berdiri dari tempatku.
Turunlah firman Allah: “Mereka bertanya kepadamu tentang ruh, maka
katakanlah bahwa itu urusan Rabb-ku dan kalian tidaklah diberi ilmu tentangnya
kecuali sedikit.” (HR. Al-Bukhari no. 4352 dan Muslim no. 5002)
Penjelasan
Ayat
Di
kalangan ulama terjadi perselisihan tentang maksud dari kata ruh yang terdapat
di dalam ayat ini. Beberapa pendapat, di antaranya ada yang mengatakan bahwa
yang dimaksud adalah ruh manusia. Ada lagi yang mengatakan ruh hewan
dan ada pula yang mengatakan yang dimaksud adalah Jibril.
Ada
pula yang mengatakan maksudnya adalah ‘Isa bin Maryam 'alaihissalam, ada
yang mengatakan Al Qur’an, ada yang mengatakan wahyu, dan ada
yang mengatakan malaikat yang berdiri sendiri sebagai shaff pada hari
kiamat. Ada lagi yang mengatakan maksudnya adalah sosok malaikat yang
memiliki sebelas ribu sayap dan wajah. Ada pula yang mengatakan ia adalah
suatu makhluk yang bernama ruh yang bentuknya seperti manusia, mereka makan dan
minum, dan tidak turun satu malaikat dari langit melainkan ia turun bersamanya.
Dan ada lagi yang berpendapat lain. (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 8/254. Lihat pula
Tafsir Al-Qurthubi, 10/324, Tafsir Ibnu Katsir, 3/62)
Namun
mayoritas ahli tafsir memilih pendapat yang mengatakan bahwa yang
dimaksud adalah ruh yang terdapat pada kehidupan jasad manusia. Yaitu
bagaimana keadaan ruh tersebut, tempat berlalunya di dalam tubuh manusia, dan
bagaimana cara dia menyatu dengan jasad dan hubungannya dengan kehidupan. Ini
adalah sesuatu yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa
Ta'ala. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 10/324)
Al-Qurthubi
rahimahullah berkata: “Yang benar adalah di-mubham-kan (pengetahuan tentang
ruh dibiarkan seperti itu, yaitu tersamar) berdasarkan firman-Nya: “Ruh
itu dari perkara Rabb-ku,” yaitu merupakan perkara besar dari urusan Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan tidak diberikan perinciannya agar seseorang mengetahui
secara pasti kelemahannya untuk mengetahui hakikat dirinya dalam keadaan dia
meyakini wujud ruh tersebut. Apabila seorang manusia lemah (mengalami
kesulitan) dalam mengetahui hakikat dirinya, maka terlebih lagi (kelemahannya)
untuk menjangkau hakikat Al-Haq (Allah). Hikmahnya adalah (untuk
menunjukkan bahwa) akal memiliki kelemahan untuk menjangkau pengetahuan
tentang makhluk yang dekat dengannya (yaitu ruh). Dengan demikian
memberikan pengetahuan kepada akal bahwa menjangkau (pengetahuan)
tentang Rabb-Nya lebih lemah lagi.” (Tafsir Al-Qurthubi, 10/324)