Definisi Sihir
Secara etimologis atau bahasa, sihir diartikan sebagai sesuatu yang
halus dan tersembunyi sebabnya (Mukhtar Ash-Shihah, hal. 208 dan
Al-Qamus, hal. 519). Oleh karena itu waktu sahur di malam hari disebut
dengan sahur karena aktivitas-aktivitas yang dilakukan pada waktu itu
tersembunyi.
Adapun secara terminologis (istilah), terjadi perbedaan pendapat di
antara ulama dalam mengungkapkan dan mendefinisikan sihir. Di antara
mereka ada yang mendefinisikan sihir sebagai jimat-jimat, jampi-jampi,
dan buhul-buhul yang berpengaruh pada hati dan badan, yang mengakibatkan
sakit, mati, terpisahkannya antara suami dan isteri atas izin Allah. Di
antara mereka adalah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Sulaiman
Al-Qar’awi dalam kitab Al-Jadid fi Syarah Kitabut Tauhid (hal. 153),
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin di dalamkitab Al-Qaulul
Mufid (2/5), dan Asy-Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan dalam kitab
At-Tauhid.
Asy-Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi t mengatakan: “Ketahuilah bahwa
sihir tidak akan bisa didefinisikan dengan definisi yang menyeluruh dan
lengkap karena terkandung banyak permasalahan. Dan dari sinilah berbeda
ungkapan para ulama dalam mendefinisikan dan perselisihan yang jelas.”
(Adhwa-ul Bayan, 4/444)
Namun dari kedua tinjauan ini, sangat jelas bahwa sihir memiliki hakikat
dan pengaruh dalam kehidupan manusia. Sihir merupakan bentuk perbuatan
tersembunyi yang akan memberi pengaruh terhadap badan, pikiran, dan hati
seseorang dengan bantuan ‘makhluk halus’ baik melalui jampi-jampi,
ikatan-ikatan buhul yang berakibat merusak badan, pikiran, dan hati
seseorang.
Hakikat Sihir
Merupakan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah bahwa sihir itu hakiki dan
mempunyai pengaruh pada seseorang yang disihir. Keyakinan ini dibangun
di atas dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Allah berfirman:
“Dan mereka mengikuti apa-apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa
kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu yang
mengerjakan sihir). Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan
sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir), dan
mereka mengajarkan sihir kepada manusia.” (Al-Baqarah: 102)
“Mereka berkata: Sesungguhnya dua orang ini (Musa dan Harun) adalah
benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kalian dari negeri kalian
dengan sihirnya, serta hendak melenyapkan kedudukan kalian yang utama.
Maka himpunkanlah segala daya (sihir) kalian kemudian datanglah dengan
berbaris dan sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menang pada hari
ini. Setelah mereka berkumpul, mereka berkata: ‘Hai Musa, (pilihlah)
apakah kamu yang melempar dahulu atau kamilah yang mula-mula
melemparkan?’ Musa berkata: ‘Silakan kalian melemparkan.’ Maka tiba-tiba
tali dan tongkat mereka terbayang kepada Musa seakan-akan dia merayap
dengan cepat lantaran sihir mereka. Maka Musa merasa takut dalam
hatinya. Kami (Allah) berkata: ‘Janganlah kamu takut, sesungguhnya
kamulah yang paling unggul (menang). Lemparkanlah apa yang ada di tangan
kananmu, niscaya dia akan menelan apa yang mereka perbuat. Sesungguhnya
apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka) dan
tidak akan menang tukang sihir itu dari mana pun dia datang’.” (Thaha:
63-69)
“Maka tatkala melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan
orang banyak itu takut serta mereka mendatangkan sihir yang besar.”
(Al-A’raf: 116)
Dan masih banyak ayat-ayat lain yang menjelaskan hakikat sihir tersebut.
Adapun dalil dari As Sunnah adalah sebagai berikut. Abu Hurairah z
berkata, Rasulullah r bersabda:
“Jauhilah tujuh perkara yang akan membinasakan.” Para shahabat
bertanya: “Apa itu?” Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah, sihir,
membunuh jiwa tanpa alasan yang haq, makan riba, memakan harta anak
yatim, lari dari medan perang, dan menuduh orang-orang yang beriman yang
menjaga diri dari maksiat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Masih banyak dalil lain yang menunjukkan bahwa sihir itu hakiki dan
mempunyai pengaruh. Asy-Syaikh Hafidz bin Ahmad Al-Hakami t mengatakan:
“Sihir adalah sesuatu yang benar-benar ada dan pengaruhnya tidak
terlepas dari takdir Allah sebagaimana Allah berfirman: Mereka belajar
dari keduanya perkara yang akan memecah belah hubungan suami istri dan
mereka tidak akan bisa berbuat mudharat kepada seorang pun kecuali
dengan izin Allah (Al-Baqarah: 102). Dan pengaruhnya ada sebagaimana
dalam hadits-hadits yang shahih.” (A’lamus Sunnah Al-Mansyurah hal. 153)
Musthafa Abu Nashr Asy-Syabli dalam ta’liqnya terhadap kitab di atas
mengatakan: “Pengaruh sihir itu ada. Dan tidak ada yang mengingkari
kecuali orang yang sombong atau mengingkari apa yang diturunkan kepada
Rasulullah r. Beliau sebagai sebaik-baik manusia dan sayyid anak Adam
pernah terkena sihir seorang Yahudi dari Bani Zuraiq yang bernama Labid
bin Al-A’sham dan beliau terus dalam sihir tersebut selama 6 bulan.”
Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari (10/226) mengatakan: “Al-Maziri berkata:
Sebagian ahli bid’ah mengingkari sihir yang menimpa Rasulullah r ini.
Mereka menyangka bahwa hal ini akan menjatuhkan kedudukan nubuwwah dan
akan memberi keraguan. Mereka berkata: Siapa saja yang berkata demikian
maka itu adalah pengakuan batil.”
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan mengatakan: “Dinamakan sihir karena terjadi
dengan perkara yang sangat tersembunyi yang tidak akan bisa dilihat
oleh mata. Yaitu berbentuk jimat-jimat, jampi-jampi,
pembicaraan-pembicaraan, atau melalui asap-asap. Sihir memiliki hakikat
dan di antaranya berpengaruh terhadap hati dan badan sehingga bisa
menyebabkan sakit, terbunuh, dan memisahkan antara suami istri.”
(At-Tauhid, hal. 21)
Abu Muhammad Al-Maqdisi di dalam kitab Al-Kafi (3/164) mengatakan:
“Sihir adalah jimat-jimat, jampi-jampi, dan ikatan-ikatan buhul yang
berpengaruh pada hati dan badan yang akhirnya menyebabkan sakit dan
mati, serta akan memisahkan suami istri. Allah berfirman: “Lalu mereka
belajar dari keduanya (Harut dan Marut) sesuatu yang akan bisa
memisahkan antara seorang suami dengan istrinya.” (Al-Baqarah: 102).
Allah juga berfirman: “Dan kejahatan wanita-wanita yang meniupkan
buhul-buhul.” (Al-Falaq: 4). Yaitu tukang-tukang sihir dari kaum wanita
yang mereka mengikat buhul-buhul dalam sihirnya lalu menjampinya. Jika
sihir itu hakikatnya tidak ada, niscaya Allah tidak menyuruh untuk
berlindung darinya.”
Hukum Mempelajari Sihir
Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum mempelajari sihir ini.
Pendapat pertama, Al-Imam Malik t berkata bahwa belajar sihir atau
mengajarkannya menyebabkan pelakunya kafir meskipun dia tidak
menggunakannya. Karena, pada sihir terdapat unsur pengagungan terhadap
setan dan mengaitkan semua kejadian yang ada di alam ini kepada mereka.
Dan tidak akan dikatakan oleh orang yang beriman kepada Allah dan hari
akhir bahwa mereka tidak kafir.
Pernyataan ini juga diucapkan oleh Al-Imam Ahmad t dalam riwayat darinya
yang lebih masyhur, dinukil dari shahabat ‘Ali z dan dikuatkan oleh
Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni.Pendapat kedua adalah pendapat
Al-Hanafiyyah. Mereka merinci hal yang demikian. Apabila mempelajari
sihir untuk melindungi dirinya, maka dia tidak kafir. Bila dia
mempelajarinya dengan keyakinan bahwa hal tersebut dibolehkan atau akan
memberi manfaat baginya, maka ini adalah kufur. Yang berpendapat
demikian juga adalah Asy-Syafi’i dan mayoritas pengikut beliau, serta
dikuatkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar, Al-Qurafi, dan Asy-Syinqithi.
(Al-Fath, 10/224 dan Adhwa-ul Bayan, 4/44)
Pendapat ketiga, belajar sihir tidak kafir. Ini merupakan salah satu
pendapat Al-Imam Ahmad yang tidak kuat, dan dicela pendapat ini oleh
Ibnu Hazm. (Lihat Fathul Bari, 10/224, Adhwa-ul Bayan, 4/44, Tafsir Ibnu
Katsir, 1/128, Tafsir Al-Qurthubi, 2/43, Fathul Qadir, 1/151, dan
Tafsir As-Sa’di, hal. 42)
Ash-Shan’ani dalam kitab Tath-hir Al-I’tiqad (hal. 44) mengatakan:
“Belajar ilmu sihir bukan perkara yang sulit, bahkan pintunya yang
paling besar adalah kufur kepada Allah dan menghinakan apa-apa yang
diagungkan oleh Allah seperti meletakkan mushaf di WC dan sebagainya.”
Pendapat yang terkuat adalah sebagaimana yang akan dijelaskan pada pembahasan berikut.
Sihir dalam Pandangan Agama
Ibnu ‘Allan dalam kitab Dalilul Falihin (8/284) mengatakan: “Sihir
adalah hal-hal di luar kebiasaan yang terjadi melalui ucapan-ucapan dan
perbuatan. Dan memungkinkan untuk dilawan dengan yang sepertinya. Dan
sihir itu adalah haram termasuk dari dosa besar.”
Allah berfirman:
“Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukar
(kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah keuntungan baginya di akhirat.”
(Al-Baqarah: 102)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh t mengatakan: “Ayat ini
menunjukkan atas haramnya sihir dan juga haram dalam agama seluruh para
rasul sebagaimana firman Allah: ‘Dan tidak akan beruntung tukang sihir
dari mana saja dia datang’. (Thaha: 69). Pengikut Al-Imam Ahmad telah
menjelaskan tentang kafirnya belajar sihir dan mengajarkannya.” (Fathul
Majid, hal. 336)
Asy-Syaikh Shalih Fauzan dalam ta’liq beliau terhadap kitab Al-’Aqidah
Ath-Thahawiyyah mengatakan: “Sihir adalah satu bentuk perbuatan setan
dan termasuk dari kekufuran kepada Allah, maka janganlah kamu tertipu
dengan mereka.”
Ibnu Abil ‘Izzi dalam Syarah Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah (hal. 505)
mengatakan: “Para ulama telah sepakat bahwa jika sihir itu dalam bentuk
meminta kepada bintang yang tujuh atau selainnya, mengajak berbicara
atau sujud kepadanya, dan mendekatkan diri kepadanya baik dengan bentuk
pakaian, atau cincin, asap-asap, sesajen, atau yang sejenisnya, maka ini
termasuk jenis kekufuran dan pintu kesyirikan yang paling besar. Oleh
karena itu wajib ditutup.”
As-Sa’di t dalam Tafsir beliau (hal. 44) mengatakan: “Jangan kamu
belajar sihir karena yang demikian itu termasuk dari kekufuran.”
Semua ucapan para ulama tersebut terambil dari dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana dalam firman Allah:
“Tidaklah keduanya mengajarkan sesuatu kepada seorang pun melainkan
keduanya mengatakan: Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, maka
janganlah kamu kafir.” (Al-Baqarah: 102)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan: “Dari sini sangat jelas
bahwa seseorang tidak mungkin mempelajari sihir melainkan dia harus
kafir. Dan bila dia telah kafir maka dia akan mempelajarinya.
Berdasarkan ayat ini maka tukang sihir hukumnya adalah kafir.”
Adz-Dzahabi dalam kitab beliau Al-Kabair (hal. 21-22) mengatakan:
“Tukang sihir harus dikafirkan berdasarkan firman Allah: “Akan tetapi
setan-setan yang kafir dan mengajarkan manusia sihir”. Setan tidak
memiliki tujuan dalam mengajarkan manusia ilmu sihir melainkan agar
Allah disekutukan. Kamu melihat kebanyakan orang sesat karena
mempelajari ilmu sihir tersebut dan mereka menyangka hanya sebatas haram
dan mereka tidak mengira kalau yang demikian itu adalah wujud
kekafiran. Hukuman bagi tukang sihir adalah dibunuh karena dia kufur
kepada Allah. Hendaklah setiap hamba bertakwa kepada Allah dan jangan
sekali-kali dia masuk kepada perkara-perkara yang akan mencelakakan
dirinya di dunia dan akhirat.” (Al-Qaulul Mufid, Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdulwahhab Al-Yamani, hal. 137)
Adapun dari Sunnah Rasulullah r adalah hadits Abu Hurairah di atas yang
dikeluarkan oleh Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Jauhilah oleh
kalian tujuh perkara yang akan membinasakan…” di antaranya adalah sihir.
Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan: “Diharamkan untuk belajar sihir apakah
belajarnya untuk diamalkan atau untuk mempertahankan diri. Allah telah
menjelaskan dalam Al Qur’an tentang mempelajarinya adalah kekufuran.
Allah berfirman: “Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang
diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan
Marut. Sedang keduanya tidak mengajarkan kepada seorang pun melainkan
mengatakan: Sesungguhnya kami hanya cobaan bagi kamu, maka janganlah
kafir.” (Al-Baqarah: 102). Sungguh Rasulullah telah menjelaskan bahwa
sihir merupakan salah satu dari dosa-dosa besar dan memerintahkan agar
menjauhinya dengan sabdanya: “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang
akan membinasakan…”, kemudian beliau menyebutkan di antaranya: “Sihir.”
Dan di dalam Sunan An-Nasai disebutkan: “Barangsiapa yang mengikat buhul
lalu meniupkan padanya, maka sungguh dia telah melakukan sihir. Dan
barangsiapa yang telah melakukan sihir, maka sungguh dia telah melakukan
kesyirikan.” (Fatawa Al-Lajnah, 1/367/368)
Hukuman bagi Tukang Sihir1
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama apakah tukang sihir itu
dihukumi kafir atau tidak. Kemudian, bagaimana dengan hukuman bagi
mereka di dunia ini, apakah dibunuh atau tidak.
Jumhur ulama berpendapat bahwa tukang sihir adalah kafir secara mutlak.
Di antara mereka adalah Malik, Abu Hanifah, pengikut Al-Imam Ahmad, dan
selain mereka. (Adhwa-ul Bayan, 4/455)
Di antara mereka ada yang mengatakan perlu dirinci. Apabila di dalam
sihir tersebut terkandung pengagungan terhadap selain Allah seperti
bintang-bintang, jiwa-jiwa dan selainnya yang akan bisa mengantarkan
kepada kekafiran, maka pelaku sihir tersebut kafir tanpa ada
perselisihan. Apabila sihir itu tidak mengandung kekufuran, seperti
menggunakan benda-benda tertentu sejenis minyak dan selainnya, ini
adalah haram dengan keharaman yang keras meski pelakunya tidak bisa
dikatakan kafir. (Adhwa-ul Bayan, 4/456)
Pendapat kedua ini yang dikuatkan oleh Asy-Syinqithi dalam kitab
Adhwa-ul Bayan (4/456) dengan menyatakan: “Inilah yang benar insya Allah
dari perbedaan-perbedaan para ulama tersebut.” Dan ini pula yang
dirajihkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin dalam kitab
Al-Qaulul Mufid (2/6).
Di antara para ulama ada yang menggabungkan kedua pendapat tersebut
seperti yang dilakukan oleh Asy-Syaikh Sulaiman dalam kitab Taisir
Al-’Azizil Hamid (hal. 384): “Sebenarnya kedua pernyataan tersebut
tidaklah berbeda. Adapun yang menyatakan tidak kafir dia menyangka bahwa
sihir itu terjadi tanpa ada unsur kesyirikan. Padahal tidak demikian,
bahkan sihir yang datang dari sisi setan tidak lepas dari kesyirikan dan
penyembahan kepada setan. Oleh karena itulah Allah mengkafirkan mereka
dengan firman-Nya: “Sesungguhnya kami adalah cobaan, maka janganlah kamu
kafir.” (Al-Baqarah: 102). Adapun sihir yang berasal dari obat-obatan
atau asap-asap maka ini bukan sihir. Hal ini dinamakan sihir majaz
sebagaimana penamaan ucapan yang memukau dan namimah (mengadu domba)
dengan sihir, namun hal yang demikian ini haram karena mengandung
mudharat dan pelakunya harus diberi pelajaran.” (lihat Syarah Nawaqidhul
Islam, hal. 26)
Setelah kita mengetahui hukum dalam pandangan agama terhadap tukang
sihir, pelakunya bisa disebut kafir atau hanyasebagai pelaku maksiat,
lalu bagaimana hukuman di dunia, haruskah dibunuh?
Ibnu Katsir t dalam Tafsir-nya mengatakan: Ibnu Hubairah berkata:
“Apakah dibunuh orang yang hanya melakukan perbuatan sihir atau tidak?”
Malik dan Ahmad menyatakan ya (dibunuh), Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah
mengatakan tidak. Adapun apabila dia membunuh seseorang dengan sihirnya
maka dia harus dibunuh menurut pendapat Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad.
Telah ada riwayat dari ulama salaf yang membunuh pelaku sihir.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari t dalam Shahih beliau dari Bajalah
bin ‘Abdah, berkata ‘Umar bin Al-Khaththab: “…agar membunuh para tukang
sihir.” Maka kami membunuh tiga tukang sihir.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahab dalam Kitab At-Tauhid berkata: “Telah
shahih dari Hafshah bahwa beliau memerintahkan untuk membunuh budak
yang menyihirnya.” Dan telah shahih pula dari Jundub z.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam Fathul Majid (hal. 343) berkata:
“Diriwayatkan pula yang mengatakan (tukang sihir harus dibunuh) dari
‘Umar, ‘Utsman, Ibnu ‘Umar, Hafshah, Jundub bin Abdullah, Jundub bin
Ka’ab, Qais bin Sa’d, dan ‘Umar bin Abdul ‘Aziz.”
Adapun Asy-Syafi’i tidak berpendapat dibunuh hanya karena sekedar
menyihir, kecuali apabila di dalam sihirnya itu telah sampai pada
tingkat kufur. Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnul Mundzir dan
sebuah riwayat dari Al-Imam Ahmad. Pendapat pertama lebih kuat berdasar
hadits dari Anas dari Ibnu ‘Umar dan orang-orang melakukan di masa
pemerintahan beliau dan beliau tidak mengingkarinya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (29/384) berkata:
“Sungguh telah diketahui bahwa sihir adalah haram berdasarkan Al Qur’an,
As Sunnah, dan ijma’ umat. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tukang
sihir adalah kafir dan telah shahih dari ‘Umar bin Al-Khaththab tentang
keharusan membunuhnya. Dan juga dari ‘Utsman bin ‘Affan, Hafshah bintu
‘Umar, Abdullah bin ‘Umar, dan dari Jundub bin Abdillah dan telah
diriwayatkan secara marfu’ (sampai sanadnya kepada Rasulullah r).”
Dari semua pendapat para ulama ini, jelas bahwa sihir merupakan sesuatu
yang sangat berbahaya baik ditinjau dari sisi dunia maupun akhirat. Oleh
karena itu, telah shahih riwayat dari ulama salaf tentang keharusan
membunuh mereka. Lalu apakah hukuman mati ini terhadap mereka sebagai
hukuman ta’zir1 atau karena murtad?
Para ulama sepakat, jika sihirnya itu sampai kepada batas kekufuran dan
syirik, maka membunuhnya sebagai hukuman murtad. Dan terjadi perbedaan
pendapat apabila sihirnya itu tidak sampai pada tingkatan kufur. Di
antara mereka ada yang berpendapat bahwa dibunuh sebagai hukuman (had)
dan ada yang mengatakan dia dibunuh sebagai satu bentuk ta’zir baginya
dan bagi orang lain.
Asy-Syaikh Muhammad bin Amin Asy-Syinqithi dalam kitab Adhwa-ul Bayan
(4/462) berkata: “Yang benar menurutku adalah bahwa penyihir yang
sihirnya belum sampai ke tingkat kufur dan dia tidak membunuh dengan
sihirnya itu, maka dia tidak boleh dibunuh berdasarkan dalil-dalil yang
qath’i (kuat) dan ijma’ tentang terpeliharanya darah orang-orang Islam
secara umum kecuali apabila datang dalil yang jelas. Membunuh tukang
sihir yang belum sampai pada tingkatan kufur dengan sihirnya, tidak ada
dalil yang shahih dari Rasulullah r. Dan menumpahkan darah seorang
muslim tanpa ada dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih, belum
jelas pembolehannya menurutku.”
Dan ilmunya di sisi Allah. Sementara itu yang mengatakan harus dibunuh
secara mutlak merupakan pendapat yang sangat kuat berdasarkan perbuatan
para shahabat tanpa ada pengingkaran.
Apakah mereka harus dimintai taubat ataukah langsung dibunuh? Terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Dan pendapat yang kuat berdasarkan
tarjih Asy-Syinqithi dalam Adhwa-ul Bayan: “Kalau dia bertaubat maka
taubatnya diterima, karena sihir tidak lebih besar daripada dosa syirik
dan Allah menerima taubat tukang sihir Fir’aun dan menjadikan mereka
ketika itu sebagai walinya.” (lihat Syarah Nawaqidhul Islam, hal. 28).
Wallahu a’lam.