Wednesday, May 7, 2014

Beberapa Hadits Dha'if Dan Palsu Seputar Puasa Ramadhan

Diantara permasalahan di bulan Ramadhan adalah adanya hadits-hadits Dha'if (lemah) yang sering disebarkan atau diucapkan oleh penceramah tanpa menyebutkan kualitas hadits tersebut, baik karena ketidaktahuan atau menganggapnya hadits yang shahih. 
Untuk itu, perlu sedikit disini kita mengetahui beberapa diantara hadits-hadits tersebut:

1. Hadits
لَوْ يَعْلَمُ اْلعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتيِ أَنْ يَكُوْنَ رَمَضاَنُ السَّنَةَ كُلَّهَا، إِنّ اْلجَنَّةَ لَتُزَيَّنُ لِرَمَضَانَ مِنْ رَأْسِ اْلحَوْلِ إِلىَ اْلحَوْلِ ...
"Seandainya hamba-hamba tahu apa yang ada di bulan Ramadhan pasti ummatku akan berangan-angan agar Ramadhan itu jadi satu tahun seluruhnya, sesungguhnya Surga dihiasi untuk Ramadhan dari awal tahun kepada tahun berikutnya...." hadits ini panjang.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 1886) dan dinukil oleh Ibnul Jauzi dalam Kitabul Maudhu'at (Kitab tentang Hadits-hadits palsu, 2/188-189) dan Abu Ya'la di dalam Musnad-nya sebagaimana pada al-Muthalibul Aaliyah (Bab A-B/ manuskrip) dari jalan Jabir bin Burdah, dari Abi Mas'ud Al-Ghifari.

Hadits ini Maudhu' (palsu), cacatnya pada Jabir bin Ayyub, riwayat hidupnya dinukil Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan (2/101) dan (beliau) berkata: "Terkenal dengan kelemahan (dha'if)" beliau juga menukil ucapan Abu Nu'aim tentangnya: "Dia itu suka memalsukan hadits." Al-Bukhari juga berkata, "Haditsnya tertolak", dan menurut an-Nasai, "matruk" (ditinggalkan/tidak dipakai haditsnya)."!!

2. Hadits

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ، شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، جَعَلَ الله ُصِيَامَهُ فَرِيْضَةً وَقِيَامَ لَيْلَتِهِ تَطَوُّعًا، مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ اْلخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ ... وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ، وَوَسَطُهُ مَغْفِرَةٌ، وَآخِرَهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ ...

"Wahai manusia sungguh telah datang pada kalian bulan yang agung, bulan yang di dalamnya ada malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah menjadikan puasanya sebagai kewajiban, dan shalat malamnya sebagai sunnat. Barangsiapa mendekatkan diri di dalamnya dengan suatu perkara kebaikan maka dia seperti orang yang menunaikan suatu kewajiban pada bulan lainnya.. dialah bulan yang awalnya itu rahmat, pertengahannya itu maghfirah/ampunan, dan akhirnya itu 'itqun minan naar/bebas dari neraka.." sampai selesai.

Dua murid terpercaya Syeikh Al-Bani (wafat 2 Oktober 1999) yakni Syeikh Ali Hasan dan Syeikh Al-Hilaly mengemukakan, hadits itu juga panjang dan dicukupkan dengan membawakan perkataan ulama yang paling masyhur.

Menurut murid ahli hadits ini, hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah juga, (no. 1887), dan Al-Muhamili di dalam Amali-nya (no 293) dan Al-Ashbahani di dalam At-Targhib (Q/178, B/ manuskrip) dari jalan Ali bin Zaid Jad'an dari Sa'id bin Al-Musayyib dari Salman.

Hadits ini, menurut dua murid ulama Hadits tersebut, sanadnya Dhaif (lemah) karena lemahnya Ali bin Zaid.

Ibnu Sa'ad berkata, "Di dalamnya ada kelemahan dan jangan berhujjah dengannya," dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, "Tidak kuat". Ibnu Ma'in berkata, "Dha'if." Ibnu Abi Khaitsamah berkata, "Lemah di segala segi", dan Ibnu Khuzaimah berkata: "Jangan berhujjah dengan hadits ini karena jelek hafalannya." demikianlah di dalam Tahdzibut Tahdzib (7/322-323).

3. Hadits
صُوْمُوْا تًصِحُّوْا

"Berpuasalah maka kamu sekalian sehat."

Hadits tersebut merupakan potongan dari hadits riwayat Ibnu Adi di dalam al-Kamil (7/2521) dari jalan Nahsyal bin Said, dari ad-Dhahhak, dari Ibnu Abbas.

Nahsyal itu termasuk yang ditinggal (tidak dipakai) karena dia pendusta, sedang Ad-Dhahhaak tidak mendengar dari Ibnu Abbas.

Dan diriwayatkan oleh at-Thabrani di dalam al-Ausath (1/Q, 69/ al-Majma'ul Bahrain) dan Abu Na'im di dalam ath-Thibbun Nabawi, dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, dari Zuhai bin Muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih, dari Abi Hurairah. Sanadnya Dha'if (lemah). (Berpuasa menurut Sunnah Rasulullah SAW, hal. 84).

Peringatan bagi orang yang meninggalkan puasa tanpa alasan dibawakan oleh Abu Umamah Al Bahili, ia berkata, Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Ketika aku sedang tidur tiba-tiba ada dua orang yang datang dan memegang pangkal lenganku dan membawaku ke sebuah gunung yang tinggi seraya berkata: "naiklah!" aku berkata: "aku tidak bisa", keduanya berkata lagi: "kami akan memberi kemudahan kepadamu", lalu akupun naik sampai ke pertengahan, tiba-tiba terdengar suara keras. Aku bertanya: "Suara apa itu?" Mereka menjawab: "Itu suara teriakan penghuni Neraka" Kemudian mereka membawaku mendaki lagi, tiba-tiba aku melihat sekelompok orang yang digantung dengan urat belakang mereka, dari pinggiran mulutnya mengeluarkan darah. Aku bertanya: "Siapakah mereka?" Dijawab: "Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa (pada) bulan Ramadhan sebelum tiba waktunya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim, Shalat Tarawih )

"Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam dan di akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)." (Adz-Dzariyat: 17-18).

4. Hadits
الصَّائِمُ فِي عِبَادَةٍ وَإِنْ كَانَ رَاقِدًا عَلَى فِرَاشِهِ
“Orang yang berpuasa adalah (tetap) di dalam ibadah meskipun dia terbaring (tidur) diatas tempat tidurnya”

Hadits ini sering kali kita dengar, paling tidak, maknanya bahwa ada yang mengatakan tidurnya orang yang berpuasa itu adalah ibadah sehingga kemudian ini dijadikan alasan untuk menghabiskan waktu dengan tidur saja. Bahkan barangkali karenanya, shalat lima waktu ada yang bolong padahal kualitas hadits ini adalah DHO’IF (lemah). 

Hadits tersebut disebutkan oleh Imam as-Suyuthiy di dalam kitabnya “al-Jami’ ash-Shaghir”, riwayat ad-Dailamy di dalam Musnad al-Firdaus dari Anas. Imam al-Manawy memberikan komentar dengan ucapannya, “Di dalamnya terdapat periwayat bernama Muhammad bin Ahmad bin Sahl, Imam adz- Dzahaby berkata di dalam kitabnya adh-Dhu’afa, ‘Ibnu ‘Ady berkata, ‘(dia) termasuk orang yang suka memalsukan hadits.”

Menurut Syaikh al-Albany, hadits ini ada pada riwayat yang lain tanpa periwayat tersebut sehingga dengan demikian, hadits ini bisa terselamatkan dari status Maudlu’, tetapi tetap DHO’IF.

Syaikh al-Albany juga menyebutkan bahwa Abdullah bin Ahmad di dalam kitabnya Zawa-`id az-Zuhd, hal. 303 meriwayatkan hadits tersebut dari ucapan Abi al-‘Aliyah secara mauquf dengan tambahan: ما لم يغتب (selama dia tidak menggunjing/ghibah). Dan sanad yang satu ini adalah Shahih, barangkali inilah asal hadits. Ia Mauquf (yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh Shahabat atau Tabi’in) lantas sebagian periwayat yang lemah keliru dengan menjadikannya Marfu’ (hadits yang sampai kepada Rasulullah). 
Wallahu a’lam.

(Silsilah al-Ahadits adl-Dlo’ifah wa al-Maudlu’ah, jld.II, karya Syaikh al-Albany, no. 653, hal. 106).

Kajian Hadits

"Luasnya Kekuasaan dan Ampunan Allah Ta'ala terhadap para hamba-Nya"

Naskah Hadits

عَنْ أَبِي ذَرٍّ اْلغِفَارِي, عَنْ النّبِيّ صلى الله عليه وسلم. فِيمَا رَوَىَ عَنِ اللّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَىَ أَنّهُ قَالَ: «يَا عِبَادِي إِنّي حَرّمْتُ الظّلْمَ عَلَىَ نَفْسِي. وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرّماً. فَلاَ تَظَالَمُوا.
يَا عِبَادِي كُلّكُمْ ضَالّ إِلاّ مَنْ هَدَيْتُهُ. فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ. يَا عِبَادِي كُلّكُمْ جَائِعٌ إِلاّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ. فَاسْتَطْعِمُونِي أُطْعِمْكُمْ.
يَا عِبَادِي كُلّكُمْ عَارٍ إِلاّ مَنْ كَسَوْتُهُ. فَاسْتَكْسُونِي أَكْسُكُمْ.
يَا عِبَادِي إِنّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللّيْلِ وَالنّهَارِ, وَأَنَا أَغْفِرُ الذّنُوبَ جَمِيعاً. فَاسْتَغْفِرُونِي أَغْفِرُ لَكُمْ.
يَا عِبَادِي إِنّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرّي فَتَضُرّونِي. وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي فَتَنْفَعُونِي.
يَا عِبَادِي لَوْ أَنّ أَوّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ, وَإِنْسَكُمْ وَجِنّكُمْ. كَانُوا عَلَىَ أَتْقَىَ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ. مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئاً.
يَا عِبَادِي لَوْ أَنّ أَوّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ. وَإِنْسَكُمْ وَجِنّكُمْ. كَانُوا عَلَىَ أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ. مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئاً. يَا عِبَادِي لَوْ أَنّ أَوّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ. وَإِنْسَكُمْ وَجِنّكُمْ. قَامُوا فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِي. فَأَعْطَيْتُ كُلّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ. مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمّا عِنْدِي إِلاّ كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ.
يَا عِبَادِي إِنّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيهَا لَكُمْ. ثُمّ أُوَفّيكُمْ إِيّاهَا. فَمَنْ وَجَدَ خَيْراً فَلْيَحْمَدِ اللّهَ. وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُومَنّ إِلاّ نَفْسَهُ».


Dari Abu Dzarr al-Ghifary RA., dari Nabi SAW., dalam apa yang diriwayatkannya dari Rabb-nya ‘Azza Wa Jalla bahwasanya Dia berfirman,
“Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya telah Aku haramkan atas diri-Ku perbuatan zhalim dan Aku jadikan ia diharamkan di antara kamu; maka janganlah kalian saling berbuat zhalim.

Wahai para hamba-Ku, setiap kalian adalah sesat kecuali orang yang telah Aku beri petunjuk; maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku beri kalian petunjuk.

Wahai para hamba-Ku, setiap kalian itu adalah lapar kecuali orang yang telah Aku beri makan; maka mintalah makan kepada-Ku, niscaya Aku beri kalian makan.

Wahai para hamba-Ku, setiap kalian adalah telanjang kecuali orang yang telah Aku beri pakaian; maka mintalah pakaian kepada-Ku, niscaya Aku beri kalian pakaian.

Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat kesalahan di malam dan siang hari sedangkan Aku mengampuni semua dosa; maka minta ampunlah kepada-Ku, niscaya Aku ampuni kalian.

Wahai para hamba-Ku sesungguhnya kalian tidak akan mampu menimpakan bahaya kepada-Ku sehingga kalian bisa membayakan-Ku dan tidak akan mampu menyampaikan manfa’at kepada-Ku sehingga kalian bisa memberi manfa’at pada-Ku.

Wahai para hamba-Ku, andaikata hati generasi terdahulu dan akhir dari kalian, golongan manusia dan jin kalian sama seperti hati orang paling takwa di antara kamu (mereka semua adalah ahli kebajikan dan takwa), maka hal itu (keta’atan yang diperbuat makhluk-red.,) tidaklah menambah sesuatu pun dari kekuasaan-Ku

Wahai para hamba-Ku, andaikata hati generasi terdahulu dan akhir dari kalian, golongan manusia dan jin kalian sama seperti hati orang paling fajir (bejad) di antara kalian (mereka semua ahli maksiat dan bejad), maka hal itu (kemaksiatan yang mereka perbuat-red.,) tidaklah mengurangi sesuatu pun dari kekuasaan-Ku.

Wahai para hamba-Ku, andaikata generasi terdahulu dan akhir dari kalian, golongan manusia dan jin kalian berada di bumi yang satu (satu lokasi), lalu meminta kepada-Ku, lantas Aku kabulkan permintaan masing-masing mereka, maka hal itu tidaklah mengurangi apa yang ada di sisi-Ku kecuali sebagaimana jarum bila dimasukkan ke dalam lautan.

Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya ia hanyalah perbuatan-perbuatan kalian yang aku perhitungkan bagi kalian kemudian Aku cukupkan buat kalian; barangsiapa yang mendapatkan kebaikan, maka hendaklah ia memuji Allah dan barangsiapa yang mendapatkan selain itu, maka janganlah ia mencela selain dirinya sendiri.”
(HR.Muslim)

Urgensi Hadits

Imam Ahmad RAH., berkata, “Tidak ada hadits yang lebih mulai dari ini bagi Ahli Syam (karena para periwayatnya semua adalah orang-orang Syam).”

Beliau mengatakan hal tersebut karena betapa agungnya hadits tersebut yang mengandung banyak makna-makna mulia.

Kosa Kata

Makna kata “Perbuatan zhalim” : Kezhaliman artinya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, yaitu melampaui batas

Makna “Aku cukupkan buat kalian” : Yakni Aku membalas kalian berdasarkan perbuatan kalian baik kecil mau pun besar, yaitu di akhirat kelak

Pesan-Pesan Hadits

1. Hadits ini merupakan hadits Qudsi, yaitu Hadits yang diriwayatkan Rasulullah SAW dari Rabb-nya.
Perbedaan antara Hadits Qudsi dan al-Qur’an di antaranya adalah:
- Bahwa al-Qur`an al-Kariim adalah mukjizat mulai dari lafazhnya hingga maknanya sedangkan Hadits Qudsi tidak memiliki kemukjizatan apa pun
- Bahwa shalat tidak sah kecuali dengan al-Qur`an al-Kariim sedangkan Hadits Qudsi tidak sah untuk shalat
- Bahwa al-Qur`an al-Kariim tidak boleh diriwayatkan dengan makna sementara Hadits Qudsi boleh

2. Hadits tersebut menjelaskan bahwa Allah Ta’ala Maha Suci dari semua sifat kekurangan dan cela, di antaranya berbuat zhalim, di mana Dia berfirman, “Sesungguhnya telah Aku haramkan atas diri-Ku perbuatan zhalim.” Dia juga berfirman dalam al-Qur`an, “Dan Aku sekali-kali tidak menzhalimi hamba-hamba-Ku.” (Qaaf:29) Dan firman-Nya, “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zhalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zhalim kepada diri mereka sendiri.” (Yuunus:44)

3. Allah Ta’ala melarang para hamba-Nya berbuat zhalim antar sesama mereka sebab perbuatan zhalim diharamkan dan akibatnya amat fatal baik di dunia mau pun di akhirat. Allah Ta’ala berfirman, “Dan begitulah adzab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya adzab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras.” (Huud:102) Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya perbuatan zhalim itu adalah kegelapan di hari Kiamat.” (HR.al-Bukhary dan Muslim) Dalam sabda yang lain, “Sesungguhnya Allah Ta’ala akan mengulur-ulur bagi pelaku kezhaliman hingga bila Dia menyiksanya, Dia tidak akan membuatnya lolos (dapat menghindar lagi).” (HR.al-Bukhary)

4. Kezhaliman ada beberapa macam:
a. Zhalim terhadap diri sendiri dan yang paling besarnya adalah berbuat syirik terhadap Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezhaliman yang besar.” (Luqman:13) Di antaranya lagi adalah melakukan perbuatan maksiat dan berbuat dosa

b. Perbuatan zhalim seorang hamba terhadap orang lain seperti mengambil hak mereka, menyakiti, menggunjing (ghibah), mengadu domba dan membicarakan mereka tanpa hak.

5. Hadits tersebut juga menjelaskan betapa kebutuhan para hamba kepada Allah Ta’ala. Karena itu, hendaknya mereka berlindung kepada-Nya, memohon, meminta pertolongan, meminta ma’af dan ampunan kepada-Nya. Memohon kepada-Nya agar diberi ampunan, rahmat dan rizki. Siapa pun manusianya, maka tidak mungkin dia tidak membutuhkan Rabbnya.

6. Semua manusia pasti melakukan kesalahan. Karena itu, bertindak keliru atau memiliki keterbatasan bukanlah suatu ‘aib akan tetapi yang dikatakan ‘aib itu adalah terus-menerus di dalam kesalahan ini, membiarkannya dan tidak mempedulikannya. Hendaknya seorang hamba memandang kepada keagungan Dzat Yang ia maksiati dan lakukan kesalahan terhadap-Nya dan janganlah memandang kepada kecilnya suatu kemaksiatan. Dari itu, hendaknya ia bersegera untuk bertobat dan kembali kepada-Nya serta meminta ampunan-Nya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah wahai kaum Mukmiin, semoga kamu beruntung.” (an-Nuur:31) Dan firman-Nya, “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dial-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (az-Zumar;53)

7. Betapa besarnya ampunan Allah dan betapa luas kekuasaan-Nya. Sekalipun semua makhluk berkumpul maka sama sekali mereka tidak dapat mempengaruhi bertambah atau berkurangnya kekuasaan-Nya tersebut.

8. Seorang Muslim hendaknya berhati-hati dalam semua perbuatannya sehingga ia bisa membersihkan dan memperbaikinya. Semuanya sudah diperhitungkan atasnya, dicatat di dalam lembaran amal-amalnya baik kecil mau pun besar. Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya, [7]. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula.” (az-Zalzalah:7-8)

9. Hendaknya seorang Muslim menghitung dirinya sendiri di dalam kehidupan ini sebelum dirinya diperhitungkan nanti pada hari Kiamat yang karenanya dia akan mencela dirinya sendiri, mencercanya, menyesali namun penyesalan yang tiada guna.

Umar bin al-Khaththab RA berkata, “Hitunglah dirimu sebelum dirmu diperhitungkan dan timbanglah ia sebelum dirimu ditimbang dan bersiap-siaplah untuk Hari ‘al-‘Ardl al-Akbar’ (sidang terbesar terhadap kaum Mukminin pada hari Kiamat).” (HR.at-Turmudzy secara mu’allaq. Ibn Katsir berkata, “Di dalam Musnad ‘Umar terhadap atsar yang masyhur namun terdapat Inqithaa’ (terputus pada sanadnya)”. Wallahu a’lam

(SUMBER: Silsilah Manaahij Dawraat al-‘Uluum asy-Syar’iyyah –al-Hadiits- Fi`ah an-Naasyi`ah, karya Prof.Dr.Faalih bin Muhammad ash-Shaghiir, h.124-128)

Biografi Ulama'

Al Imam Abu Hanifah
(Wafat 150 H)


Nama sebenarnya adalah An-Nu’man bin Tsabit bin Zutha. Ia bekas hamba sahaya Taimullah bin Tsa’labah al-Kufi. Ia berasal dari Persia.

Abu Hanifah seorang Tabi’in karena pernah melihat beberapa sahabat seperti Anas bin Malik, Sahl bin Sa’ad as-Sai’di, Abdullah bin Abi Aufa dan Abu Thufail Amir bin Watsilah. Ia meriwayatkan dari sebagian mereka. Bahkan ada Ulama yang mengatakan bahwa ia meriwayatkan dari mereka.

Abu Hanifah belajar fiqh dan hadist dari ‘Atha’, Nafi’ ibn Hurmuz, Hammad bin Abi Sulaiman, Amr bin Dinar, dan lainnya. Yang meriwayatkan darinya adalah para muridnya seperti Abu Yusuf, Zuhfar, Abu Muthi’ al-Balkhi, Ibnul Mubarak, al-Hasan bin Ziyad, Dawud at-Tha’I dan Waki’.

Para Ulama memberi kesaksian akan keluasan ilmu fiqh dan kekuatan Hujjah. Imam Syafi’I berkata:”Dalam hal ilmu Fiqh, ada pada Abu Hanifah”.

Al-Laits bin Sa’ad berkata:” Aku pernah menghadap Imam Malik di Madinah, lalu aku bertanya kepadanya:’ aku lihat anda mengusap keringat dikening anda.’. Malik menjawab:Aku berkeringat bersama Abu Hanifah, Dia benar benar ahli fiqh”.

Ibnul Mubarak berkata:’ Orang yang paling mengerti fiqh, aku belum pernah melihat orang seperti dia, andakata Allah tidak menolongku melalui Abu Hanifah niscaya aku seperti kebanyakan orang. Dia adalah seorang dermawan dan ahli menyelami berbagai masalah”.

Muhammad bin Mahmud mengumpulkan 15 hadits Musnadnya. Dalam kitabnya al-Atsar karya muridnya yang bernama Muhammad bin al-Hasan banyak didapati hadits yang dikutib oleh Muhammad bersumber darinya.

Penilaian para ulama terhadap Abu Hanifah
Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
1. Yahya bin Ma’in berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”. Dan dalam waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di dalam hadits”. Dan dia juga berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta, …”.
2. Abdullah ibnul Mubarok berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa”. Dan beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih”. Dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya’ kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.” Beliau juga berkata, “Aku datang ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling wara’ di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau juga berkata, “Apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya”.
3. Al-Qodhi Abu Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”. Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah”.
4. Imam Syafii berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”
5. Fudhail bin Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara’-nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.
6. Yahya bin Sa’id al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah swt, tidaklah kami mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak mengambil pendapatnya”.
7. Hafsh bin Ghiyats berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam dari pada syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang jahil tentangnya”.
8. Al-Khuroibi berkata, “Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang pendengki atau orang yang jahil”.

9. Sufyan bin Uyainah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah termasuk orang yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.

Beberapa nasehat Imam Abu Hanifah
Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu, yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Diantara nasehat-nasehat beliau adalah:

a. Apabila telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku
Berkata Syaikh Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya”.

b. Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil/memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut. dalam riwayat lain, haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa dengan pendapatku. Dan dalam riawyat lain, sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami berpendapat pada hari ini, dan kami ruju’ (membatalkan) pendapat tersebut pada pagi harinya. Dan dalam riwayat lain, Celaka engkau wahai Ya’qub (Abu Yusuf), janganlah engakau catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku, maka sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat itu besok, besok aku berpendapat dengan suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat tersebut hari berikutnya.
Syaikh Al-Albani berkata, “Maka apabila demikian perkataan para imam terhadap orang yang tidak mengetahui dalil mereka. maka ketahuilah! Apakah perkataan mereka terhadap orang yang mengetahui dalil yang menyelisihi pendapat mereka, kemudian dia berfatwa dengan pendapat yang menyelisishi dalil tersebut? maka camkanlah kalimat ini! Dan perkataan ini saja cukup untuk memusnahkan taqlid buta, untuk itulah sebaigan orang dari para masyayikh yang diikuti mengingkari penisbahan kepada Abu Hanifah tatkala mereka mengingkari fatwanya dengan berkata “Abu Hanifah tidak tahu dalil”!.
Berkata Asy-sya’roni dalam kitabnya Al-Mizan 1/62 yang ringkasnya sebagai berikut, “Keyakinan kami dan keyakinan setiap orang yang pertengahan (tidak memihak) terhadap Abu Hanifah, bahwa seandainya dia hidup sampai dengan dituliskannya ilmu Syariat, setelah para penghafal hadits mengumpulkan hadits-haditsnya dari seluruh pelosok penjuru dunia maka Abu Hanifah akan mengambil hadits-hadits tersebut dan meninggalkan semua pendapatnya dengan cara qiyas, itupun hanya sedikit dalam madzhabnya sebagaimana hal itu juga sedikit pada madzhab-madzhab lainnya dengan penisbahan kepadanya. Akan tetapi dalil-dalil syari terpisah-pesah pada zamannya dan juga pada zaman tabi’in dan atbaut tabiin masih terpencar-pencar disana-sini. Maka banyak terjadi qiyas pada madzhabnya secara darurat kalaudibanding dengan para ulama lainnya, karena tidak ada nash dalam permasalahan-permasalahan yang diqiyaskan tersebut. berbeda dengan para imam yang lainnya, …”. Kemudian syaikh Al-Albani mengomentari pernyataan tersebut dengan perkataannya, “Maka apabila demikian halnya, hal itu merupakan udzur bagi Abu Hanifah tatkala dia menyelisihi hadits-hadits yang shahih tanpa dia sengaja – dan ini merupakan udzur yang diterima, karena Allah tidak membebani manusia yang tidak dimampuinya -, maka tidak boleh mencela padanya sebagaimana yang dilakukan sebagian orang jahil, bahkan wajib beradab dengannya karena dia merupakan salah satu imam dari imam-imam kaum muslimin yang dengan mereka terjaga agama ini. …”.

c. Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah yang shahih, maka tinggalkan perkataanku.

Wafatnya
Pada zaman kerajaan Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu Hanifah hendak menjauhi harta dan kedudukan dari sultan (raja) – maka dia ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara.
Dan beliau wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.
Wallahu a'lam

Murajji':
1. Tarikhul Baghdad karya Abu Bakar Ahmad Al-Khatib Al-Baghdadi cetakan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
2. Siyarul A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi cetakan ke - 7 terbitan Dar ar-Risalah Beirut
3. Tadzkiratul Hufazh karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
4. Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir cetakan Maktabah Darul Baz Beirut
5. Kitabul Jarhi wat Ta’dil karya Abu Mumahhan Abdurrahman bin Abi Hatim bin Muhammad Ar-Razi terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
6. Shifatu Shalatin Nabi karya Syaikh Nashirudin Al-Albani cetakan Maktabah Al-Ma’arif Riyadh

Ulama-Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Berkenalan dengan Ulama-Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah

Penulis: Asy Syaikh Abu Abdirrahman Fauzi Al Atsary
Perintis jejak pertama yang mengenakan mahkota fuqaha ahli hadits adalah para sahabat Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam. Yang paling masyhur dari mereka antara lain:
Khalifah yang empat (Radhiyallahu ‘anhum) :
• Abu Bakr Ash-Shiddiq
• Umar bin Al-Khaththab
• Utsman bin Affan
• Ali bin Abi Thalib
Al-Abadillah (Radhiyallahu ‘anhum) :
• Ibnu Umar
• Ibnu Abbas
• Ibnu Az-Zubair
• Ibnu Amr
• Ibnu Mas’ud
• Aisyah
• Ummu Salamah
• Zainab
• Anas bin Malik
• Zaid bin Tsabit
• Abu Hurairah
• Jabir bin Abdillah
• Abu Said Al-Khudri
• Mu’adz bin Jabal

Setelah sahabat Rasulullah adalah para tokoh tabi’in Rahimahumullah antara lain:
• Said bin Al-Musayyib wafat 90 H
• Urwah bin Az-Zubair wafat 94 H
• Ali bin Al-Husain Zainal Abidin wafat 93 H
• Muhammad bin Al-Hanafiyah wafat 80 H
• Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud wafat 94 H atau setelahnya
• Salim bin Abdullah bin Umar wafat 106 H
• Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash¬ Shiddiq wafat 106 H
• Al-Hasan Al-Bashri wafat 110 H
• Muhammad bin Sirin wafat 110 H
• Umar bin Abdul Aziz wafat 101 H
• Muhammad bin Syihab Az-Zuhri wafat 125 H
Kemudian tabi’ut tabi’in dan tokoh mereka Rahimahumullah :
• Malik bin Anas wafat 179 H
• Al-Auza’i wafat 157 H
• Sufyan bin Said Ats-Tsauri wafat 161 H
• Sufyan bin Uyainah wafat 193 H
• Ismail bin Aliyah wafat 193 H
• Al-Laits bin Sa’ad wafat 175 H
• Abu Hanifah An-Nu’man wafat 150 H
Kemudian pengikut mereka di antara tokoh mereka Rahimahumullah:
• Abdul.lah bin Al-Mubarak wafat 181 H
• Waki’ bin Al-Jarrah wafat 197 H
• Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i wafat 204 H
• Abdurrahman bin Mahdi wafat 198 H
• Yahya bin Said Al-Qathan wafat 198 H
• Affan bin Muslim wafat 219 H
Kemudian murid-murid mereka yang berjalan di atas manhaj mereka di antaranya (Rahimahumullah) :
• Ahmad bin Hambal wafat 241 H
• Yahya bin Ma’in wafat 233 H
• Ali bin Al-Madini wafat 234 H
Kemudian murid-murid mereka di antaranya (Rahimahumullah) :
• Al-Bukhari wafat 256 H
• Muslim wafat 271 H
• Abu Hatim wafat 277 H
• Abu Zur’ah wafat 264 H
• Abu Dawud : wafat 275 H
• At-Turmudzi wafat 279 H wafat 303 H
• An Nasa’i wafat 234 H
Kemudian orang-orang yang berjalan di atas jalan mereka dari generasi ke generasi antara lain (Rahimahumullah):
• Ibnu Jarir wafat 310 H
• Ibnu Khuzaimah wafat 311 H
• Ad-Daruquthni wafat 385 H
• Ath-Thahawi wafat 321 H
• Al-Ajurri wafat 360 H
• Ibnu Baththah wafat 387 H
• Ibnu Abu Zamanain wafat 399 H
• Al-Hakim An-Naisaburi wafat 405 H
• Al-Lalika’i wafat 416 H
• Al-Baihaqi wafat 458 H
• Ibnu Abdil Bar wafat 463 H
• Al-Khathib Al-Baghdadi wafat 463 H
• AI-Baghawi wafat 516 H
• Ibnu Qudamah wafat 620 H
Di antara murid mereka dan orang meniti jejak mereka (Rahimahumullah) :
• Ibnu Abi Syamah wafat 665 H
• Majduddin lbnu Taimiyah wafat 652 H
• Ibnu Daqiq Al-led wafat 702 1-1
• Ibnu Ash-Shalah wafat 643 H
• Ibnu Taimiyah wafat 728 H
• Al-Mizzi wafat 742 H
• Ibnu Abdul Hadi wafat 744 H
• Adz-Dzahabi wafat 748 H
• Ibnul Qayyim wafat 751 H
• Ibnu Katsir wafat 774 H
• Asy-Syathibi wafat 790 H
• Ibnu Rajab wafat 795 H
Ulama setelah mereka yang mengikut jejak mereka di dalam berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah sampai hari ini. Di antara mereka (Rahimahumullah) :
• Ash-Shan’ani wafat 1182 H
• Muhammad bin Abdul Wahhab wafat 1206 H
• Al-Luknawi wafat 1304 H
• Muhammad Shiddiq Hasan Khan wafat 1307 H
• Syamsul Haq Al-Azhim wafat 1349 H
• Al-Mubarakfuri wafat 1353 H
• Abdurrahman As-Sa`di wafat 1367 H
• Ahmad Syakir wafat 1377 H
• Al-Mu’allimi Al-Yamani wafat 1386 H
• Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh wafat 1389 H
• Muhammad Amin Asy-Syinqithi wafat 1393 H
• Badi’uddin As-Sindi wafat 1416 H
• Muhammad Nashiruddin Al-Albani wafat 1420 H
• Abdul Aziz bin Abdillah Baz wafat 1420 H
• Hammad Al-Anshari wafat 1418 H
• Hamud At-Tuwaijiri wafat 1413 H
• Muhammad Al-Jami wafat 1416 H
• Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin wafat 1423 H
• Shalih bin Fauzan Al-Fauzan (masih hidup)
• Abdul Muhsin Al-Abbad (masih hidup)
• Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali (masih hidup)
• Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i wafat 1423 H
Di antara guru-guru dan teman-teman kami serta orang-orang yang kami kenal dari kalangan penuntut ilmu -semoga Allah membaikkan akhir hayat kami dan mereka berada di atas jalan ahli hadits. Itulah syiar dan slogan mereka semoga Allah mengampuni mereka semua, dan menganugrahkan kepada kami dan mereka ketetapan di atas kebenaran dan menjadikan akhir amalan kami kebaikan, kenikmatan dan kemuliaan-Nya.
Sumber:
Kitab Al Azhar Al Mantsuroh fi Tabyini Anna Ahlul Hadits Hum Al Firqotu An Najiyah wath Thaifah Al Mantsurah

Berbuat Baik Kepada Orangtua dalam surat Al-Ahqaaf ayat 15-16


MAKALAH
Berbuat Baik Kepada Orangtua
dalam surat Al-Ahqaaf ayat 15-16
Mata Kuliah Tafsir
LOGO STAIM











Disusun oleh :

Nama                         :  Khidir Hidayatullah
Program Studi         : Pendidikan Agama Islam
Jurusan                      : Tarbiyah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH
(STAIM ) KLATEN
2013/2014

 


KATA PENGANTAR

                Puji syukur penyusun haturkan kepada Allah ‘Azza wajalla, atas rahmat serta hidayah-NYA, Sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas Tafsir yang berjudul “Berbuat baik kepada orangtua” dalam surat Al-Ahqaaf ayat 15-16. Salam serta sholawat semoga tetap tercurah kepada uswatun hasanah Nabi Muhammad S.A.W beserta keluarga, sahabat, dan umatnya hingga hari akhir zaman.
            Tugas ini kami susun sebagai bagian dari tugas mata kuliah Tafsir dan sebagai bahan diskusi mahasiswa, untuk  memahami bagaimana cara kita tentang berbuat baik kepada orangtua.
            Dalam penyusunan tugas ini banyak kekurangan dan kami mengharapkan  saran dan kritik dari pembaca untuk pembenaran tugas ini. Dan semoga penyusunan tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca semuanya. Aamiin.


Klaten, 09 November 2013


      Penyusun



DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI .......................................................................................................................................         3
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................        4
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................................        5
  1. Keterangan Surat Al-Ahqaaf ayat 15-16 ...............................................................    5
1.      Asbabun Nuzul .........................................................................................................        6
2.      Tafsir .............................................................................................................................         6
3.      Munasabah .................................................................................................................        8
  1. Kedudukan Birrul Walidain .......................................................................................       11
  2. Keutamaan Birrul Walidain .......................................................................................       12
1.      Termasuk Amalan yang Mulia ...........................................................................      12
2.      Merupakan Salah Satu Penyebab diampuninya Dosa .............................  12
3.      Termasuk Sebab Masuknya Seseorang ke Syurga ....................................  13
4.      Lebih Utama dari Jihad Kifa’i ..............................................................................     13
BAB III. PENUTUP .........................................................................................................................         14
DAFTAR PUSTAKA     

BAB I
PENDAHULUAN
Al-Quran sebagai pedoman yang paling utama bagi umat Islam, yang mengajarkan kepada umat manusia agar senantiasa selalu berbuat baik. hal ini menujukkan bahwa setiap ayat Al-Quran mempunyai nilai-nilai dan unsur-unsur pendidikan akhlak. Lebih dari itu isi kandungan Al-Quran tidak terlepas dari pendidikan, yaitu pendidikan manusia agar berakhlak mulia, terutama dalam pergaulan antara sesama muslim, baik sesama umat Islam maupun kepada umat non Islam, oleh karena itu Islam mengajarkan umat manusia senantiasa berbuat baik dalam segala hal.
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang masalah akhlak, terutama akhlak kepada orangtua. Orang tua merupakan orang yang paling berjasa dan berperan dalam kehidupan manusia terutama dalam hal pendidikan, tanpa perantara orang tua, manusia tidak akan ada dan tidak akan mengenal arti kehidupan didunia karena orang tualah yang pertama kali mengenalkan dan mengajarkan kepada manusia akan arti kehidupan.
Betapa berjasanya orang tua dalam kehidupan manusia, maka sudah sepatutnya manusia untuk berbakti kepada kedua orang tuanya. Bentuk berbakti kepada orang tua bisa berupa patuh dan taat pada perintahnya selama masih dalam kebaikan, bertutur kata yang sopan, menjaga nama baik orang tua dan lain sebaginya.
Dalam makalah ini akan menerangkan surat Al-Ahqaaf ayat 15-16 yang berkenaan dengan “perintah berbakti kepada orang tua. Selamat membaca... dan semoga bermanfaat bagi antum. Jazakumullah



BAB II
PEMBAHASAN
A.     KETERANGAN SURAT AL-AHQAAF : 15-16
$uZøŠ¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷ƒyÏ9ºuqÎ/ $·Z»|¡ômÎ) ( çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $\döä. çm÷Gyè|Êurur $\döä. ( ¼çmè=÷Hxqur ¼çmè=»|ÁÏùur tbqèW»n=rO #·öky­ 4 #Ó¨Lym #sŒÎ) x÷n=t/ ¼çn£ä©r& x÷n=t/ur z`ŠÏèt/ör& ZpuZy tA$s% Éb>u ûÓÍ_ôãÎ÷rr& ÷br& tä3ô©r& y7tFyJ÷èÏR ûÓÉL©9$# |MôJyè÷Rr& ¥n?tã 4n?tãur £t$Î!ºur ÷br&ur Ÿ@uHùår& $[sÎ=»|¹ çm9|Êös? ôxÎ=ô¹r&ur Í< Îû ûÓÉL­ƒÍhèŒ ( ÎoTÎ) àMö6è? y7øs9Î) ÎoTÎ)ur z`ÏB tûüÏHÍ>ó¡ßJø9$# ÇÊÎÈ   y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# ã@¬6s)tGtR öNåk÷]tã z`|¡ômr& $tB (#qè=ÉKtã ãur$yftGtRur `tã öNÍkÌE$t«ÍhŠy þÎû É=»ptõ¾r& Ïp¨Ypgø:$# ( yôãur É-ôÅ_Á9$# Ï%©!$# (#qçR%x. tbrßtãqムÇÊÏÈ
Artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri". Mereka Itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.[1]


  1. Asbabun Nuzul
Sementara ulama berpendapat bahwa ayat di atas turun menyangkut Sayyidina Abu Bakar r.a saat usia beliau mencapai 40 tahun. Beliau telah bersahabat dengan Nabi S.A.W, sejak berumur 18 tahun dan Nabi S.A.W  ketika itu berumur 20 tahun. Mereka sering kali berpergian bersama antara lain dalam perjalanan dagang ke Syam. Beliau memeluk Islam pada usia 38 tahun dikala Nabi S.A.W baru beberapa saat mendapat wahyu pertama, dan dua tahun setelah itu Abu Bakar r.a berdo’a dengan kandungan ayat di atas. Sayyidina Abu Bakar memperoleh kehormatan dengan keIslaman ibu bapak dan anak-anaknya. Menurut al-Quthubi tidak seorang sahabat Nabipun yang ayah, ibu, anak-anak lelaki dan perempuan memeluk Islam kecuali Abu Bakar r.a.[2]
  1. Tafsir
Ayat 15 pada surat Al-Ahqaaf memerintahkan manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tua dengan kebaikan apa saja yang tidak terikat oleh persyaratan tertentu. Pesan ini datang dari pencipta manusia, dan mungkin pesan ini hanya diberikan kepada jenis manusia. Tidak diketahui dengan pasti apakah didunia burung, binatang, serangga dan selainnya ada kewajiban bahwa yang besar mesti mengasihi yang kecil. Namun menurut pengamatan, binatang hanya dibebeni tugas secara naluriah. Yaitu binatang yang besar memelihara binatang yang kecil. Hal ini berlaku pada beberapa jenis binatang saja. Maka, ayat tadi mungkin hanya berlaku bagi manusia.
Redaksi kalimat dan untaian kata-kata pada ayat itu mempersoonifikasikan penderitaan, perjuangan, keletihan dan kepenakan. “ Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah pula. Dia bagaikan orang sakit yang berjuang dengan dirundung kemalangan, memikul beban berat, bernafas dengan susah payah, dan tersengl-sengal. Itulah gambaran saat dia mengandung, terutama menjelang kelahiran anak. Itulah gambar persalinaan, kelahiran, dan aneka kepedihan.
Kedewasaan dicapai pada usia sekitar 30 hinggga 40 tahun. Usia 40 merupakan puncak kematangan dan kedewasaan. Pada usia ini sempurnalah segala potensi dan kekuatan, sehinggga manusia memiliki kesiapan untuk merenung dan berfikir secara tenang dan sempurna. Pada usia ini fitrah yang lurus lagi sehat mengacu pada apa yang ada dibalik kehidupan dan sesudahnya, mulai merenungkan tempat kembali dan akhirat.  
“Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat engkau yang telah engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku.” Inilah seruan qalbu yang mersakan nikmat Tuhannya, yang memandang agung dan besar atas nikmat yang merasakan nikmat Tuhannya, yang memandang agung dan besar atas nikmat yang telah dilimpahkan kepada dirinya dan orang tuanya pada masa lalu, sedang dia merasa usaha untuk mensyukurinya sangatlah minim dan kecil. Hamba tersebut memohon kepada Rabbnya kiranya dia membantu dalam menghimpun segala kekuatannya, Tunjukanlah kepadaku… Yakni, agar dia bangkit melaksanakan kewajiban bersyukur sehingga kekuatan dan himmahnya tidak terpecah kedalam berbagai kesibukan yang melupakan kewajiban yang besar ini.
“Serta supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang engkau ridha” Ini adalah permohonan lain. Dia memohon pertolongan agar mendapat taufik untuk beramal saleh sehingga dengan kesempurnaan dan kebaikan amal, dia meraih keridhaan-Nya, lalu Dia ridha kepadanya.
“Berikan kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.” Inilah permohonan ketiga berupa keinganan hati seorang mukmin agar amal shalehnya sampai kepada keturunannnya dan agar Qalbunya merasa senang jika keturunannya beribadah kepada Allah ‘Azza wajalla dan mencari keridhaan-Nya. Do’a itupun merupakan permohonan syafaat untuk bertaubat dan berserah diri.
Adapun sikap Tuhan kepada hamba demikian, maka dijelaskan dalam surat Al-Ahqaf  ayat 16, dimana balasan itu memperhitungkan amal yang paling baik. Aneka keburukan itu diampuni dan dimaafkan. Mereka kembali kesurga bersama para penghuninya yang utama. Itulah pemenuhan janji suci yang dijanjikan kepada mereka didunia. Allah ‘Azza wajalla tidak akan mengingkari janji-Nya. Itulah balasan yang melimpah, banyak dan besar.[3]   
  1. Munasabah  (Kewajiban berbuat baik kepada ibu bapak)
Pada ayat-ayat ini diterangkan perintah Allah Ta’ala kepada manusia agar berbuat baik kepada ibu bapaknya yang telah membesarkan dan memelihara dengan susah payah. Seoarng anak yang baik dan soleh disamping ia beribadah kepada Allah Ta’ala, juga selalu berbakti kepada ibu bapaknya dan berdo’a kepada Allah Ta’ala agar keduanya selalu mendapat rahmat dan karuniaNya. Anak yang demikian termasuk penghuni surga.
Seorang anak memang harus benar-benar berbakti kepada orang tuanya, mencintai dan mengasihinya, mendoakan atas kebaikan terhadapnya. Karena pentingnya hal itu maka Rasulullah S.A.W menjelaskan dalam hadits-haditsnya, tentang peran penting orang tua dalam kehidupan anak dan kedudukannya. Peran kedua oarang tua memanglah sangatlah berharga bagi kita, namun disisni siapakah yang harus kita dahulukan diantara keduanya, mengingat semua perjuangan yang dilakukan dalam merawat kita. Maka dalam hadits dijelaskan bahwa:
عَنْ اَبِي هُرَيرَةَ رضي الله عنه قال جَاءَ رَجُلٌ الى رسولِ الله صلى الله عليه وسلم فقال يَا رسولَ الله مَنْ اَحَقًّ النّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قال: اُمُّك قال: ثُمَّ مَنْ؟ قال: ثُمَّ اُمُّك قال: ثم من؟ قال :ثم امُّك قال: ثم من؟ قال : ثم اَبُوْكَ (اخرجه البخاري)
Artinya: Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: “suatu saat ada seorang laki-laki datang kepada Rasululloh S.A.W lalu bertanya: “wahai Rasululloh, siapakah yang paling berhak aku pergauli dengan baik?” Rosul S.A.W menjawab: “ibumu!”, lalu siapa? Rosul S.A.W menjawab: “ibumu!”,lalu siapa? : “ibumu!”. Sekali lagi orang itu bertanya: “kemudian siapa?” Rosul S.A.W menjawab: “bapakmu!”. (Bukhari dan Muslim)[4]
Dari hadits diatas jelaslah bahwa kedudukan ibu tiga kali lebih utama dari pada bapak, hal itu dikarenakan perjuangan ibu lebih berat dibanding bapak. Kemudian jika dikaitkan dengan hadits yang pertama yaitu tantang mencari ridho dari orang tua, maka yang didahulukan adalah ridho dari seorang ibu. Hal itu dikarenakan ada tiga pekerjaan yang dimana pekerjaan itu tidak bisa dilakukan seorang bapak, yaitu mengandung, mengasuh atau mendidik dan menyusui.[5]
Dalam keadaan mengandung seorang ibu sangatlah payah dan bertambah payah, keadaan itu ia alami selama sembilan bulan. Namun dengan keadaan seperti itu ia tetap menjaganya, malah merasa sangat bahagia karena mempunyai keturunan adalah karunia yang amat besar dari Allah Ta’ala. baginya dan ia ingin anaknya lahir dengan selamat. Maka ia akan menjaganya dengan sangat baik dan berhati-hati penuh kesabaran. Dan ketika melahirkan iapun pertaruhkan nyawanya demi bayinya.
Dalam pengasuhan maka ibulah yang paling lama dan sering berinteraksi dengan anaknya, maka penerapan pengajaran yang baik itu timbul dari ibunya. Dalam hal ini seorang bapak juga dapat berperan, namun perannya sangat sedikit sekali karena ia harus malaksanakan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga yakni mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Kemudian sang ibu harus menyusui anaknya selama 2 tahun, maka itu membuat ikatan antara anak dan seorang ibu lebih kuat, karena ibulah yang sangat dibutuhkan oleh anak-anaknya. Hadits selanjutnya yang disabdakan Nabi Muhammad S.A.W :

عَبْدُ الله بن مَسْعُودٍ قال سَاَ لْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم ايُّ الْعَمَلِ اَحَبُّ الى الله قال: الصَّلَاةُ على وَقْتِهَا قال: ثم اي قال:ثُمَّ بِرُّ الْوَالْدَيْنِ قال: ثم اي قال: الجِهَادُ فى سَبِيْلِ الله
(اخرجه البخاري و مسلم
Artinya: Dari Abu Abdurrahman bin Mas’ud ra., ia berkata: “saya bertanya kepada Nabi S.A.W : “amal apakah yang paling disukai oleh Allah Ta’ala?” beliau menjawab: “sholat pada waktunya” saya bertanya lagi: “kemudian apa?” beliau menjawab: “berbuat baik kepada kedua orang tua.” Saya bertanya lagi: “kemudian apa?” beliau menjawab: “berjihad (berjuang) di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)[6]
Diceritakan dalam hadits tersebut bahwa Abdurrahman bin Mas’ud pernah bertanya kepada Nabi S.A.W tentang amal perbuatan yang benyak mendatangkan pahala dari Allah Ta’ala, maka jawab beliau; “Perbuatan yang paling banyak mendatangkan pahala adalah sholat tepat pada waktunya, karena itu merupakan bentuk istiqomah dan merupakan muroqobah yang optimal. Kemudian adalah berbuat baik kepada kedua orang tua (birrul walidain) sebagai hak makhluk sesudah menunaikan hak Allah Ta’ala. Berarti disini berbakti kepada orang tua hal penting kedua setalah melaksanakan hak manusia kepada Allah Ta’ala. kemudian yang ketiga jihad di jalan Allah Ta’ala sebagai salah satu hak tanah air.[7]
Disebut urutan perbuatan yang akan banyak mendatangkan pahala untuk manusia, dan berbakti kepada kedua orang tua menempati urutan yang kedua. Hal itu menjelaskan bahwa kita harus memenuhi hak kita sebagai makhluk untuk mendahulukan perintah Allah Ta’ala. Baru setelah itu perintah dari orang tua, dan kemudian yang lainnya.



B.    Kedudukan Birrul Walidain
Pengulangan perintah dan digandengkan dengan ayat perintah untuk mentauhidkan Allah menunjukan begitu pentingnya kedudukan berbakti terhadap kedua orangtua di dalam Islam. Allah meletakkan hak orangtua (untuk dibaktikan) setelah Hak Allah (untuk diibadahi) dalam ayat Al-Qur'an surah An-Nisa: 36 dan Al-Isra: 23.
Kedudukan dan hak seorang ibu untuk diberikan bakti oleh seorang anak adalah lebih tinggi tiga berbanding satu dibandingkan hak seorang ayah, padahal hak seorang Ayah terhadap anaknya sangat besar. Dari Abu Hurairah ia berkata:"Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah, kemudian berkata, "wahai Rasulullah, siapa manusia yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku ?" Beliau menjawab, "ibumu", ia berkata lagi, "kemudian siapa lagi ?" Beliau menjawab, "ibumu", ia pun berkata lagi, "kemudian siapa lagi ?" Beliau menjawab, "ibumu". Ia pun berkata lagi, "kemudian siapa lagi?" Beliau menjawab, "bapakmu".[8]
Berkata Imam Al-Qurthubi: “Termasuk ‘Uquuq (durhaka) kepada orang tua adalah menyelisihi/ menentang keinginan-keinginan mereka dari (perkara-perkara) yang mubah, sebagaimana Al-Birr (berbakti) kepada keduanya adalah memenuhi apa yang menjadi keinginan mereka. Oleh karena itu, apabila salah satu atau keduanya memerintahkan sesuatu, wajib engkau mentaatinya selama hal itu bukan perkara maksiat, walaupun apa yang mereka perintahkan bukan perkara wajib tapi mubah pada asalnya, demikian pula apabila apa yang mereka perintahkan adalah perkara yang mandub (disukai/ disunnahkan).[9]
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab Zaadul Musaafir bahwa Abu Bakr berkata: “Barangsiapa yang menyebabkan kedua orang tuanya marah dan menangis, maka dia harus mengembalikan keduanya agar dia bisa tertawa (senang) kembali”.[10]
C.     Keutamaan Birrul Walidain
Keutamaan dari berbakti kepada kedua orang tua diantaranya ialah ibadah yang paling mulia, sebagai sebab diampuninya dosa, sebab masuknya seseorang ke Surga, sebab keridhaan Allah ‘Azza wa jalla, sebab bertambahnya umur, dan sebab barakahnya rejeki.
1.     Termasuk amalan yang paling mulia
Dari Abdullah bin Mas’ud mudah-mudahan Allah meridhoinya dia berkata : Saya bertanya kepada Rasulullah S.A.W: Apakah amalan yang paling dicintai oleh Allah?, Bersabda Rasulullah S.A.W: “Sholat tepat pada waktunya”, Saya bertanya : Kemudian apa lagi?, Bersabada Rasulullah S.A.W“Berbuat baik kepada kedua orang tua”. Saya bertanya lagi : Lalu apa lagi?, Maka Rasulullah S.A.Wbersabda : “Berjihad di jalan Allah”[11]
2.     Merupakan salah satu sebab diampuninya dosa
Allah menjanjikan ampunan kepada seseorang yang berbakti kepada kedua orang tua: “...Mereka itulah orang-orang yang kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga. Sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.” (QS. Al Ahqaf 15-16)
Diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwasannya seorang laki-laki datang kepada Rasulullah S.A.Wdan berkata : Wahai Rasulullah sesungguhnya telah menimpa kepadaku dosa yang besar, apakah masih ada pintu taubat bagi saya?, Maka bersabda Rasulullah S.A.W : “Apakah Ibumu masih hidup?”, berkata dia : tidak. Bersabda beliau S.A.W: “Kalau bibimu masih ada?”, dia berkata : “Ya” . Bersabda Rasulullah S.A.W: “Berbuat baiklah padanya”[12]
3.     Termasuk sebab masuknya seseorang ke Surga
Dari Abu Hurairah, mudah-mudahan Allah Ta’ala meridhoinya, dia berkata : Saya mendengar Rasulullah S.A.W bersabda: “Celakalah dia, celakalah dia”, Rasulullah S.A.Wditanya : Siapa wahai Rasulullah?, Bersabda Rasulullah S.A.W: “Orang yang menjumpai salah satu atau kedua orang tuanya dalam usia lanjut kemudian dia tidak masuk surga (karena tidak berbakti kepada keduanya)”.(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1758, ringkasan).
Dari Mu’awiyah bin Jaahimah, Bahwasannya Jaahimah datang kepada Rasulullah S.A.Wkemudian berkata : “Wahai Rasulullah, saya ingin (berangkat) untuk berperang, dan saya datang (ke sini) untuk minta nasehat pada anda. Maka S.A.Wbersabda : “Apakah kamu masih memiliki Ibu?”. Berkata dia : “Ya”. Bersabda S.A.W : “Tetaplah dengannya karena sesungguhnya surga itu dibawah telapak kakinya”.[13]
4.     Lebih utama dari Jihad Kifa’i
Berbakti kepada orang tua lebih diutamakan dibanding Jihad yang fardhu kifayah. Sehingga seseorang yang hendak berangkat berjihad kemudian Orang tuanya tidak mengizinkannya maka dia dilarang untuk pergi berjihad. Apabila jihad itu fardhu kifayah (tathawwu’), maka diwajibkan izin kepada orang tua dan diharamkan berangkat tanpa izin keduanya Ini adalah kesepakatan para ulama berdasarkan hadits Abdullah bin Amr bin Ash, beliau berkata, “Datang seorang lelaki kepada Nabi S.A.W minta izin kepadanya untuk berangkat jihad, Maka beliau bertanya, “Apakah kedua orangtuamu masih hidup?” la menjawab, “Iya.” Maka beliau bersabda, “Pada keduanyalah engkau berjihad”.[14] Berbakti kepada orang tua hukumnya adalah fardhu ain, Sehingga ia lebih didahulukan terhadap jihad yang hukumnya hanya fardhu kifayah. Wallahu a’lam bishshowab
BAB III
Penutup
Bahwa kedua orang tua sangat berpengaruh dalam menentukan dan menjadikan anak-anak mereka orang yang berakhlak mulia, (menjadi seorang yang muslim serta mu'min), dan bisa jadi menjadikan anak-anak mereka menjadi orang yang berakhlak yang buruk, (bisa menjadi orang Yahudi atau Nasrani), dalam hal ini juga yang paling berperan dalam membentuk akhlak anak-anak ialah keberadaan ibu, karena ibulah yang sangat dekat dengan anak-anaknya.
Nilai-nilai akhlak anak terhadap kedua orang tua bisa kita sebutkan sebagi berikut:
-          Sewaktu mereka masih hidup di dalam dunia hendaklah selalu berbakti kepada keduanya, dengan cara selalu mendo'akan serta melaksanakan ajakkan mereka kepada kebaikan serta meninggalkan apa yang telah mereka larang, sebab berbakti kepada kedua orang tua adalah amal yang paling utama, sedangkan durhaka kepada keduanya termasuk dosa besar, hal ini telah disebutkan dalam Al-Qur'an dalam hadits.
-          Sewaktu mereka telah meninggal dunia, dengan cara melaksanakan wasiat mereka dalam kebaikan, serta selalu menjalin tali silaturrahim yang telah mereka tanam tatkala mereka masih hidup, serta menjaga nama baik mereka, hal yang demikian adalah sesuatu yang mesti di perhatikan oleh setiap anak demi tercapainya suatu sikap yang baik yakni birrul walidaini.
-          Suatu sikap yang harus ditempuh oleh anak dalam berbakti kepada kedua orang tua, ialah dengan mendahulukan kepentingan kedua orang tua dari kepentingan diri peribadi, serta hendaklah mematuhi segala perintah mereka dan menjauhi larangan mereka yang apabila disuruh untuk berbuat kebaikan hendaklah dipatuhi, dan jangan sekali-kali mengucapkan kata "ah" atau "cis".
Daftar Pustaka

Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemah (edisi revisi), (Semarang : Asy Syifa', 1999)
Hasyim, Husaini Abdul Majid, Syarah Riyadhush Shalihin 2, terj: Mu’amal Hamidy dan Imron A Manan, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993)
Ismail, Imam Muhamad bin, Subulussalaam Syarah Bulughul Marom, (Daarul Manar, 2002), juz 3
Nawawi, Imam, Riyadhus Shalihin, terj: Achmad Sunarto, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), jilid 1, cet 4
Sya’roni, Mahmud, Cermin Kehidupan Rosul, (Semarang: Aneka Ilmu, 2006)
Quthb, Sayyid. 2004.Tafsir Fi Zhalali qur’an jilid 10 (Jakarta : Gema Insani)




[1]  Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemah (edisi revisi), (Semarang : Asy Syifa', 1999) hlm.824.
[2]  Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhalali qur’an, jilid 10 (Jakarta : Gema Insani, 2004), hlm. 320

[3]  Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhalali qur’an, jilid 10 (Jakarta : Gema Insani, 2004), hlm. 320-321

[4]  Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin, terj: Achmad Sunarto, Jakarta: Pustaka Amani, 1999, jld 1 cet 4, hlm.327
[5]  Imam Muhamad bin Ismail, Subulussalaam Syarah Bulughul Marom, Daarul Manar, 2002, juz 3, hlm.214
[6]  Imam Nawawi, Op Cit, hlm. 325
[7]  Husaini Abdul Majid Hasyim, Syarah Riyadhush Shalihin 2, terj: Mu’amal Hamidy dan Imron
    A Manan, Surabaya:PT Bina Ilmu, 1993, hlm. 3-4
[8]  HR. Bukhari; 5971, Muslim; 2548
[9]  Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an Jil 6 hal 238
[10]  Ghadzaul Al Baab 1/382
[11]  Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahihain, HR. Al-Bukhari, 10/336 dan Muslim no. 85
[12]  Diriwayatkan oleh Tirmidzi didalam Jami’nya dan berkata Al ‘Arnauth : Perawi-perawinya tsiqoh. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim. Lihat Jaami’ul Ushul (1/ 406)
[13]  Hadits Hasan diriwayatkan oleh Nasa’i dalam Sunannya dan Ahmad dalam Musnadnya, Hadits ini Shohih. (Lihat Shahihul Jaami No. 1248
[14]  Hadits riwayat Al-Bukhâri no. 3004, 5972, Muslim no. 2549, Abu Daud no. 2529, At-Tirmidzy no. 1675, dan An-Nasa`i 6/10.