Wednesday, May 7, 2014

Hubungan Politik dan Keagamaan Antar Kerajaan Islam Di Indonesia serta Pembentukan Budaya

MAKALAH
Hubungan Politik dan Keagamaan Antar Kerajaan Islam
Di Indonesia serta Pembentukan Budaya
Mata Kuliah Sejarah Kebudayaan Islam II
Dosen pembimbing : Drs. H. A. Burhanudin, M.Pd.I
LOGO STAIM











Disusun oleh :
Nama                          : - Fatimah Khairul U           (16)
  - Kesi Puspita A R               (21)     
  - Khidir Hidayatullah         (22)     
  - Siti Nur Hayati                  (40)     
  - Sri Karyani                        (42)
  - Sri Mulyono                       (43)

Program Studi           : Pendidikan Agama Islam
Jurusan                      : Tarbiyah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH
(STAIM ) KLATEN
2014

KATA PENGANTAR

            Puji syukur penyusun haturkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-NYA. Sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas Sejarah Kebudayaan Islam II dengan judul “Hubungan Politik dan Keagamaan antar Kerajaan Islam di Indonesia serta Pembentukan Budaya”. Salam dan sholawat semoga tetap tercurah kepada uswatun hasanah Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan umatnya hingga hari akhir zaman.
            Tugas ini kami susun sebagai bagian dari tugas mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam II dan sebagai bahan diskusi mahasiswa, untuk  memahami bagaimana hubungan politik dan keagamaan antar kerajaan islam di indonesia.
            Dalam penyusunan tugas ini banyak kekurangan dan kami mengharapkan  saran dari pembaca untuk pembenaran tugas ini. Dan semoga penyusunan tugas ini bermanfaat bagi pembaca semuanya. Aamiin.


Klaten, 19 Maret 2014


      Team Penyusun


DAFTAR ISI




HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI                         
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................            ......      1
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................     2
A.    Pengertian Politik dan Keagamaan...............................................................       2
B.     Hubungan Politik dan Keagamaan antar kerajaan Islam di Nusantara ........       3
C.     Pembentukan Budaya ........................................................................     .....       4
1.      Pola Samudera Pasai ....................................................................... .....       4
2.      Pola Sulawesi Selatan ....................................................................   .....       5
3.      Pola Jawa ..................................................................................        .....       5
BAB III  PENUTUP  ................................................................................... .....      9
DAFTAR PUSTAKA     



BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara kepulauan yang merdeka sejak tahun 1945. Sebelum Negara ini merdeka, di Indonesia terdapat beberapa kerajaan yang berdiri di dalamnya. Kerajaan-kerajaan itu pada mulanya menganut ajaran agama hindu-budha, karena agama itulah yang pertama di indonesia. Kemudian terbentuklah kerajaan-kerajaan islam karena adanya pengaruh dari pedagang-pedagang dari jazirah arab yang datang untuk berdagang dan menyebarkan agama islam yang terjadi pada abad ke-7 Masehi dan baru pada abad ke-13 berdirilah kerajaan islam diberbagai penjuru nusantara yang merupakan kebangkitan kekuatan politik umat islam.
Ada beberapa kerajaan-kerajaan islam yang berdiri di nusantara, baik di pulau jawa atau di luar jawa sebelum penjajahan belanda. Kerajaan-kerajan tersebut membawa pengaruh yang sangat besar dalam corak budaya dan perkembangan Negara..



BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian Politik dan keagamaan
            Politik diambil dari kata “Polis” yang artinya dalam bahasa Yunani kuno “Kota atau City”. Dan “kota” dalam bahasa itu adalah Negara yang berkuasa, menurut istilah sekarang.[1] Sedangkan menurut bahasa Inggris, kata politik berasal dari kata politic adalah yang menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan. Secara leksikal, kata asal tersebut berarti acting or judging wisely, well judged, prudent.[2] Kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti,[3] yaitu Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan, dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu Ilmu Politik.
            Sedangkan menurut Istilah,  Deliar Noer mengatakan bahwa politik adalah segala aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat.[4] Miriam Budiardjo mengatakan pada umumnya politik itu merupakan bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.[5]
            Agama merupakan keyakinan atau kepercayaan. Keagamaan di Indonesia lebih sering dikatakan dengan Islam. Karena mayoritas agama di Indonesia adalah Islam. Di dalam Islam, agama merupakan pegangan atau pedoman yang dijadikan setiap orang sebagai landasan dalam kehidupan sehari-hari.
  1. Hubungan Politik dan Keagamaan antara kerajaan Islam di Nusantara

            Hubungan antara satu kerajaan Islam dengan kerajaan Islam lainnya pertama-tama memang terjalin karena persamaan agama. Hubungan itu pada mulanya, mengambil bentuk kegiatan dakwah, kemudian berlanjut setelah kerajaan-kerajaan Islam berdiri. Demikianlah misalnya antara Giri dengan daerah-daerah Islam di Indonesia bagian Timur, terutama Maluku. Adalah dalam rangka penyebaran Islam itu pula, Fadhilah Khan dari Pasai datang ke Demak, untuk memperluas wilayah kekuasaan ke Sunda Kelapa.
            Dalam bidang politik, agama pada mulanya dipergunakan untuk memperkuat diri dalam menghadapi pihak-pihak atau kerajaan-kerajaan yang bukan Islam, terutama yang mengancam kehidupan politik maupun ekonomi. Persekutuan antara Demak dengan Cirebon dalam menaklukkan Banten dan Sunda Kelapa dapat diambil sebagai contoh. Contoh lainnya adalah persekutuan kerajaan-kerajaan Islam dalam menghadapi Portugis dan Kompeni Belanda yang berusaha memonopoli pelayaran dan perdagangan.
            Meskipun demikian, kalau kepentingan politik dan ekonomi antar kerajaan-kerajaan Islam itu sendiri terancam, persamaan agama tidak menjamin bahwa permusuhan tidak ada. Peperangan di kalangan kerajaan-kerajaan Islam sendiri sering terjadi. Misalnya, antara Pajang dan Demak, Ternate dan Tidore, Gowa-Tallo dan Bone. Oleh karena kepentingan yang berbeda di antara kerajaan-kerajaan itu pula, sering satu kerajaan Islam meminta bantuan pada pihak lain, terutama Kompeni Belanda, untuk mengalahkan kerajaan Islam yang lain.
            Hubungan antar kerajaan-kerajaan Islam lebih banyak terletak dalam bidang budaya dan keagamaan. Samudera Pasai dan kemudian Aceh yang dikenal dengan Serambi Makkah menjadi pusat pendidikan dan pengajaran Islam. Dari sini ajaran-ajaran Islam tersebar keseluruh pelosok Nusantara melalui karya-karya ulama dan murid-muridnya yang menuntut ilmu ke sana. Demikian pula halnya dengan Giri di Jawa Timur terhadap daerah-daerah di Indonesia bagian timur. Karya-karya sastra dan keagamaan dengan segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam. Tema dan isi-isi karya itu sering kali mirip antara satu dengan yang lain. Kerajaan Islam itu telah merintis terwujudnya idiom kultural yang sama, yaitu Islam. Hal ini menjadi pendorong terjadinya interaksi budaya yang makin erat.[6]
           

  1.  Pembentukan Budaya
           Dalam rentang waktu sejak akhir abad ke-13, ketika samudera pasai berdiri, sampai abad ke-17, di saat istana Gowa-Tallo resmi menganut islam, menurut Taufik Abdullah, setidaknya tiga pola pembentukan budaya, yang memperlihatkan bentuknya dalam proses pembentukan negara telah terjadi.[7] ketiga pola itu ialah:
  1. Pola Samudera Pasai
Lahirnya kerajaan Samudera Pasai berlangsung melalui perubahan dari negara yang segmenter ke negara yang terpusat. Sejak awal perkembangannya, samudera pasai menunjukkan banyak pertanda dari pembentukan suatu negara baru. Kerajaan ini tidak saja berhadapan dengan golongan-golongan yang belum ditundukkan dan diislamkan dari wilayah pedalaman, tetapi juga harus menyelesaikan pertentangan politik serta pertentangan keluarga yang berkepanjanga. Dalam proses perkembangannya menjadi negara terpusat, samudera pasai juga menjadi pusat pengajaran agama. Reputasinya sebagai pusat agama terus berlanjut walaupun kemudian kedudukan ekonomi dan politiknya menyusut.
Dengan pola tersebut, samudera pasai memiliki “kebebasan budaya”  untuk memformulasikan struktur dan sistem kekuasaan, yang mencerminkan gambaran dengan dirinya. Pola yang sama dapat pula disaksikan pada proses terbentuknya kerajaan Aceh Darussalam.
  1. Pola Sulawesi Selatan
Pola ini adalah pola islamisasi melalui konversi keraton atau pusat kekuasaan. Dalam sejarah islam di asia tenggara, pola ini didahului oleh berdirinya kerajaan islam malaka. Proses islamisasi berlangsung dalam suatu struktur negara yang telah memiliki basis legitimasi geneologis. Konversi agama menunjukkan kemampuan raja. Penguasa terhindar dari penghinaan rakyatnya dalam masalaah kenegaraan.
Pola islamisasi melalui konversi keraton atau pusat kekuasaan seperti itu, di indonesia terjadi juga di sulawesi selatan, maluku dan banjarmasin. Tidak seperti samudera pasai, islamisasi di gowa-tallo, ternate, banjarmasin, dan sebagainya yang mempunyai pola yang sama, tidak memberi landasan bagi pembentukan negara. Islam tidak mengubah desa menjadi suatu bentuk baru dari organisasi kekuasaan, seperti yang terjadi di samudera pasai. Konversi agama dijalankan, tetapi pusat kekuasaan telah ada lebih dahulu.
  1. Pola Jawa
Di jawa, islam mendapatkan suatu sistem politik dan struktur kekuasaan yang telah lama mapan, berpusat dikeraton pusat majapahit. Sebenarnya komunitas pedagang muslim mendapat tempaat dalam pusat-pusat politik pada abad ke-11. Komunitas itu makin membesar pada abad ke-14. Ketika posisi raja melemah, para saudagar kaya diberbagai kadipaten di wilayah pesisir mendapat peluang besar untuk menjauhkan diri dari kekuasaan raja. Mereka kemudian tidak hanya masuk islam tetapi juga membangun pusat-pusat politik yang independent. Setelah kraton pusat menjadi goyah, karaton-kraton kecil mulai bersaing untuk menggantikan kedudukannya. Demak akhirnya berhasil menggantikan majapahit. Dengan posisi baru ini, demak tidak saja menjadi pemegang hegemoni politik, tetapi juga menjadi “jembatan penyeberangan” islam yang paling penting di jawa.
Walaupun mencapai keberhasilan politik dengan cepat, demak tidak saja harus menghadapi masalah legitimasi politik, tetapi juga panggilan kultural untuk kontunuitas. Dilema kultural dari dominasi politik islam di dalam suasana tradisi siswa-budhistik telah jauh menukik kedalam kesadaran. Hal itu akan jelas ketika kraton dipindahkan oleh jaka tingkir ke pajang dipedalaman dan semakin jelas ketika mataram berhasil menggantikan kedudukan pajang tahun 1588 M.
Tidak seperti pola samudera pasai, islam mendorong pembentukan negara yang supraa-desa, juga tidak seperti gowa-tallo, karaton yang diislamkan. Di jawa islam tampil sebagai penantang, untuk kemudian mengambil alih kekuasaan yang ada. Jadi, yang tampil adalah suatu dilema kultural dari orang baru di dalam bangunan politik yang lama.
Menurut Taufik Abdullah, pola samudera pasai dan pola sulawesi selatan  menunjukkan cara yang berbeda, suatu kecenderungan ke arah pembentukan tradisi yang bercorak integratif. Inilah tradisi, di mana islam mengalami proses pempribumian secara konseptual dan stuktural. Islam menjadi bagian intrinsik dari sistem kebudayaan secara keseluruhan. Islam dipandang sebagai landasan masyarakat budaya dan kehidupan pribadi. Dikerajaan Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda, di samping membangun masjid Baitur Rahman dan beberapa masjid di daerah lain, juga memerintahkan rakyat sembahyang lima waktu, puasa ramadhaan, dan puasa sunnah, serta menjauhkan diri dari minum arak dan bermain judi.  Aceh di zaman sultan iskandar muda mengkonsolidasikan dirinya sebagai “serambi mekkah”. Pada masa itu pula, dirumuskannya “hukum dan adat adalah ibarat kuku dan daging”. Ulama’ adalah sejarah aceh menjadi perumus realitas dan pengesah kekuasaan.
Dikerajaan bone, kerajaan bugis paling besar yang masuk islam tahun 1610 M, rajanya ke-13 la Maddaremmeng (1631-1644M), menggabungkan hukum islam ke dalam lembaga tradisional bone. Ia juga mencanangkan “gerakan pembaharuan keagamaan” dengan memerintahkan kaulanya untuk mematuhi ajaran islam secara total. Dikerajaan gowa-tallo, kalau sebelum islam hanay terdapat empat unsur yang mengawasi negara, yaitu ade, yang mengawasi rakyat, rappang, yang memperkuat negara, wari, yang memperkuat ikatan keluarga, dan bicara, yang mengawasi perbuatan sewenang-wenang, setelah islam, unsur itu ditambah satu lagi yaitu sara’, yaitu kewajiban agama. Untuk itu dibentuk lembaga yang dinamakan dengan parewa sara’, pejabat agama, sebagai pendamping parewa ade, pejabat adat. Hal itu dimaksudkan untuk menciptakan aturan-aturan sosial yang tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama yang diajukan oleh parewa sara’.
Dalam tradisi integrasi ini, tidak semua budaya pra-islam otomatis ditinggalkan. Sisa-sisa pra-islam masih terdapat dalam kehidupan masyarakat, tetapi sudah dijadikaan sebagai bagian dari apa yang dianggap _ dalam tahap perkembangan sejarah _ sebagai bagian “dunia islam”. Makna dan signifikansi unsur-unsur itu, bila bukan substansinya, mengalami proses “islamisasi”. Pencarian kearah bentuk ortodoksi yang sesuai adalah salah satu corak dinamika tradisi integrasi ini.
Di jawa, demak tidak saja harus mengalami masalah legitimasi politik,tetapi juga ,panggilan kultural untuk kontinuitas.Tanpa itu,ia tidak akan pernahdi akui sebagaisesuat yang jatuh padaorang terpilih,harus tetap berlaku. Konsep ini memberi dasar yang sah bagi penguasa keratonyang baru dan menjadi dasar idiologis bagimonopoli kekuasaan. Dengan ini raja menjadi pusat alam semestadan sumber kekuasaan. Atas dasar itulah ,raja jawa juga bergelar susuhunan,gelar yang biasanya di gunakan oleh para pemimpin agama dan panatagama. : pelindung dan pengatur agama. Tradisi jawa ini memperlihatkan wujutnya setelah hegomoni politik jawa begeser dari pesisir ke pedalaman.
Perpindahan keraton itu menyebabkan tiga lembaga utama keraton sebagai pusat kekuasaan,pasar dan pesantren sebagai pusat keagamaan terpisah. Untuk memantapkan diri sebagai pemegang hegemoni politik,pasar dan pesantren di perangi. Akan tetapi,pesantren tidak lenyap,bahkan ia berkembang menjadi saingan keraton,karena ia juga beroeran sebagai perumus realitas . Sebagai pesaing,pesantren menjadi tempat pesaing bagi krabat raja yang tidak di sukai dan tempat berlindung bagi para bangsawan yang kecewa. Dalam proses itu,muncul suatu tipe tradisi tertentu , “tradisi dialok ‘. Tradisi ini adalah arena tempat pengertian kontinuitas dan dorongan kearah prubahan sosial budaya yang harus menemukan lapangan bersama. Dalam perspektif politik dialog ini merupakan suatu suasana yang salah suatu kelompok pesantren dan kraton menganggap yang lain sebagai penantang dan susunan dialog antara kebudayaan. Secara antropologis,tradisi dialog itu merupakan ranah tempat unsur abangan harus menghadapi penetrasi trus menerus dari pemikiran yangyang di ajukan oleh unsur santri. Dinamika tradisi ini terletak pada bagaimana menciptakan keakuran dunia pesantren dan dunia keraton. Ada saat antara tradisi pesantren dan tradisi kraton itu “bertengkar”,tetapi ada pula saatnya mereka “mesra”. Tugas raja adalah menciptakan keserasian , bukan menyebarkan agama. Karena itu, kalau di Aceh, sultan membangun masjud, di jawa mesjid Demak di bagun oleh wali songo.[8]



BAB III
PENUTUP

Kepentingan politik dan ekonomi antar kerajaan-kerajaan Islam itu sendiri terancam, persamaan agama tidak menjamin bahwa permusuhan tidak ada. Peperangan di kalangan kerajaan-kerajaan Islam sendiri sering terjadi.
Ada tiga pola yang ditemukan dalam pembentukan budaya, yakni antara lain:
1.      Pola samudera pasai
2.      Pola sulawesi selatan.
3.      Pola jawa.
Lahirnya kerajaan samudera pasai berlangsung melalui perubahan dari negara segmenter ke negara terpusat. Pola sulawesi selatan adalah pola islamisasi melalui konversi keraton atau pusat kekuasaan. Hal ini di indonesia terjadi juga di sulawesi selatan, maluku, dan banjarmasin.di jawa islam tampil sebagai penantang, untuk kemudian mengambil alih kekuasaan yang ada. Tidak seperti pola samudera pasai, islam mendorong pembentukan negara yang supra desa, juga tidak seperti gowa-tallo, keraton yang diislamkan.






DAFTAR PUSTAKA

Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Islam, Jakarta : Rajawali
Pers, 1995.
Afan Gaffar. “ Politik Akomodasi: Islam dan Negara dan Indonesia" dalam M. Imam Aziz, dkk., Agama, Demokrasi dan Keadilan. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama. 1993.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Jakarta : Paramadina, 1998.
Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta : Rajawali, 1983.
Fuad Mohd. Fachruddin, Pemikiran Politik Islam, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya,
1986.
Hassan, Hassan Ibrahim. Sejarah dan kebudayaan islam. Yogyakarta: Kota
Kembang. 1989
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia, 1982.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1983.
Tebba, Sudirman, “Islam di Indonesia : Dari Minoritas Politik Menuju Mayoritas
Budaya”, Jurnal Ilmu Politik, No. 4, 1989.
Yatim, Badri. Sejarah peradaban islam.Jakarta: Rajawali Pers. 2010




[1]  Fuad Mohd. Fachruddin, Pemikiran Politik Islam, Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1986.hlm.62.
[2]  Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Islam, Jakarta, Rajawali Pers, 1995.
     hlm. 35.
[3]  Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1983. hlm. 42.
[4]  Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta, Rajawali, 1983. hlm. 14-15.
[5]  Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia, 1982. hlm. 96.

[6]  Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006, Hal. 224-225.
[7]  Taufik Abdullah dan Sharon Siddique (Ed.), “Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara”,
     (Jakarta: LP3ES, 1989, Cetakan Pertama).
[8]  Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006, Hal. 225-230.

2 comments:

  1. Wah ini artikel yang saya cari tentang Makalah Keagamaan di Indonesia buat ngerjain tugas neh... Makasih ya...

    ReplyDelete