Wednesday, May 7, 2014

Berbuat Baik Kepada Orangtua dalam surat Al-Ahqaaf ayat 15-16


MAKALAH
Berbuat Baik Kepada Orangtua
dalam surat Al-Ahqaaf ayat 15-16
Mata Kuliah Tafsir
LOGO STAIM











Disusun oleh :

Nama                         :  Khidir Hidayatullah
Program Studi         : Pendidikan Agama Islam
Jurusan                      : Tarbiyah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH
(STAIM ) KLATEN
2013/2014

 


KATA PENGANTAR

                Puji syukur penyusun haturkan kepada Allah ‘Azza wajalla, atas rahmat serta hidayah-NYA, Sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas Tafsir yang berjudul “Berbuat baik kepada orangtua” dalam surat Al-Ahqaaf ayat 15-16. Salam serta sholawat semoga tetap tercurah kepada uswatun hasanah Nabi Muhammad S.A.W beserta keluarga, sahabat, dan umatnya hingga hari akhir zaman.
            Tugas ini kami susun sebagai bagian dari tugas mata kuliah Tafsir dan sebagai bahan diskusi mahasiswa, untuk  memahami bagaimana cara kita tentang berbuat baik kepada orangtua.
            Dalam penyusunan tugas ini banyak kekurangan dan kami mengharapkan  saran dan kritik dari pembaca untuk pembenaran tugas ini. Dan semoga penyusunan tugas ini dapat bermanfaat bagi pembaca semuanya. Aamiin.


Klaten, 09 November 2013


      Penyusun



DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI .......................................................................................................................................         3
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................        4
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................................        5
  1. Keterangan Surat Al-Ahqaaf ayat 15-16 ...............................................................    5
1.      Asbabun Nuzul .........................................................................................................        6
2.      Tafsir .............................................................................................................................         6
3.      Munasabah .................................................................................................................        8
  1. Kedudukan Birrul Walidain .......................................................................................       11
  2. Keutamaan Birrul Walidain .......................................................................................       12
1.      Termasuk Amalan yang Mulia ...........................................................................      12
2.      Merupakan Salah Satu Penyebab diampuninya Dosa .............................  12
3.      Termasuk Sebab Masuknya Seseorang ke Syurga ....................................  13
4.      Lebih Utama dari Jihad Kifa’i ..............................................................................     13
BAB III. PENUTUP .........................................................................................................................         14
DAFTAR PUSTAKA     

BAB I
PENDAHULUAN
Al-Quran sebagai pedoman yang paling utama bagi umat Islam, yang mengajarkan kepada umat manusia agar senantiasa selalu berbuat baik. hal ini menujukkan bahwa setiap ayat Al-Quran mempunyai nilai-nilai dan unsur-unsur pendidikan akhlak. Lebih dari itu isi kandungan Al-Quran tidak terlepas dari pendidikan, yaitu pendidikan manusia agar berakhlak mulia, terutama dalam pergaulan antara sesama muslim, baik sesama umat Islam maupun kepada umat non Islam, oleh karena itu Islam mengajarkan umat manusia senantiasa berbuat baik dalam segala hal.
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang masalah akhlak, terutama akhlak kepada orangtua. Orang tua merupakan orang yang paling berjasa dan berperan dalam kehidupan manusia terutama dalam hal pendidikan, tanpa perantara orang tua, manusia tidak akan ada dan tidak akan mengenal arti kehidupan didunia karena orang tualah yang pertama kali mengenalkan dan mengajarkan kepada manusia akan arti kehidupan.
Betapa berjasanya orang tua dalam kehidupan manusia, maka sudah sepatutnya manusia untuk berbakti kepada kedua orang tuanya. Bentuk berbakti kepada orang tua bisa berupa patuh dan taat pada perintahnya selama masih dalam kebaikan, bertutur kata yang sopan, menjaga nama baik orang tua dan lain sebaginya.
Dalam makalah ini akan menerangkan surat Al-Ahqaaf ayat 15-16 yang berkenaan dengan “perintah berbakti kepada orang tua. Selamat membaca... dan semoga bermanfaat bagi antum. Jazakumullah



BAB II
PEMBAHASAN
A.     KETERANGAN SURAT AL-AHQAAF : 15-16
$uZøŠ¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷ƒyÏ9ºuqÎ/ $·Z»|¡ômÎ) ( çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $\döä. çm÷Gyè|Êurur $\döä. ( ¼çmè=÷Hxqur ¼çmè=»|ÁÏùur tbqèW»n=rO #·öky­ 4 #Ó¨Lym #sŒÎ) x÷n=t/ ¼çn£ä©r& x÷n=t/ur z`ŠÏèt/ör& ZpuZy tA$s% Éb>u ûÓÍ_ôãÎ÷rr& ÷br& tä3ô©r& y7tFyJ÷èÏR ûÓÉL©9$# |MôJyè÷Rr& ¥n?tã 4n?tãur £t$Î!ºur ÷br&ur Ÿ@uHùår& $[sÎ=»|¹ çm9|Êös? ôxÎ=ô¹r&ur Í< Îû ûÓÉL­ƒÍhèŒ ( ÎoTÎ) àMö6è? y7øs9Î) ÎoTÎ)ur z`ÏB tûüÏHÍ>ó¡ßJø9$# ÇÊÎÈ   y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# ã@¬6s)tGtR öNåk÷]tã z`|¡ômr& $tB (#qè=ÉKtã ãur$yftGtRur `tã öNÍkÌE$t«ÍhŠy þÎû É=»ptõ¾r& Ïp¨Ypgø:$# ( yôãur É-ôÅ_Á9$# Ï%©!$# (#qçR%x. tbrßtãqムÇÊÏÈ
Artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri". Mereka Itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.[1]


  1. Asbabun Nuzul
Sementara ulama berpendapat bahwa ayat di atas turun menyangkut Sayyidina Abu Bakar r.a saat usia beliau mencapai 40 tahun. Beliau telah bersahabat dengan Nabi S.A.W, sejak berumur 18 tahun dan Nabi S.A.W  ketika itu berumur 20 tahun. Mereka sering kali berpergian bersama antara lain dalam perjalanan dagang ke Syam. Beliau memeluk Islam pada usia 38 tahun dikala Nabi S.A.W baru beberapa saat mendapat wahyu pertama, dan dua tahun setelah itu Abu Bakar r.a berdo’a dengan kandungan ayat di atas. Sayyidina Abu Bakar memperoleh kehormatan dengan keIslaman ibu bapak dan anak-anaknya. Menurut al-Quthubi tidak seorang sahabat Nabipun yang ayah, ibu, anak-anak lelaki dan perempuan memeluk Islam kecuali Abu Bakar r.a.[2]
  1. Tafsir
Ayat 15 pada surat Al-Ahqaaf memerintahkan manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tua dengan kebaikan apa saja yang tidak terikat oleh persyaratan tertentu. Pesan ini datang dari pencipta manusia, dan mungkin pesan ini hanya diberikan kepada jenis manusia. Tidak diketahui dengan pasti apakah didunia burung, binatang, serangga dan selainnya ada kewajiban bahwa yang besar mesti mengasihi yang kecil. Namun menurut pengamatan, binatang hanya dibebeni tugas secara naluriah. Yaitu binatang yang besar memelihara binatang yang kecil. Hal ini berlaku pada beberapa jenis binatang saja. Maka, ayat tadi mungkin hanya berlaku bagi manusia.
Redaksi kalimat dan untaian kata-kata pada ayat itu mempersoonifikasikan penderitaan, perjuangan, keletihan dan kepenakan. “ Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah pula. Dia bagaikan orang sakit yang berjuang dengan dirundung kemalangan, memikul beban berat, bernafas dengan susah payah, dan tersengl-sengal. Itulah gambaran saat dia mengandung, terutama menjelang kelahiran anak. Itulah gambar persalinaan, kelahiran, dan aneka kepedihan.
Kedewasaan dicapai pada usia sekitar 30 hinggga 40 tahun. Usia 40 merupakan puncak kematangan dan kedewasaan. Pada usia ini sempurnalah segala potensi dan kekuatan, sehinggga manusia memiliki kesiapan untuk merenung dan berfikir secara tenang dan sempurna. Pada usia ini fitrah yang lurus lagi sehat mengacu pada apa yang ada dibalik kehidupan dan sesudahnya, mulai merenungkan tempat kembali dan akhirat.  
“Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat engkau yang telah engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku.” Inilah seruan qalbu yang mersakan nikmat Tuhannya, yang memandang agung dan besar atas nikmat yang merasakan nikmat Tuhannya, yang memandang agung dan besar atas nikmat yang telah dilimpahkan kepada dirinya dan orang tuanya pada masa lalu, sedang dia merasa usaha untuk mensyukurinya sangatlah minim dan kecil. Hamba tersebut memohon kepada Rabbnya kiranya dia membantu dalam menghimpun segala kekuatannya, Tunjukanlah kepadaku… Yakni, agar dia bangkit melaksanakan kewajiban bersyukur sehingga kekuatan dan himmahnya tidak terpecah kedalam berbagai kesibukan yang melupakan kewajiban yang besar ini.
“Serta supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang engkau ridha” Ini adalah permohonan lain. Dia memohon pertolongan agar mendapat taufik untuk beramal saleh sehingga dengan kesempurnaan dan kebaikan amal, dia meraih keridhaan-Nya, lalu Dia ridha kepadanya.
“Berikan kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.” Inilah permohonan ketiga berupa keinganan hati seorang mukmin agar amal shalehnya sampai kepada keturunannnya dan agar Qalbunya merasa senang jika keturunannya beribadah kepada Allah ‘Azza wajalla dan mencari keridhaan-Nya. Do’a itupun merupakan permohonan syafaat untuk bertaubat dan berserah diri.
Adapun sikap Tuhan kepada hamba demikian, maka dijelaskan dalam surat Al-Ahqaf  ayat 16, dimana balasan itu memperhitungkan amal yang paling baik. Aneka keburukan itu diampuni dan dimaafkan. Mereka kembali kesurga bersama para penghuninya yang utama. Itulah pemenuhan janji suci yang dijanjikan kepada mereka didunia. Allah ‘Azza wajalla tidak akan mengingkari janji-Nya. Itulah balasan yang melimpah, banyak dan besar.[3]   
  1. Munasabah  (Kewajiban berbuat baik kepada ibu bapak)
Pada ayat-ayat ini diterangkan perintah Allah Ta’ala kepada manusia agar berbuat baik kepada ibu bapaknya yang telah membesarkan dan memelihara dengan susah payah. Seoarng anak yang baik dan soleh disamping ia beribadah kepada Allah Ta’ala, juga selalu berbakti kepada ibu bapaknya dan berdo’a kepada Allah Ta’ala agar keduanya selalu mendapat rahmat dan karuniaNya. Anak yang demikian termasuk penghuni surga.
Seorang anak memang harus benar-benar berbakti kepada orang tuanya, mencintai dan mengasihinya, mendoakan atas kebaikan terhadapnya. Karena pentingnya hal itu maka Rasulullah S.A.W menjelaskan dalam hadits-haditsnya, tentang peran penting orang tua dalam kehidupan anak dan kedudukannya. Peran kedua oarang tua memanglah sangatlah berharga bagi kita, namun disisni siapakah yang harus kita dahulukan diantara keduanya, mengingat semua perjuangan yang dilakukan dalam merawat kita. Maka dalam hadits dijelaskan bahwa:
عَنْ اَبِي هُرَيرَةَ رضي الله عنه قال جَاءَ رَجُلٌ الى رسولِ الله صلى الله عليه وسلم فقال يَا رسولَ الله مَنْ اَحَقًّ النّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قال: اُمُّك قال: ثُمَّ مَنْ؟ قال: ثُمَّ اُمُّك قال: ثم من؟ قال :ثم امُّك قال: ثم من؟ قال : ثم اَبُوْكَ (اخرجه البخاري)
Artinya: Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: “suatu saat ada seorang laki-laki datang kepada Rasululloh S.A.W lalu bertanya: “wahai Rasululloh, siapakah yang paling berhak aku pergauli dengan baik?” Rosul S.A.W menjawab: “ibumu!”, lalu siapa? Rosul S.A.W menjawab: “ibumu!”,lalu siapa? : “ibumu!”. Sekali lagi orang itu bertanya: “kemudian siapa?” Rosul S.A.W menjawab: “bapakmu!”. (Bukhari dan Muslim)[4]
Dari hadits diatas jelaslah bahwa kedudukan ibu tiga kali lebih utama dari pada bapak, hal itu dikarenakan perjuangan ibu lebih berat dibanding bapak. Kemudian jika dikaitkan dengan hadits yang pertama yaitu tantang mencari ridho dari orang tua, maka yang didahulukan adalah ridho dari seorang ibu. Hal itu dikarenakan ada tiga pekerjaan yang dimana pekerjaan itu tidak bisa dilakukan seorang bapak, yaitu mengandung, mengasuh atau mendidik dan menyusui.[5]
Dalam keadaan mengandung seorang ibu sangatlah payah dan bertambah payah, keadaan itu ia alami selama sembilan bulan. Namun dengan keadaan seperti itu ia tetap menjaganya, malah merasa sangat bahagia karena mempunyai keturunan adalah karunia yang amat besar dari Allah Ta’ala. baginya dan ia ingin anaknya lahir dengan selamat. Maka ia akan menjaganya dengan sangat baik dan berhati-hati penuh kesabaran. Dan ketika melahirkan iapun pertaruhkan nyawanya demi bayinya.
Dalam pengasuhan maka ibulah yang paling lama dan sering berinteraksi dengan anaknya, maka penerapan pengajaran yang baik itu timbul dari ibunya. Dalam hal ini seorang bapak juga dapat berperan, namun perannya sangat sedikit sekali karena ia harus malaksanakan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga yakni mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Kemudian sang ibu harus menyusui anaknya selama 2 tahun, maka itu membuat ikatan antara anak dan seorang ibu lebih kuat, karena ibulah yang sangat dibutuhkan oleh anak-anaknya. Hadits selanjutnya yang disabdakan Nabi Muhammad S.A.W :

عَبْدُ الله بن مَسْعُودٍ قال سَاَ لْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم ايُّ الْعَمَلِ اَحَبُّ الى الله قال: الصَّلَاةُ على وَقْتِهَا قال: ثم اي قال:ثُمَّ بِرُّ الْوَالْدَيْنِ قال: ثم اي قال: الجِهَادُ فى سَبِيْلِ الله
(اخرجه البخاري و مسلم
Artinya: Dari Abu Abdurrahman bin Mas’ud ra., ia berkata: “saya bertanya kepada Nabi S.A.W : “amal apakah yang paling disukai oleh Allah Ta’ala?” beliau menjawab: “sholat pada waktunya” saya bertanya lagi: “kemudian apa?” beliau menjawab: “berbuat baik kepada kedua orang tua.” Saya bertanya lagi: “kemudian apa?” beliau menjawab: “berjihad (berjuang) di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)[6]
Diceritakan dalam hadits tersebut bahwa Abdurrahman bin Mas’ud pernah bertanya kepada Nabi S.A.W tentang amal perbuatan yang benyak mendatangkan pahala dari Allah Ta’ala, maka jawab beliau; “Perbuatan yang paling banyak mendatangkan pahala adalah sholat tepat pada waktunya, karena itu merupakan bentuk istiqomah dan merupakan muroqobah yang optimal. Kemudian adalah berbuat baik kepada kedua orang tua (birrul walidain) sebagai hak makhluk sesudah menunaikan hak Allah Ta’ala. Berarti disini berbakti kepada orang tua hal penting kedua setalah melaksanakan hak manusia kepada Allah Ta’ala. kemudian yang ketiga jihad di jalan Allah Ta’ala sebagai salah satu hak tanah air.[7]
Disebut urutan perbuatan yang akan banyak mendatangkan pahala untuk manusia, dan berbakti kepada kedua orang tua menempati urutan yang kedua. Hal itu menjelaskan bahwa kita harus memenuhi hak kita sebagai makhluk untuk mendahulukan perintah Allah Ta’ala. Baru setelah itu perintah dari orang tua, dan kemudian yang lainnya.



B.    Kedudukan Birrul Walidain
Pengulangan perintah dan digandengkan dengan ayat perintah untuk mentauhidkan Allah menunjukan begitu pentingnya kedudukan berbakti terhadap kedua orangtua di dalam Islam. Allah meletakkan hak orangtua (untuk dibaktikan) setelah Hak Allah (untuk diibadahi) dalam ayat Al-Qur'an surah An-Nisa: 36 dan Al-Isra: 23.
Kedudukan dan hak seorang ibu untuk diberikan bakti oleh seorang anak adalah lebih tinggi tiga berbanding satu dibandingkan hak seorang ayah, padahal hak seorang Ayah terhadap anaknya sangat besar. Dari Abu Hurairah ia berkata:"Ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah, kemudian berkata, "wahai Rasulullah, siapa manusia yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku ?" Beliau menjawab, "ibumu", ia berkata lagi, "kemudian siapa lagi ?" Beliau menjawab, "ibumu", ia pun berkata lagi, "kemudian siapa lagi ?" Beliau menjawab, "ibumu". Ia pun berkata lagi, "kemudian siapa lagi?" Beliau menjawab, "bapakmu".[8]
Berkata Imam Al-Qurthubi: “Termasuk ‘Uquuq (durhaka) kepada orang tua adalah menyelisihi/ menentang keinginan-keinginan mereka dari (perkara-perkara) yang mubah, sebagaimana Al-Birr (berbakti) kepada keduanya adalah memenuhi apa yang menjadi keinginan mereka. Oleh karena itu, apabila salah satu atau keduanya memerintahkan sesuatu, wajib engkau mentaatinya selama hal itu bukan perkara maksiat, walaupun apa yang mereka perintahkan bukan perkara wajib tapi mubah pada asalnya, demikian pula apabila apa yang mereka perintahkan adalah perkara yang mandub (disukai/ disunnahkan).[9]
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab Zaadul Musaafir bahwa Abu Bakr berkata: “Barangsiapa yang menyebabkan kedua orang tuanya marah dan menangis, maka dia harus mengembalikan keduanya agar dia bisa tertawa (senang) kembali”.[10]
C.     Keutamaan Birrul Walidain
Keutamaan dari berbakti kepada kedua orang tua diantaranya ialah ibadah yang paling mulia, sebagai sebab diampuninya dosa, sebab masuknya seseorang ke Surga, sebab keridhaan Allah ‘Azza wa jalla, sebab bertambahnya umur, dan sebab barakahnya rejeki.
1.     Termasuk amalan yang paling mulia
Dari Abdullah bin Mas’ud mudah-mudahan Allah meridhoinya dia berkata : Saya bertanya kepada Rasulullah S.A.W: Apakah amalan yang paling dicintai oleh Allah?, Bersabda Rasulullah S.A.W: “Sholat tepat pada waktunya”, Saya bertanya : Kemudian apa lagi?, Bersabada Rasulullah S.A.W“Berbuat baik kepada kedua orang tua”. Saya bertanya lagi : Lalu apa lagi?, Maka Rasulullah S.A.Wbersabda : “Berjihad di jalan Allah”[11]
2.     Merupakan salah satu sebab diampuninya dosa
Allah menjanjikan ampunan kepada seseorang yang berbakti kepada kedua orang tua: “...Mereka itulah orang-orang yang kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga. Sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.” (QS. Al Ahqaf 15-16)
Diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwasannya seorang laki-laki datang kepada Rasulullah S.A.Wdan berkata : Wahai Rasulullah sesungguhnya telah menimpa kepadaku dosa yang besar, apakah masih ada pintu taubat bagi saya?, Maka bersabda Rasulullah S.A.W : “Apakah Ibumu masih hidup?”, berkata dia : tidak. Bersabda beliau S.A.W: “Kalau bibimu masih ada?”, dia berkata : “Ya” . Bersabda Rasulullah S.A.W: “Berbuat baiklah padanya”[12]
3.     Termasuk sebab masuknya seseorang ke Surga
Dari Abu Hurairah, mudah-mudahan Allah Ta’ala meridhoinya, dia berkata : Saya mendengar Rasulullah S.A.W bersabda: “Celakalah dia, celakalah dia”, Rasulullah S.A.Wditanya : Siapa wahai Rasulullah?, Bersabda Rasulullah S.A.W: “Orang yang menjumpai salah satu atau kedua orang tuanya dalam usia lanjut kemudian dia tidak masuk surga (karena tidak berbakti kepada keduanya)”.(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1758, ringkasan).
Dari Mu’awiyah bin Jaahimah, Bahwasannya Jaahimah datang kepada Rasulullah S.A.Wkemudian berkata : “Wahai Rasulullah, saya ingin (berangkat) untuk berperang, dan saya datang (ke sini) untuk minta nasehat pada anda. Maka S.A.Wbersabda : “Apakah kamu masih memiliki Ibu?”. Berkata dia : “Ya”. Bersabda S.A.W : “Tetaplah dengannya karena sesungguhnya surga itu dibawah telapak kakinya”.[13]
4.     Lebih utama dari Jihad Kifa’i
Berbakti kepada orang tua lebih diutamakan dibanding Jihad yang fardhu kifayah. Sehingga seseorang yang hendak berangkat berjihad kemudian Orang tuanya tidak mengizinkannya maka dia dilarang untuk pergi berjihad. Apabila jihad itu fardhu kifayah (tathawwu’), maka diwajibkan izin kepada orang tua dan diharamkan berangkat tanpa izin keduanya Ini adalah kesepakatan para ulama berdasarkan hadits Abdullah bin Amr bin Ash, beliau berkata, “Datang seorang lelaki kepada Nabi S.A.W minta izin kepadanya untuk berangkat jihad, Maka beliau bertanya, “Apakah kedua orangtuamu masih hidup?” la menjawab, “Iya.” Maka beliau bersabda, “Pada keduanyalah engkau berjihad”.[14] Berbakti kepada orang tua hukumnya adalah fardhu ain, Sehingga ia lebih didahulukan terhadap jihad yang hukumnya hanya fardhu kifayah. Wallahu a’lam bishshowab
BAB III
Penutup
Bahwa kedua orang tua sangat berpengaruh dalam menentukan dan menjadikan anak-anak mereka orang yang berakhlak mulia, (menjadi seorang yang muslim serta mu'min), dan bisa jadi menjadikan anak-anak mereka menjadi orang yang berakhlak yang buruk, (bisa menjadi orang Yahudi atau Nasrani), dalam hal ini juga yang paling berperan dalam membentuk akhlak anak-anak ialah keberadaan ibu, karena ibulah yang sangat dekat dengan anak-anaknya.
Nilai-nilai akhlak anak terhadap kedua orang tua bisa kita sebutkan sebagi berikut:
-          Sewaktu mereka masih hidup di dalam dunia hendaklah selalu berbakti kepada keduanya, dengan cara selalu mendo'akan serta melaksanakan ajakkan mereka kepada kebaikan serta meninggalkan apa yang telah mereka larang, sebab berbakti kepada kedua orang tua adalah amal yang paling utama, sedangkan durhaka kepada keduanya termasuk dosa besar, hal ini telah disebutkan dalam Al-Qur'an dalam hadits.
-          Sewaktu mereka telah meninggal dunia, dengan cara melaksanakan wasiat mereka dalam kebaikan, serta selalu menjalin tali silaturrahim yang telah mereka tanam tatkala mereka masih hidup, serta menjaga nama baik mereka, hal yang demikian adalah sesuatu yang mesti di perhatikan oleh setiap anak demi tercapainya suatu sikap yang baik yakni birrul walidaini.
-          Suatu sikap yang harus ditempuh oleh anak dalam berbakti kepada kedua orang tua, ialah dengan mendahulukan kepentingan kedua orang tua dari kepentingan diri peribadi, serta hendaklah mematuhi segala perintah mereka dan menjauhi larangan mereka yang apabila disuruh untuk berbuat kebaikan hendaklah dipatuhi, dan jangan sekali-kali mengucapkan kata "ah" atau "cis".
Daftar Pustaka

Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemah (edisi revisi), (Semarang : Asy Syifa', 1999)
Hasyim, Husaini Abdul Majid, Syarah Riyadhush Shalihin 2, terj: Mu’amal Hamidy dan Imron A Manan, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993)
Ismail, Imam Muhamad bin, Subulussalaam Syarah Bulughul Marom, (Daarul Manar, 2002), juz 3
Nawawi, Imam, Riyadhus Shalihin, terj: Achmad Sunarto, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), jilid 1, cet 4
Sya’roni, Mahmud, Cermin Kehidupan Rosul, (Semarang: Aneka Ilmu, 2006)
Quthb, Sayyid. 2004.Tafsir Fi Zhalali qur’an jilid 10 (Jakarta : Gema Insani)




[1]  Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemah (edisi revisi), (Semarang : Asy Syifa', 1999) hlm.824.
[2]  Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhalali qur’an, jilid 10 (Jakarta : Gema Insani, 2004), hlm. 320

[3]  Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhalali qur’an, jilid 10 (Jakarta : Gema Insani, 2004), hlm. 320-321

[4]  Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin, terj: Achmad Sunarto, Jakarta: Pustaka Amani, 1999, jld 1 cet 4, hlm.327
[5]  Imam Muhamad bin Ismail, Subulussalaam Syarah Bulughul Marom, Daarul Manar, 2002, juz 3, hlm.214
[6]  Imam Nawawi, Op Cit, hlm. 325
[7]  Husaini Abdul Majid Hasyim, Syarah Riyadhush Shalihin 2, terj: Mu’amal Hamidy dan Imron
    A Manan, Surabaya:PT Bina Ilmu, 1993, hlm. 3-4
[8]  HR. Bukhari; 5971, Muslim; 2548
[9]  Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an Jil 6 hal 238
[10]  Ghadzaul Al Baab 1/382
[11]  Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahihain, HR. Al-Bukhari, 10/336 dan Muslim no. 85
[12]  Diriwayatkan oleh Tirmidzi didalam Jami’nya dan berkata Al ‘Arnauth : Perawi-perawinya tsiqoh. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim. Lihat Jaami’ul Ushul (1/ 406)
[13]  Hadits Hasan diriwayatkan oleh Nasa’i dalam Sunannya dan Ahmad dalam Musnadnya, Hadits ini Shohih. (Lihat Shahihul Jaami No. 1248
[14]  Hadits riwayat Al-Bukhâri no. 3004, 5972, Muslim no. 2549, Abu Daud no. 2529, At-Tirmidzy no. 1675, dan An-Nasa`i 6/10.

No comments:

Post a Comment