Saturday, April 20, 2013

SIHIR

Definisi Sihir
Secara etimologis atau bahasa, sihir diartikan sebagai sesuatu yang halus dan tersembunyi sebabnya (Mukhtar Ash-Shihah, hal. 208 dan Al-Qamus, hal. 519). Oleh karena itu waktu sahur di malam hari disebut dengan sahur karena aktivitas-aktivitas yang dilakukan pada waktu itu tersembunyi.
Adapun secara terminologis (istilah), terjadi perbedaan pendapat di antara ulama dalam mengungkapkan dan mendefinisikan sihir. Di antara mereka ada yang mendefinisikan sihir sebagai jimat-jimat, jampi-jampi, dan buhul-buhul yang berpengaruh pada hati dan badan, yang mengakibatkan sakit, mati, terpisahkannya antara suami dan isteri atas izin Allah. Di antara mereka adalah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Sulaiman Al-Qar’awi dalam kitab Al-Jadid fi Syarah Kitabut Tauhid (hal. 153), Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin di dalamkitab Al-Qaulul Mufid (2/5), dan Asy-Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan dalam kitab At-Tauhid.
Asy-Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi t mengatakan: “Ketahuilah bahwa sihir tidak akan bisa didefinisikan dengan definisi yang menyeluruh dan lengkap karena terkandung banyak permasalahan. Dan dari sinilah berbeda ungkapan para ulama dalam mendefinisikan dan perselisihan yang jelas.” (Adhwa-ul Bayan, 4/444)
Namun dari kedua tinjauan ini, sangat jelas bahwa sihir memiliki hakikat dan pengaruh dalam kehidupan manusia. Sihir merupakan bentuk perbuatan tersembunyi yang akan memberi pengaruh terhadap badan, pikiran, dan hati seseorang dengan bantuan ‘makhluk halus’ baik melalui jampi-jampi, ikatan-ikatan buhul yang berakibat merusak badan, pikiran, dan hati seseorang.
Hakikat Sihir
Merupakan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah bahwa sihir itu hakiki dan mempunyai pengaruh pada seseorang yang disihir. Keyakinan ini dibangun di atas dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Allah berfirman:
“Dan mereka mengikuti apa-apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu yang mengerjakan sihir). Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir), dan mereka mengajarkan sihir kepada manusia.” (Al-Baqarah: 102)
“Mereka berkata: Sesungguhnya dua orang ini (Musa dan Harun) adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kalian dari negeri kalian dengan sihirnya, serta hendak melenyapkan kedudukan kalian yang utama. Maka himpunkanlah segala daya (sihir) kalian kemudian datanglah dengan berbaris dan sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menang pada hari ini. Setelah mereka berkumpul, mereka berkata: ‘Hai Musa, (pilihlah) apakah kamu yang melempar dahulu atau kamilah yang mula-mula melemparkan?’ Musa berkata: ‘Silakan kalian melemparkan.’ Maka tiba-tiba tali dan tongkat mereka terbayang kepada Musa seakan-akan dia merayap dengan cepat lantaran sihir mereka. Maka Musa merasa takut dalam hatinya. Kami (Allah) berkata: ‘Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang). Lemparkanlah apa yang ada di tangan kananmu, niscaya dia akan menelan apa yang mereka perbuat. Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka) dan tidak akan menang tukang sihir itu dari mana pun dia datang’.” (Thaha: 63-69)
“Maka tatkala melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut serta mereka mendatangkan sihir yang besar.” (Al-A’raf: 116)
Dan masih banyak ayat-ayat lain yang menjelaskan hakikat sihir tersebut. Adapun dalil dari As Sunnah adalah sebagai berikut. Abu Hurairah z berkata, Rasulullah r bersabda:
“Jauhilah tujuh perkara yang akan membinasakan.” Para shahabat bertanya: “Apa itu?” Beliau bersabda: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa tanpa alasan yang haq, makan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh orang-orang yang beriman yang menjaga diri dari maksiat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Masih banyak dalil lain yang menunjukkan bahwa sihir itu hakiki dan mempunyai pengaruh. Asy-Syaikh Hafidz bin Ahmad Al-Hakami t mengatakan: “Sihir adalah sesuatu yang benar-benar ada dan pengaruhnya tidak terlepas dari takdir Allah sebagaimana Allah berfirman: Mereka belajar dari keduanya perkara yang akan memecah belah hubungan suami istri dan mereka tidak akan bisa berbuat mudharat kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah (Al-Baqarah: 102). Dan pengaruhnya ada sebagaimana dalam hadits-hadits yang shahih.” (A’lamus Sunnah Al-Mansyurah hal. 153)
Musthafa Abu Nashr Asy-Syabli dalam ta’liqnya terhadap kitab di atas mengatakan: “Pengaruh sihir itu ada. Dan tidak ada yang mengingkari kecuali orang yang sombong atau mengingkari apa yang diturunkan kepada Rasulullah r. Beliau sebagai sebaik-baik manusia dan sayyid anak Adam pernah terkena sihir seorang Yahudi dari Bani Zuraiq yang bernama Labid bin Al-A’sham dan beliau terus dalam sihir tersebut selama 6 bulan.”
Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari (10/226) mengatakan: “Al-Maziri berkata: Sebagian ahli bid’ah mengingkari sihir yang menimpa Rasulullah r ini. Mereka menyangka bahwa hal ini akan menjatuhkan kedudukan nubuwwah dan akan memberi keraguan. Mereka berkata: Siapa saja yang berkata demikian maka itu adalah pengakuan batil.”
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan mengatakan: “Dinamakan sihir karena terjadi dengan perkara yang sangat tersembunyi yang tidak akan bisa dilihat oleh mata. Yaitu berbentuk jimat-jimat, jampi-jampi, pembicaraan-pembicaraan, atau melalui asap-asap. Sihir memiliki hakikat dan di antaranya berpengaruh terhadap hati dan badan sehingga bisa menyebabkan sakit, terbunuh, dan memisahkan antara suami istri.” (At-Tauhid, hal. 21)
Abu Muhammad Al-Maqdisi di dalam kitab Al-Kafi (3/164) mengatakan: “Sihir adalah jimat-jimat, jampi-jampi, dan ikatan-ikatan buhul yang berpengaruh pada hati dan badan yang akhirnya menyebabkan sakit dan mati, serta akan memisahkan suami istri. Allah berfirman: “Lalu mereka belajar dari keduanya (Harut dan Marut) sesuatu yang akan bisa memisahkan antara seorang suami dengan istrinya.” (Al-Baqarah: 102). Allah juga berfirman: “Dan kejahatan wanita-wanita yang meniupkan buhul-buhul.” (Al-Falaq: 4). Yaitu tukang-tukang sihir dari kaum wanita yang mereka mengikat buhul-buhul dalam sihirnya lalu menjampinya. Jika sihir itu hakikatnya tidak ada, niscaya Allah tidak menyuruh untuk berlindung darinya.”
Hukum Mempelajari Sihir
Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum mempelajari sihir ini.
Pendapat pertama, Al-Imam Malik t berkata bahwa belajar sihir atau mengajarkannya menyebabkan pelakunya kafir meskipun dia tidak menggunakannya. Karena, pada sihir terdapat unsur pengagungan terhadap setan dan mengaitkan semua kejadian yang ada di alam ini kepada mereka. Dan tidak akan dikatakan oleh orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir bahwa mereka tidak kafir.
Pernyataan ini juga diucapkan oleh Al-Imam Ahmad t dalam riwayat darinya yang lebih masyhur, dinukil dari shahabat ‘Ali z dan dikuatkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni.Pendapat kedua adalah pendapat Al-Hanafiyyah. Mereka merinci hal yang demikian. Apabila mempelajari sihir untuk melindungi dirinya, maka dia tidak kafir. Bila dia mempelajarinya dengan keyakinan bahwa hal tersebut dibolehkan atau akan memberi manfaat baginya, maka ini adalah kufur. Yang berpendapat demikian juga adalah Asy-Syafi’i dan mayoritas pengikut beliau, serta dikuatkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar, Al-Qurafi, dan Asy-Syinqithi. (Al-Fath, 10/224 dan Adhwa-ul Bayan, 4/44)
Pendapat ketiga, belajar sihir tidak kafir. Ini merupakan salah satu pendapat Al-Imam Ahmad yang tidak kuat, dan dicela pendapat ini oleh Ibnu Hazm. (Lihat Fathul Bari, 10/224, Adhwa-ul Bayan, 4/44, Tafsir Ibnu Katsir, 1/128, Tafsir Al-Qurthubi, 2/43, Fathul Qadir, 1/151, dan Tafsir As-Sa’di, hal. 42)
Ash-Shan’ani dalam kitab Tath-hir Al-I’tiqad (hal. 44) mengatakan: “Belajar ilmu sihir bukan perkara yang sulit, bahkan pintunya yang paling besar adalah kufur kepada Allah dan menghinakan apa-apa yang diagungkan oleh Allah seperti meletakkan mushaf di WC dan sebagainya.”
Pendapat yang terkuat adalah sebagaimana yang akan dijelaskan pada pembahasan berikut.
Sihir dalam Pandangan Agama
Ibnu ‘Allan dalam kitab Dalilul Falihin (8/284) mengatakan: “Sihir adalah hal-hal di luar kebiasaan yang terjadi melalui ucapan-ucapan dan perbuatan. Dan memungkinkan untuk dilawan dengan yang sepertinya. Dan sihir itu adalah haram termasuk dari dosa besar.”
Allah berfirman:
“Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukar (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah keuntungan baginya di akhirat.” (Al-Baqarah: 102)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh t mengatakan: “Ayat ini menunjukkan atas haramnya sihir dan juga haram dalam agama seluruh para rasul sebagaimana firman Allah: ‘Dan tidak akan beruntung tukang sihir dari mana saja dia datang’. (Thaha: 69). Pengikut Al-Imam Ahmad telah menjelaskan tentang kafirnya belajar sihir dan mengajarkannya.” (Fathul Majid, hal. 336)
Asy-Syaikh Shalih Fauzan dalam ta’liq beliau terhadap kitab Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah mengatakan: “Sihir adalah satu bentuk perbuatan setan dan termasuk dari kekufuran kepada Allah, maka janganlah kamu tertipu dengan mereka.”
Ibnu Abil ‘Izzi dalam Syarah Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah (hal. 505) mengatakan: “Para ulama telah sepakat bahwa jika sihir itu dalam bentuk meminta kepada bintang yang tujuh atau selainnya, mengajak berbicara atau sujud kepadanya, dan mendekatkan diri kepadanya baik dengan bentuk pakaian, atau cincin, asap-asap, sesajen, atau yang sejenisnya, maka ini termasuk jenis kekufuran dan pintu kesyirikan yang paling besar. Oleh karena itu wajib ditutup.”
As-Sa’di t dalam Tafsir beliau (hal. 44) mengatakan: “Jangan kamu belajar sihir karena yang demikian itu termasuk dari kekufuran.”
Semua ucapan para ulama tersebut terambil dari dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana dalam firman Allah:
“Tidaklah keduanya mengajarkan sesuatu kepada seorang pun melainkan keduanya mengatakan: Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, maka janganlah kamu kafir.” (Al-Baqarah: 102)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan: “Dari sini sangat jelas bahwa seseorang tidak mungkin mempelajari sihir melainkan dia harus kafir. Dan bila dia telah kafir maka dia akan mempelajarinya. Berdasarkan ayat ini maka tukang sihir hukumnya adalah kafir.”
Adz-Dzahabi dalam kitab beliau Al-Kabair (hal. 21-22) mengatakan: “Tukang sihir harus dikafirkan berdasarkan firman Allah: “Akan tetapi setan-setan yang kafir dan mengajarkan manusia sihir”. Setan tidak memiliki tujuan dalam mengajarkan manusia ilmu sihir melainkan agar Allah disekutukan. Kamu melihat kebanyakan orang sesat karena mempelajari ilmu sihir tersebut dan mereka menyangka hanya sebatas haram dan mereka tidak mengira kalau yang demikian itu adalah wujud kekafiran. Hukuman bagi tukang sihir adalah dibunuh karena dia kufur kepada Allah. Hendaklah setiap hamba bertakwa kepada Allah dan jangan sekali-kali dia masuk kepada perkara-perkara yang akan mencelakakan dirinya di dunia dan akhirat.” (Al-Qaulul Mufid, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab Al-Yamani, hal. 137)
Adapun dari Sunnah Rasulullah r adalah hadits Abu Hurairah di atas yang dikeluarkan oleh Al-Imam Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang akan membinasakan…” di antaranya adalah sihir.
Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan: “Diharamkan untuk belajar sihir apakah belajarnya untuk diamalkan atau untuk mempertahankan diri. Allah telah menjelaskan dalam Al Qur’an tentang mempelajarinya adalah kekufuran. Allah berfirman: “Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut. Sedang keduanya tidak mengajarkan kepada seorang pun melainkan mengatakan: Sesungguhnya kami hanya cobaan bagi kamu, maka janganlah kafir.” (Al-Baqarah: 102). Sungguh Rasulullah telah menjelaskan bahwa sihir merupakan salah satu dari dosa-dosa besar dan memerintahkan agar menjauhinya dengan sabdanya: “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang akan membinasakan…”, kemudian beliau menyebutkan di antaranya: “Sihir.” Dan di dalam Sunan An-Nasai disebutkan: “Barangsiapa yang mengikat buhul lalu meniupkan padanya, maka sungguh dia telah melakukan sihir. Dan barangsiapa yang telah melakukan sihir, maka sungguh dia telah melakukan kesyirikan.” (Fatawa Al-Lajnah, 1/367/368)
Hukuman bagi Tukang Sihir1
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama apakah tukang sihir itu dihukumi kafir atau tidak. Kemudian, bagaimana dengan hukuman bagi mereka di dunia ini, apakah dibunuh atau tidak.
Jumhur ulama berpendapat bahwa tukang sihir adalah kafir secara mutlak. Di antara mereka adalah Malik, Abu Hanifah, pengikut Al-Imam Ahmad, dan selain mereka. (Adhwa-ul Bayan, 4/455)
Di antara mereka ada yang mengatakan perlu dirinci. Apabila di dalam sihir tersebut terkandung pengagungan terhadap selain Allah seperti bintang-bintang, jiwa-jiwa dan selainnya yang akan bisa mengantarkan kepada kekafiran, maka pelaku sihir tersebut kafir tanpa ada perselisihan. Apabila sihir itu tidak mengandung kekufuran, seperti menggunakan benda-benda tertentu sejenis minyak dan selainnya, ini adalah haram dengan keharaman yang keras meski pelakunya tidak bisa dikatakan kafir. (Adhwa-ul Bayan, 4/456)
Pendapat kedua ini yang dikuatkan oleh Asy-Syinqithi dalam kitab Adhwa-ul Bayan (4/456) dengan menyatakan: “Inilah yang benar insya Allah dari perbedaan-perbedaan para ulama tersebut.” Dan ini pula yang dirajihkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin dalam kitab Al-Qaulul Mufid (2/6).
Di antara para ulama ada yang menggabungkan kedua pendapat tersebut seperti yang dilakukan oleh Asy-Syaikh Sulaiman dalam kitab Taisir Al-’Azizil Hamid (hal. 384): “Sebenarnya kedua pernyataan tersebut tidaklah berbeda. Adapun yang menyatakan tidak kafir dia menyangka bahwa sihir itu terjadi tanpa ada unsur kesyirikan. Padahal tidak demikian, bahkan sihir yang datang dari sisi setan tidak lepas dari kesyirikan dan penyembahan kepada setan. Oleh karena itulah Allah mengkafirkan mereka dengan firman-Nya: “Sesungguhnya kami adalah cobaan, maka janganlah kamu kafir.” (Al-Baqarah: 102). Adapun sihir yang berasal dari obat-obatan atau asap-asap maka ini bukan sihir. Hal ini dinamakan sihir majaz sebagaimana penamaan ucapan yang memukau dan namimah (mengadu domba) dengan sihir, namun hal yang demikian ini haram karena mengandung mudharat dan pelakunya harus diberi pelajaran.” (lihat Syarah Nawaqidhul Islam, hal. 26)
Setelah kita mengetahui hukum dalam pandangan agama terhadap tukang sihir, pelakunya bisa disebut kafir atau hanyasebagai pelaku maksiat, lalu bagaimana hukuman di dunia, haruskah dibunuh?
Ibnu Katsir t dalam Tafsir-nya mengatakan: Ibnu Hubairah berkata: “Apakah dibunuh orang yang hanya melakukan perbuatan sihir atau tidak?” Malik dan Ahmad menyatakan ya (dibunuh), Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah mengatakan tidak. Adapun apabila dia membunuh seseorang dengan sihirnya maka dia harus dibunuh menurut pendapat Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad.
Telah ada riwayat dari ulama salaf yang membunuh pelaku sihir. Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari t dalam Shahih beliau dari Bajalah bin ‘Abdah, berkata ‘Umar bin Al-Khaththab: “…agar membunuh para tukang sihir.” Maka kami membunuh tiga tukang sihir.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahab dalam Kitab At-Tauhid berkata: “Telah shahih dari Hafshah bahwa beliau memerintahkan untuk membunuh budak yang menyihirnya.” Dan telah shahih pula dari Jundub z.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam Fathul Majid (hal. 343) berkata: “Diriwayatkan pula yang mengatakan (tukang sihir harus dibunuh) dari ‘Umar, ‘Utsman, Ibnu ‘Umar, Hafshah, Jundub bin Abdullah, Jundub bin Ka’ab, Qais bin Sa’d, dan ‘Umar bin Abdul ‘Aziz.”
Adapun Asy-Syafi’i tidak berpendapat dibunuh hanya karena sekedar menyihir, kecuali apabila di dalam sihirnya itu telah sampai pada tingkat kufur. Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnul Mundzir dan sebuah riwayat dari Al-Imam Ahmad. Pendapat pertama lebih kuat berdasar hadits dari Anas dari Ibnu ‘Umar dan orang-orang melakukan di masa pemerintahan beliau dan beliau tidak mengingkarinya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (29/384) berkata: “Sungguh telah diketahui bahwa sihir adalah haram berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma’ umat. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tukang sihir adalah kafir dan telah shahih dari ‘Umar bin Al-Khaththab tentang keharusan membunuhnya. Dan juga dari ‘Utsman bin ‘Affan, Hafshah bintu ‘Umar, Abdullah bin ‘Umar, dan dari Jundub bin Abdillah dan telah diriwayatkan secara marfu’ (sampai sanadnya kepada Rasulullah r).”
Dari semua pendapat para ulama ini, jelas bahwa sihir merupakan sesuatu yang sangat berbahaya baik ditinjau dari sisi dunia maupun akhirat. Oleh karena itu, telah shahih riwayat dari ulama salaf tentang keharusan membunuh mereka. Lalu apakah hukuman mati ini terhadap mereka sebagai hukuman ta’zir1 atau karena murtad?
Para ulama sepakat, jika sihirnya itu sampai kepada batas kekufuran dan syirik, maka membunuhnya sebagai hukuman murtad. Dan terjadi perbedaan pendapat apabila sihirnya itu tidak sampai pada tingkatan kufur. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa dibunuh sebagai hukuman (had) dan ada yang mengatakan dia dibunuh sebagai satu bentuk ta’zir baginya dan bagi orang lain.
Asy-Syaikh Muhammad bin Amin Asy-Syinqithi dalam kitab Adhwa-ul Bayan (4/462) berkata: “Yang benar menurutku adalah bahwa penyihir yang sihirnya belum sampai ke tingkat kufur dan dia tidak membunuh dengan sihirnya itu, maka dia tidak boleh dibunuh berdasarkan dalil-dalil yang qath’i (kuat) dan ijma’ tentang terpeliharanya darah orang-orang Islam secara umum kecuali apabila datang dalil yang jelas. Membunuh tukang sihir yang belum sampai pada tingkatan kufur dengan sihirnya, tidak ada dalil yang shahih dari Rasulullah r. Dan menumpahkan darah seorang muslim tanpa ada dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih, belum jelas pembolehannya menurutku.”
Dan ilmunya di sisi Allah. Sementara itu yang mengatakan harus dibunuh secara mutlak merupakan pendapat yang sangat kuat berdasarkan perbuatan para shahabat tanpa ada pengingkaran.
Apakah mereka harus dimintai taubat ataukah langsung dibunuh? Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Dan pendapat yang kuat berdasarkan tarjih Asy-Syinqithi dalam Adhwa-ul Bayan: “Kalau dia bertaubat maka taubatnya diterima, karena sihir tidak lebih besar daripada dosa syirik dan Allah menerima taubat tukang sihir Fir’aun dan menjadikan mereka ketika itu sebagai walinya.” (lihat Syarah Nawaqidhul Islam, hal. 28). Wallahu a’lam.